![]() |
Oleh : Ririe Aiko
Pagi itu, seperti biasanya, saya berangkat menuju tempat kerja. Jalanan ramai oleh lalu lintas dan hiruk pikuk orang-orang yang memulai aktivitasnya. Namun di antara keramaian itu, pandangan saya tertumbuk pada pemandangan yang menyesakkan dada, beberapa anak kecil berdiri di pinggir jalan, menjajakan dagangan mereka. Ada yang menawarkan tisu, ada yang membawa baki berisi donat kecil. Di usia yang seharusnya diisi dengan tawa di sekolah, mereka justru disibukkan oleh perjuangan mencari lembaran rupiah demi bertahan hidup.
Rasa penasaran membuat saya menghampiri mereka. Dua di antaranya kakak beradik, yang satu berusia delapan tahun, satunya lagi sekitar enam tahun. Wajah mereka polos, tapi di matanya tersimpan kedewasaan yang dipaksa tumbuh terlalu cepat. Dengan suara lirih mereka bercerita bahwa tiga kakak mereka juga sedang “bekerja” tidak jauh dari sana, mengamen di lampu merah.
Saya terdiam cukup lama. Lima anak turun ke jalan di waktu yang sama? Saya pun bertanya lebih jauh tentang keluarga mereka. Dengan polos, si kakak menjawab bahwa di rumah masih ada seorang ibu yang sedang hamil dan seorang adik balita. Mereka tinggal di sebuah kontrakan kecil di gang sempit. Jika dihitung, keluarga itu memiliki tujuh anak. Tidak ada satu pun dari mereka yang bersekolah. Mereka belajar membaca dan menulis secara otodidak, diajari oleh orang tuanya. Sang kakak tertua hanya sempat mengenyam pendidikan sampai kelas lima SD, lalu berhenti dan mulai mengamen, meneruskan pola hidup yang sama dari generasi ke generasi.
Yang membuat saya kian terenyuh, ayah mereka ternyata bekerja serabutan, kadang berjualan donat kadang kalau modal sedang tidak ada ayahnya jadi kuli panggul dipasar. Di satu sisi, saya menaruh hormat atas kegigihan mereka bertahan hidup. Namun di sisi lain, ada pertanyaan besar yang menggema di kepala saya:
Apakah pepatah “banyak anak banyak rezeki” masih relevan di zaman sekarang?
Pepatah itu dulu mungkin memiliki konteks yang berbeda. Di masa ketika ekonomi rakyat bertumpu pada tenaga keluarga, banyak anak berarti banyak tangan untuk membantu di ladang, sawah, atau warung. Namun kini, zaman telah berubah. Kehidupan menuntut keterampilan, pendidikan, dan akses terhadap fasilitas, hal-hal yang tidak bisa digantikan hanya dengan jumlah anggota keluarga yang banyak.
Ketika kondisi ekonomi semakin sulit, memiliki banyak anak tanpa kesiapan finansial dan pendidikan justru memperpanjang lingkar kemiskinan. Anak-anak seperti yang saya temui pagi itu menjadi korban dari keyakinan yang tidak lagi relevan dengan realitas zaman. Mereka tidak diberi kesempatan untuk menikmati masa kecil, tidak mendapatkan gizi yang layak, tidak merasakan bangku sekolah, dan lebih menyedihkan lagi, mereka dipaksa memahami arti perjuangan hidup sebelum sempat mengenal arti bermain.
Punya banyak anak memang hak setiap orang tua. Tapi hak itu seharusnya diiringi tanggung jawab moral dan sosial: apakah kita mampu memberi kehidupan yang layak bagi mereka? Karena jika yang kita wariskan hanyalah kemiskinan dan keputusasaan, maka “banyak anak” bukan lagi “banyak rezeki,” melainkan banyak beban yang harus ditanggung oleh anak-anak yang belum semestinya menanggungnya.
Mereka dilahirkan bukan untuk menjadi saksi penderitaan, bukan pula untuk menggantikan peran orang tua mencari nafkah di jalanan. Mereka berhak bermimpi, berhak bersekolah, berhak tumbuh tanpa dibebani rasa lapar dan lelah yang tidak semestinya.
Mungkin sudah saatnya kita merevisi pepatah lama itu. Ketika kebutuhan dan biaya hidup semakin tinggi, bukan jumlah anak yang menentukan banyaknya rezeki, melainkan sejauh mana kita mampu memberi kualitas kehidupan yang baik bagi mereka.
Rezeki memang sudah diatur, tapi cara kita menjemputnya dan tanggung jawab kita terhadap anak-anak yang dilahirkan, itulah yang menentukan seberapa bijak kita menjalani peran sebagai orang tua.

