Type Here to Get Search Results !

Tradisi Mauluik: Dakwah Budaya dan Kritik Sosial Keagamaan (5)

Duski Samad didampingi Sekretaris Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin dan Ketua STIT SB di Ruangan Bupati Menyerahkan Buku SOLUSI KRISIS ADAB DAN ADAT kepada Bupati Padang Pariaman, Selasa, 13 Oktober 2025. Akan diterbitkan Kerjasama Yayasan islami Centre Syekh Burhanuddin dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Padang Pariaman.

Oleh: Duski Samad

Ketua Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin Padang Pariaman

Tradisi Mauluik Gadang di Padang Pariaman tidak hanya sekadar perayaan kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, tetapi sebuah dakwah kultural yang hidup di tengah masyarakat. Di dalamnya terkandung perpaduan antara adat, raso, dan syarak. Melalui lantunan Syarafal Anam, malamang, makan bajamba, hingga badoncek, masyarakat tidak hanya mengenang, tetapi menghidupkan kembali nilai-nilai kasih, kebersamaan, dan syukur.

Dakwah seperti ini adalah bentuk dakwah budaya: menanamkan ajaran Islam melalui ekspresi lokal yang lembut dan menyentuh hati. Ia tidak berslogan atau memaksa, tetapi mengajak manusia merasakan keindahan Islam dalam keseharian. 

Mauluik menjadi ruang sosial tempat ulama, niniak mamak, bundo kanduang, dan anak nagari bersatu dalam suasana zikir dan cinta Rasulullah ﷺ. Namun, dakwah budaya belum cukup jika berhenti pada ritual dan tradisi. Ia perlu naik kelas menjadi dakwah jiwa (dakwah ruhaniyah), dakwah yang menyentuh sisi terdalam manusia: kesadaran diri, akhlak, dan kemuliaan hati.

Dari Seremonial ke Spiritualitas

Membaca Syarafal Anam dengan suara yang indah adalah ibadah. Tetapi yang lebih penting adalah menjadikan akhlak Nabi hidup dalam diri. Mauluik bukan hanya berdiri ketika Asraqal Badru ‘Alaina dilantunkan, tapi juga berdiri menegakkan kejujuran, kasih sayang, dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks masyarakat modern yang serba sibuk dan individualistik, dakwah jiwa melalui tradisi seperti Mauluik menjadi terapi sosial dan spiritual. Ia menyembuhkan luka batin akibat hedonisme, kesepian, dan kehilangan makna hidup. Ketika semua orang berkumpul membaca pujian, berbagi sedekah, dan makan bersama, sesungguhnya sedang berlangsung penyucian jiwa kolektif.

Dakwah Jiwa: Membangun Kesadaran Baru

Makna terdalam dari dakwah jiwa adalah tazkiyah an-nafs — penyucian diri agar hati kembali bersih dan tunduk kepada Allah. Melalui Mauluik, umat diingatkan bahwa agama bukan hanya ilmu dan wacana, tapi rasa dan kesadaran. Syair Syarafal Anam yang berbunyi “Marhaban ya Nur al-‘Aini...” menggambarkan kerinduan ruhani umat terhadap Nur Nabi Muhammad ﷺ — cahaya kasih yang menuntun manusia keluar dari kegelapan.

Revitalisasi Mauluik

Integrasi pendidikan dan kebudayaan, menjadikan Mauluik sebagai bagian dari pembelajaran karakter berbasis Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Jika langkah-langkah ini dijalankan, Mauluik bukan hanya warisan budaya, tapi gerakan pembaruan spiritual masyarakat Minangkabau. Ia menghidupkan kembali nur iman di tengah krisis moral, dan menegaskan bahwa dakwah sejati bukan hanya di mimbar, tapi juga di hati dan di tengah masyarakat.

Dari dakwah budaya menuju dakwah jiwa, dari simbol ke substansi, dari lahir ke batin — inilah arah baru kebangkitan umat yang menjadikan cinta Rasul sebagai energi perubahan. Pendekatan ini relevan dengan teori cultural da’wah (al-da‘wah al-thaqafiyyah) dan psychospiritual da’wah, yang menekankan dimensi emosional, simbolik, dan kesadaran ruhani.

Al-Qur’an menegaskan bahwa dakwah harus dilakukan dengan hikmah dan mau‘izhah hasanah (QS. An-Nahl: 125). Hikmah itu terwujud dalam bentuk integrasi adat dan syarak. Tradisi Mauluik merupakan manifestasi dakwah hikmah, karena menghadirkan pesan Islam melalui rasa budaya dan kebersamaan sosial.

Dakwah Budaya: Simbol dan Makna

Menurut Abdurrahman al-Nahlawi, dakwah harus beradaptasi dengan thabi‘at al-ummah (karakter bangsa). Tradisi Mauluik menunjukkan bagaimana dakwah Islam mampu menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk budaya lokal tanpa kehilangan substansi tauhid. Ritual badikie, malamang, dan badoa bajamba adalah ekspresi budaya yang sarat nilai syiar Islam: sedekah, kebersamaan, dan penghormatan kepada Rasulullah ﷺ.

