![]() |
oleh ReO Fiksiwan
„Ijazah tanda orang pernah bersekolah, bukan tanda orang pernah berfikir' — Rocky Gerung(66) dalam https://youtube.com/shorts/c3IamgYtk8A?si=RE4D3RHe-mpzJsFT.
Di negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan, ijazah telah menjelma menjadi jimat sakti yang bisa menentukan nasib seseorang, bahkan nasib sebuah bangsa.
Maka ketika ijazah seorang presiden dipertanyakan keasliannya, kita tidak sedang membicarakan selembar kertas, melainkan kredibilitas seluruh sistem akademik yang melahirkannya.
Tuduhan terhadap Joko Widodo(64), alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, bahwa ijazahnya palsu, telah menjadi semacam kutukan Sisifus bagi dunia pendidikan Indonesia: sebuah beban yang terus didorong ke puncak bukit, hanya untuk jatuh kembali oleh gravitasi ketidakpercayaan.
Budi Arie(56), Ketua Umum Projo, dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa ijazah Jokowi adalah asli. Ia bahkan menyaksikan langsung dokumen tersebut di kediaman sang mantan presiden di Solo.
Di sisi lain, Roy Suryo(57) dan timnya, setelah menerima salinan fotokopi legalisir dari KPU, bersikeras bahwa dokumen itu 99,9% palsu.
Dua dunia yang tak pernah bertemu, seperti dua kutub yang saling menolak. Absurditas versi alaf-21 dari rezim „post-truth.“
Dan di tengah-tengahnya, publik dibiarkan menafsir, menebak, dan berspekulasi, karena sang pemilik ijazah tampaknya belum berkenan menunjukkan dokumen itu secara terbuka kepada publik, hanya kepada relawan.
Bahkan versi Laboratorium Bareskrim Polri menyatakan bahwa dokumen tersebut identik, namun identik bukan berarti autentik.
Identik bisa berarti mirip, bisa berarti cocok, bisa berarti tidak palsu, tapi juga tidak sepenuhnya asli. Tafsir atas kata "identik" menjadi medan baru dalam perang semantik yang tak berkesudahan.
Dengan demikian, ijazah itu bukan lagi dokumen akademik, melainkan artefak politik yang diperebutkan oleh dua kubu yang sama-sama mengklaim kebenaran.
Namun, yang lebih penting dari dokumen itu sendiri adalah bagaimana para penuduh dan tertuduh menunjukkan moralitas akademik.
Bertrand Russell(1872-1970) dalam Pendidikan dan Tatanan Sosial(YOI, 1993) menekankan bahwa pendidikan seharusnya membentuk karakter yang kritis dan jujur, bukan sekadar menghasilkan lulusan dengan gelar.
James Dewey(1859-1952) dalam Rekonstruksi Filsafat Pendidikan(IRCiSoD, 2025) mengingatkan bahwa pendidikan adalah proses etis, bukan hanya administratif.
Maka ketika ijazah menjadi alat politik, kita sedang menyaksikan degradasi etika pedagogi: pendidikan tidak lagi menjadi jalan pencerahan, melainkan panggung sandiwara.
Apakah ijazah itu asli atau palsu, mungkin hanya Tuhan dan arsip UGM yang tahu.
Tapi perilaku mereka yang terlibat dalam polemik ini telah menunjukkan bahwa moralitas akademik bukanlah sesuatu yang otomatis lahir dari institusi pendidikan. Ia harus diperjuangkan, dijaga, dan ditunjukkan dalam tindakan.
Dan ketika tindakan itu hanya berupa klaim sepihak, salinan fotokopi, dan penolakan untuk membuka dokumen secara publik, maka kita patut bertanya: apakah pendidikan kita telah gagal membentuk manusia yang berani berdiri di atas kebenaran?
Dan di sinilah paradoks itu bersemayam. Seperti yang digambarkan oleh Willard Van Orman Quine(1908-2000),filsuf dan logikawan dalam bidang filsafat analitik, logika matematika, dan epistemologi, dalam The Ways of Paradox and Other Essays(1976), kebenaran faktual bisa menjadi arena kritisisme yang tak berujung.
Quine menantang gagasan bahwa bahasa dan makna bisa dianalisis secara terpisah dari pengalaman, dan ia memperkenalkan konsep "holisme semantik" yang menyatakan bahwa makna suatu pernyataan bergantung pada keseluruhan sistem pengetahuan.
Namun, para pembela ijazah asli menempuh jalan paradoks: mengklaim keaslian tanpa membuka bukti, menuntut kepercayaan tanpa transparansi.
Maka pertanyaan sesungguhnya bukan hanya tentang dokumen, melainkan tentang keberanian moral untuk menjawab: apakah kita masih percaya pada pendidikan sebagai jalan menuju kebenaran, atau sekadar panggung untuk mempertahankan kekuasaan?
Mungkin lirik Chairil Anwar benar: "Aku ini binatang
jalang." Tapi dalam dunia pendidikan, kita tidak bisa
terus menjadi binatang jalang yang liar dalam tatsir
dan liar dalam klaim.
Kita harus menjadi manusia yang berani menunjukkan ijazahnya, bukan hanya kepada relawan, tapi kepada sejarah. Karena sejarah tidak menerima salinan. Ia hanya menerima kejujuran.
#coversongs: "An Elephant Never Forgets" oleh Jenna Pascale(37) dirilis pada 29 Agustus 2025 melalui label Instant Records.
Judul lagu ini mengacu pada pepatah populer bahwa gajah tidak pernah lupa, yang sering digunakan untuk menggambarkan ingatan yang kuat dan ketekunan dalam menghadapi masa lalu.
Dalam konteks lagu, maknanya bisa ditafsirkan sebagai refleksi tentang kenangan yang membekas, pengalaman emosional yang sulit dilupakan, atau bahkan kesetiaan terhadap nilai dan perasaan yang pernah ada.

