![]() |
Oleh: Ririe Aiko
(Puisi esai ini terinspirasi dari pemandangan suatu pagi di jalan kota. Di tengah arus kendaraan yang padat, tampak anak-anak kecil menjajakan tisu, makanan, dan mengamen di bawah lampu merah Ibu Kota. Ada yang mengetuk kaca mobil; ada pula yang berlari kecil mengejar pembeli yang tak menoleh. Mereka adalah kakak beradik dari keluarga miskin, tujuh bersaudara yang lahir dari lingkaran kemiskinan dan kesulitan ekonomi yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Fenomena ini nyata dan banyak terjadi di berbagai sudut Ibu Kota.) (1)
---000---
Pagi menggeliat di antara deru kendaraan,
asap menari di atas aspal yang panas.
Di sudut kota, beberapa anak kecil berdiri,
menenteng baki donat dan kotak tisu,
menawarkan hidup di bawah lampu merah
dengan tatapan mata yang penuh lelah.
Usia baru enam dan delapan tahun,
namun langkah mereka menua sebelum waktunya.
Ada kakak yang bersenandung di persimpangan,
menggenggam nada yang patah di ujung suara,
sementara di rumah kontrakan sempit,
seorang ibu tengah hamil lagi,
mengusap perutnya sambil berkata penuh keyakinan:
“Setiap anak pasti membawa rezekinya masing-masing.” (2)
Tapi rezeki itu entah tersesat di mana,
karena nyatanya yang datang hanya perut keroncongan,
dan tanggung jawab yang terlalu besar
untuk punggung sekecil itu.
Setiap hari sang ayah pun percaya,
Tuhan tak pernah salah menakar,
meski nyatanya beban diletakkan
pada pundak kecil yang belum kekar
---000---
Tujuh anak tumbuh tanpa bangku sekolah,
tanpa seragam, tanpa pakaian yang layak.
Mereka mengenal huruf di jalanan,
belajar berhitung dari sisa uang kembalian.
Mereka tak pernah mengenal warna krayon,
hanya warna kelabu dan terik panas jalanan.
Hari berganti hari,
kemiskinan menjadi warisan yang berpindah
dari generasi ke generasi.
Pedih, pahit, dan sulit harus mereka hadapi.
Kemiskinan menjadi sesuatu yang tak mudah diatasi.
Pepatah lama masih terus bergaung:
banyak anak, banyak rezeki.
Namun zaman telah menukar makna.
Dulu, banyak orang tua meyakini.
Tapi realita tak sejalan dengan doa.
Terkadang semua yang terjadi
melumpuhkan rasa percaya.
---000---
Di antara ekonomi yang semakin sulit,
bertahan hidup menjadi semacam perang,
tanpa senjata, tanpa perlawanan.
Satu-satunya tameng hanyalah keyakinan,
dan kemenangan berarti:
masih kuat berdiri,
tak mati karena perut tak diisi.
Anak-anak kecil pejuang rupiah
menjadi korban keyakinan
yang kehilangan konteks zamannya.
Mereka tumbuh tanpa masa kecil yang utuh.
Mereka dipaksa memahami arti perjuangan (3)
sebelum sempat mengenal huruf alfabet.
Anak-anak itu berhak bermimpi,
berhak tumbuh tanpa cemas lapar yang menggerogoti,
berhak menulis masa depan
tanpa harus menukar tawa dengan lembaran rupiah.
Mengapa mereka harus dilahirkan
di dunia yang bersikap keji pada kemiskinan?
Mereka hanyalah tunas kecil
yang terpaksa tumbuh di tanah keras,
berjuang menegakkan batangnya
meski matahari terlalu panas,
dan hujan tak selalu datang
membawa belas kasih yang dalam.
CATATAN:
(1)https://www.kompas.id/artikel/pekerja-anak-warisan-masa-lalu-dan-ancaman-masa-depan
(2)https://www.kompasiana.com/erika37118/68eda134c925c44d866eae43/masihkah-relevan-pepatah-banyak-anak-banyak-rezeki-di-zaman-sekarang
(3)https://savethechildren.or.id/artikel/jumlah-pekerja-anak-meningkat-save-the-children-perkuat-patbm-untuk-lindungi-anak-dari-risiko-pekerjaan-berat