Dakwah Jiwa: Pendalaman Spiritualitas

Dakwah jiwa adalah upaya tazkiyah an-nafs sebagaimana difirmankan dalam QS. Asy-Syams: 9-10. Melalui dzikir kolektif dan syair Syarafal Anam, masyarakat tidak hanya mengingat Nabi, tetapi menyucikan hati dan meneguhkan cinta kepada Allah. Mauluik berperan sebagai spiritual healing movement, menghidupkan semangat ukhuwah dan solidaritas sosial.

Transformasi dari dakwah budaya ke dakwah jiwa menandai kebangkitan baru bagi masyarakat Padang Pariaman. Tradisi Mauluik menjadi media efektif untuk membumikan Islam rahmatan lil ‘alamin melalui pendekatan yang lembut, berakar, dan bermakna. Dakwah jiwa adalah puncak dari dakwah budaya — saat lahir dan batin bertemu dalam cinta kepada Rasulullah ﷺ. 

Mauluik Terapi Sosial dan Spiritualitas Publik.

1. Tradisi yang Menyembuhkan

Mauluik bukan hanya perayaan kelahiran Rasulullah ﷺ, tapi ruang penyembuhan sosial dan spiritual masyarakat Piaman. Dalam suasana Mauluik, masyarakat berkumpul, berzikir, bersedekah, dan saling bermaafan.Di balik tabir warna-warni marawa, lantunan Syarafal Anam dan aroma lamang yang mengepul, terselip energi batin yang menenangkan: rasa kebersamaan, cinta Rasul, dan kerinduan kepada yang suci.

Fenomena ini, jika dilihat dengan lensa psikologi sosial Islam, merupakan bentuk collective catharsis — pembersihan jiwa bersama. Semua ikut hadir bukan karena kewajiban, tapi karena rindu, cinta, dan rasa hormat. Inilah fungsi terapi sosial Mauluik: menyatukan hati yang tercerai oleh dunia, memulihkan luka-luka sosial akibat perbedaan, dan menumbuhkan kembali semangat kebersamaan yang hilang.

2. Spiritualitas Publik: Agama di Ruang Sosial. 

Islam tidak hanya berbicara tentang ibadah individual, tapi juga ibadah sosial. Dalam Mauluik, nilai-nilai spiritual turun ke jalan, ke surau, ke rumah-rumah, dan ke lumbung masyarakat. Orang tua mengajari anak berzikir, ninik mamak menuntun generasi muda memahami makna badoncek dan sedekah, dan bundo kanduang menyiapkan lamang sebagai simbol kasih dan pengorbanan. 

Semua ini memperlihatkan bahwa Mauluik adalah agama yang hadir di ruang publik, membangun ruh masyarakat beriman di atas dasar adat dan syarak. QS. Al-Hujurat ayat 10 menegaskan: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara dua saudaramu yang berselisih...” Ayat ini menemukan bentuk praksisnya di Mauluik — di mana hati-hati yang keras dilunakkan oleh lantunan pujian dan sedekah berjamaah.

3. Dakwah dan Terapi Jiwa

Dari perspektif tasawuf, tradisi Mauluik adalah riyadhah ruhaniyah jama’iyyah — latihan jiwa bersama. Bacaan Syarafal Anam, doa bersama, dan badoncek menjadi medium dzikir kolektif yang menyegarkan ruh umat. Ketika semua orang berdiri membaca Asraqal Badru ‘Alaina, sebenarnya mereka sedang menyentuh kesadaran fitrah — bahwa cahaya Nabi ﷺ adalah cahaya penyembuh batin, sebagaimana Allah berfirman:

“Wahai manusia, telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada di dada...” (QS. Yunus: 57)

Mauluik adalah implementasi ayat ini dalam bentuk budaya. Ia menyembuhkan, bukan dengan obat, tapi dengan zikrullah dan rasa cinta.

4. Fungsi Sosial Mauluik di Era Modern

Di tengah masyarakat modern yang semakin individualistik dan digital, tradisi Mauluik memainkan fungsi strategis: Sebagai perekat sosial: mempertemukan semua kalangan tanpa sekat partai, jabatan, atau status.

Sebagai pendidikan karakter publik: menanam kan nilai syukur, sedekah, dan ukhuwah. Sebagai pencegah krisis moral: mengingatkan bahwa kehidupan yang bermakna lahir dari akhlak, bukan pencitraan. Dengan cara ini, Mauluik berfungsi sebagai gerakan moral dan spiritual kolektif — menyatukan masyarakat dalam dzikir dan rasa syukur yang sama.


