Type Here to Get Search Results !

Merespons Negeri Penuh Paradoks dengan Humor Gus Dur

Oleh : Rastono Sumardi 

(Keua Satupena Sulawesi Tengah)

Indonesia, sebuah mozaik yang luar biasa, seringkali membuat kita menggaruk-garuk kepala karena segala keanehan dan kontradiksi yang menyelimutinya. Inilah negeri yang, seperti kata penyair, "ramah tamah, tapi penuh muslihat." Namun, dalam menghadapi kekusutan yang tak jarang menjengkelkan ini, kita selalu bisa belajar dari sosok.

K.H. Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur. Presiden ke-4 RI ini mengajarkan kita bahwa humor bukan sekadar hiburan, melainkan senjata paling ampuh untuk menyikapi dan "membusukkan" hal-hal yang tidak beres.

Mari kita telaah beberapa paradoks Indonesia masa kini, lalu kita sandingkan dengan kutipan humor legendaris dari Gus Dur yang seolah sudah meramalnya:

Paradoks 1: Kaya Sumber Daya, Miskin Keadilan

Indonesia adalah salah satu negara terkaya di dunia dalam hal sumber daya alam, mulai dari perut bumi hingga lautan. Kita punya emas, nikel, batu bara, minyak, hingga kekayaan hayati yang tak ternilai. Namun, di saat yang sama, kita menyaksikan kesenjangan yang menganga lebar. Sebagian kecil hidup dalam kemewahan ekstrem, sementara jutaan lainnya masih berjuang untuk sekadar mendapatkan akses air bersih dan pendidikan yang layak. Kekayaan alam melimpah, tapi kekayaan (dan keadilan) sulit merata.

Humor Gus Dur untuk Paradoks Ini:

“Negeri ini paling kaya di dunia, tapi sekarang negeri ini menjadi melarat karena para koruptor tidak ditindak dengan tegas.”

— Sebuah tamparan keras yang jenaka, menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada kekayaan alam yang tidak ada, melainkan pada kebocoran dan penyakit abadi bernama korupsi.

Paradoks 2: Demokrasi Sudah Berjalan, tapi Tak Kunjung Sampai Tujuan

Sejak Reformasi, Indonesia bangga dengan proses demokrasi yang dianggap matang—pemilu rutin, kebebasan berpendapat, dan banyaknya partai politik. Secara prosedur, kita sudah berdemokrasi. Namun, secara substansi, seringkali kita merasa berjalan di tempat. Reformasi birokrasi terasa lamban, dan setiap pemilihan umum seolah hanya menukar wajah lama dengan wajah baru tanpa perubahan mendasar dalam tata kelola negara.

Humor Gus Dur untuk Paradoks Ini:

“Demokrasi di Indonesia ini seperti kereta api jurusan Jakarta-Surabaya. Tapi kita baru sampai Bekasi.”

— Sebuah gambaran satire yang cerdas. Kita sudah 'naik kereta' demokrasi (sudah memulai prosesnya), tapi perjalanannya terasa sangat lamban dan masih jauh dari tujuan ideal (Surabaya). Bahkan, ada nada lelucon 'Gitu aja kok repot' di balik betapa lambatnya kemajuan kita.

Paradoks 3: Gila Hormat, Tapi Susah Berani Ambil Tindakan

Para pejabat dan pemimpin di negeri ini seringkali menuntut dihormati, dielu-elukan, dan dijaga citranya. Namun, ketika berhadapan dengan masalah struktural yang membutuhkan keberanian, seperti menindak pelanggaran hukum yang melibatkan 'orang kuat' atau mengambil keputusan yang tidak populer demi kebaikan jangka panjang, tiba-tiba keberanian itu menguap. Kita punya banyak "macan kertas" yang sangar di atas kertas, tapi ciut nyali di lapangan.

Humor Gus Dur untuk Paradoks Ini:

“Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.”

— Meskipun secara spesifik menyindir institusi kepolisian (dan memuji mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso), humor ini menyentuh inti dari paradoks penegakan hukum: bahwa yang paling 'jujur' adalah yang tidak bergerak (patung dan polisi tidur). Ini menyiratkan kelangkaan integritas di tengah kekuasaan, di mana keberanian dan kejujuran seringkali hilang di balik seragam.

Penutup: Tertawa, agar Tidak Gila

Gus Dur mengajarkan kita bahwa cara terbaik merespons paradoks dan kekusutan negeri adalah dengan menertawakannya. Tertawa bukan berarti menyerah, melainkan sebuah bentuk perlawanan kultural. Dengan humor, kita menanggalkan ketegangan, melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda, dan memastikan akal sehat kita tetap berfungsi.

Sebab, jika semua hal yang 'repot' ini selalu kita tanggapi dengan serius dan kemarahan, mungkin kita semua akan cepat stres. Jadi, mari kita ikuti Gus Dur: "Gitu aja kok repot!" Lalu, mari kita lanjutkan perjalanan menuju Surabaya, meskipun sekarang baru sampai Bekasi. Yang penting, jangan sampai gerbongnya lepas dari rel.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.