Type Here to Get Search Results !

Omni Cultura Ex Imagologi

oleh ReO Fiksiwan 

„Kreativitas. Itulah rahasia yang membuat manusia istimewa, tersembunyi di balik layar. Agustín Fuentes berpendapat bahwa melukis dengan jari anak Anda pada dasarnya berasal dari tempat yang sama dengan kreativitas dalam berburu dan meramu jutaan tahun yang lalu, dan sepanjang sejarah dalam menciptakan perang dan perdamaian, dalam hubungan intim, dalam membentuk planet, dalam komunitas kita, dan dalam semua seni, agama, dan bahkan sains. Hal ini membutuhkan imajinasi dan kolaborasi.“ — Agustín Fuentes(59), The Creative Spark: How Imagination Made Humans Exceptional(2017;2018).

Kebudayaan manusia bukanlah hasil dari naluri semata, melainkan buah dari imajinasi yang telah tumbuh sebagai kodrat alam sejak lebih dari 70.000 tahun lalu, ketika revolusi kognisi mulai mengubah cara manusia memandang dunia. 

Imajinasi bukan sekadar pelarian dari kenyataan, melainkan fondasi yang memungkinkan manusia membentuk kenyataan baru. Tanpa imajinasi, tidak akan ada kebudayaan. 

Tidak akan ada mitos, hukum, seni, atau bahkan bahasa. Imajinasi adalah alat utama manusia untuk menata dunia, menciptakan makna, dan membangun struktur sosial yang kompleks.

Namun, sejarah literasi sering kali mengabaikan peran sentral imajinasi dalam pembentukan kebudayaan. 

Jean-Paul Sartre dalam Psikologi Imajinasi mencoba menyingkap lapisan-lapisan kesadaran manusia, tetapi warisan pemikirannya kerap direduksi menjadi wacana eksistensial tanpa menekankan bahwa imajinasi adalah kekuatan kreatif yang membentuk dunia. 

Immanuel Kant, dalam Akal Budi Praktis, menempatkan rasionalitas sebagai puncak pencapaian manusia, tetapi gagal mengakui bahwa akal budi pun lahir dari kemampuan manusia untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan moral dan estetika yang belum ada.

Kebudayaan manusia di seluruh penjuru dunia tumbuh dari dua panduan utama: mitologi dan logos. 

Mitologi adalah narasi kolektif yang memberi makna pada pengalaman manusia, sedangkan logos adalah struktur berpikir yang memungkinkan manusia mengorganisasi dunia secara logis dan sistematis. 

Mitologi memberi warna dan jiwa, logos memberi bentuk dan kerangka. Keduanya tidak akan pernah lahir tanpa imajinasi. 

Imajinasi adalah jembatan antara mitos dan logika, antara dongeng dan teori, antara ritual dan hukum.

Dalam setiap peradaban, dari gua-gua Lascaux hingga kota-kota digital masa kini, imajinasi adalah benih yang menumbuhkan kebudayaan. 

Ia melampaui waktu, melampaui ruang, dan melampaui batas-batas biologis manusia. Imajinasi adalah kekuatan yang membuat manusia bukan hanya bertahan hidup, tetapi hidup dengan makna. 

Sementara, istilah "imagology" dikutip dari novel Milan Kundera(1929-2023) berjudul Immortality(1990). 

Dalam karya ini, Kundera memperkenalkan konsep imagology sebagai refleksi tentang bagaimana citra dan representasi membentuk persepsi manusia dalam masyarakat modern.

Salah satu kutipan yang mencerminkan gagasan imagologi dalam karya-karyanya adalah:

“Hanya karya sastra yang mampu menyingkap fragmen tak dikenal keberadaan manusia yang memiliki alasan bertahan.”

Frase ini mengandung semangat imagologi—yakni bagaimana citra, narasi, dan imajinasi membentuk pemahaman kita tentang manusia dan kebudayaannya. 

Kundera percaya bahwa sastra bukan sekadar hiburan, melainkan alat untuk mengungkap realitas terdalam yang tak terjangkau oleh logika semata.

Dalam Immortality, Kundera tidak hanya membahas pencitraan dalam konteks media dan politik, tetapi juga menyelami bagaimana manusia menciptakan dan mempertahankan identitas melalui narasi dan simbol. 

Imagology di sini bukan sekadar studi tentang gambar, tetapi tentang konstruksi citra diri dan sosial yang bersifat fiktif namun berpengaruh nyata.

Karya ini menjadi titik penting dalam pemikiran sastra dan filsafat kontemporer karena menggabungkan refleksi eksistensial dengan kritik budaya terhadap era pencitraan dan ilusi. 

Imagology kemudian diadopsi lebih luas dalam kajian sastra, media, dan budaya sebagai pendekatan untuk memahami bagaimana bangsa, tokoh, dan ideologi dibentuk melalui narasi visual dan tekstual.

OMNI CULTURE EX IMAGOLOGI adalah seruan untuk mengakui bahwa kebudayaan bukanlah warisan pasif, melainkan hasil dari kerja kreatif yang terus-menerus, yang berpijak pada kemampuan manusia untuk membayangkan dunia yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih manusiawi.

*Disampaikan dalam BEDAH BUKU «MANADOn1830" lJEJAK PANGERAN DIPONEGORO, Dinas Perpustakaan Sulut,31/10/25, DPR RI Manado.

#coversongs: Lagu „Never Give Up" oleh Sia dirilis pada 18 November 2016 sebagai bagian dari soundtrack film Lion(2016). Lagu ini mengangkat tema ketekunan, harapan, dan kekuatan untuk terus maju meski menghadapi kesulitan.

Lagu ini ditulis oleh Sia Furler(49) dan Greg Kurstin(56), dan diproduksi oleh Kurstin. Secara musikal, lagu ini menggabungkan elemen electropop dengan nuansa musik India, mencerminkan latar budaya film Lion yang mengisahkan perjalanan seorang anak India yang terpisah dari keluarganya dan berjuang menemukan kembali asal-usulnya

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.