5. Kritik Terhadap Mauluik.

Mauluik sebagai ivent budaya yang irisannya sangat dengan keislaman, bahkan dalam batas tertentu nilainya dapat berhimpitan, maka mencermati dan mengingat kritik (peringatan) syariah terhadap Mauluik adalah keharusan untuk memjamin kebersihan Aqidah dan syariah. Di antaranya: 

1. Kritik Teologis (Aqidah dan Ibadah)

Beberapa ulama menilai Syarafal Anam perlu diluruskan dalam niat dan tata praktiknya:

a. Risiko tasyabbuh (penyerupaan ritual), jika pembacaan Syarafal Anam lebih menonjol kan aspek hiburan, nyanyian, atau kemegahan daripada dzikir dan shalawat kepada Rasulullah ﷺ.

b. Berlebihan dalam pemuliaan (ghuluw) —kadang masyarakat berdiri ketika bait Asyraqal Badru dibaca dianggap “wajib”, padahal asalnya hanya bentuk penghormatan simbolik. Jika diyakini sebagai kewajiban syar‘i, bisa jatuh pada bid‘ah i‘tiqādiyyah (keyakinan baru yang tidak bersumber dari syariat).

c. Potensi pencampuran niat, antara ibadah dengan niat sosial (badoncek, jamuan, atau prestise kampung). Mestinya ditegaskan bahwal inti maulid adalah menghidupkan kecintaan dan keteladanan Rasulullah ﷺ.

 2. Sosiologis (Budaya dan Sosial Keagamaan)

a. Ritual lebih ramai daripada makna, tradisi Syarafal Anam sering menjadi ajang perlombaan siapa yang paling meriah, bukan siapa yang paling mendalami sirah Nabi. Akibatnya, generasi muda hadir secara simbolik, tapi tidak memahami isi syairnya.

b. Ketimpangan gender dan peran sosial, perempuan sering hanya berperan sebagai penyedia konsumsi, bukan bagian dari pembaca atau pengkaji makna maulid.

c. Komersialisasi dan transaksionalitas, sedekah badoncek kadang berubah jadi gengsi sosial, bukan lagi amal jariyah. Di sini makna spiritual mulai tergeser oleh status sosial.

3. Kritik Kultural dan Historis

a. Makna asli ulama klasik mulai kabur. Mauluik Syarafal Anam di Piaman berasal dari inovasi dakwah Syekh Kapalo Koto dan murid Syekh Burhanuddin untuk menyebarkan shalawat dalam bentuk seni suara. Kini, semangat dakwah itu mulai kehilangan ruhnya.

b. Kurang adaptif dengan konteks zaman. Di tengah masyarakat digital, maulid belum dimodernisasi dengan narasi pendidikan moral, sosial, dan ekologi. Padahal, bisa dijadikan “literasi budaya Islam lokal”.

c. Kurangnya penerjemahan teks Syarafal Anam. Banyak jamaah tidak memahami arti syair yang dilantunkan. Akibatnya, kehilangan makna spiritual dan menjadi rutinitas ritual.

4. Kritik Konstruktif (Arah Pembaruan)

1. Perlu Mauluik Edukatif, menambah sesi tafsir atau makna bait Syarafal Anam sebelum atau sesudah pembacaan.

2. Digitalisasi Dakwah Maulid, rekam, terjemah kan, dan sebarkan versi digital yang kontekstual bagi generasi muda.

3. Menjaga Kesahajaan dan Kesucian Niat, kurangi unsur kompetisi dan kemewahan, tekankan makna dzikir, syukur, dan pembelajaran.

4. Sinergi Ulama–Adat–Pemerintah,agar Maulid tidak sekadar tradisi tahunan, tetapi menjadi gerakan kebangkitan moral dan sosial masyarakat berbasis nilai ABS-SBK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah).

Penutup

Mauluik puncak pertemuan antara spiritualitas dan sosialitas umat. Ia menghidupkan kembali Rasul dalam diri dan masyarakat. Ketika berdzikir, berbagi, dan berdoa bersama itu sedang menyembuhkan diri dari kekeringan ruhani zaman modern.

Dari sini dapat dipamahami bahwa Mauluik bukan hanya tradisi, tapi metode dakwah yang menyentuh hati, menyembuhkan jiwa, dan menegakkan marwah umat. Ia adalah terapi ruhani bangsa, warisan yang harus dirawat dengan cinta dan kesadaran, agar cahaya Asraqal Badru terus menyinari generasi mudari dari Piaman hingga dunia. 

Mauluik mesti dijadikan wadah transformasi nilai: dari tradisi yang bersifat simbolik menuju gerakan yang produktif.Gerakan kebudayaan Islami: yang menampilkan wajah Islam yang ramah, indah, dan mengakar. Gerakan pendidikan moral publik: yang memperkuat nilai-nilai amanah, adab, dan solidaritas di masyarakat. Gerakan sosial-ekonomi umat: melalui praktik sedekah, gotong royong, dan kepedulian terhadap fakir miskin. Mauluik menjadi platform moral yang menghidupkan semangat Basamo Membangun Nagari dalam bingkai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.DS. 16102025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.