Type Here to Get Search Results !

Kenapa Mazhab Ciputat Bukan Mantan, tapi Masa Depan

Oleh: Mila Muzakkar

(Mentor Kelas Feminis - Mazhab Ciputat)

Malam itu, sekitar jam 10 malam, dengan jantung dag-dig-dug aku mengetuk pintu rumah.

Di balik pintu, orang rumah membuka dengan wajah yang sudah aku hafal: wajah keberatan dengan polaku yang suka pulang malam.

Di belakangku, berdiri seorang senior laki-laki. Aku memang sengaja minta diantar. Bukan cuma karena sudah larut, tapi juga untuk jaga-jaga kalau orang rumah bertanya: aku habis ngapain? Ada yang bisa ikut menjawab.

Tapi, jam 10 malam, seorang gadis pulang diantar laki-laki, apa coba yang biasanya muncul di pikiran orang?  

Yes, “perempuan nggak baik-baik.

Di masa kuliah di UIN Jakarta, malam-malam seperti ini sering banget aku lalui. Pulang malam, dinasehati, kadang dimarahi, dan disuruh berhenti. 

Dari ujung telepon di Sulawesi, orang tuaku pernah bilang: lebih baik pulang saja kalau nggak bisa kuliah dengan “benar.”

Bertumbuh di Organisasi

Jadi, kemanakah aku di malam-malam itu? Nongkrong di cafe, karakeoan, atau pacaran di pojok kampus? 

Nope, bukan itu ya guys!

Malam-malam itu aku pakai untuk aktif di berbagai organisasi intra (BEM, Ranita, LPM Institute, dll) dan ekstra kampus, termasuk aktif di forum diskusi yang terkenal banget "Formaci" (Forum Mahasiswa Ciputat). 

Saat itu, macam-macam organisasi dan forum diskusi tumbuh kayak jamur. Bergabung dan aktif berbagai organisasi dan forum diskusi itu, adalah kebanggaan. Aku misalnya, merasa berbeda dan lebih keren dari mahasiswa lainnya karena aku punya modal ilmu dan merasa menyandang status "perempuan cerdas". 

Di organisasi intra kampus, aku belajar mengorganisir kegiatan, pertama kali belajar menjadi MC di panggung yang saat itu bintang tamunya adalah artis yang lagi "naik daun" (Opick), belajar menulis dan menjual ide lewat proposal, belajar bekerjasama sekaligus menyelesaikan konflik dalam tim. 

Di organisasi ekstra, aku belajar tipis-tipis tentang dinamika politik, belajar membangun kekuasaan dan pengaruh, negosiasi, juga belajar memimpin dan dipimpin.  

Sampai sekarang, aku sudah menerbitkan 11 buku, menulis 5 modul pelatihan, juga menulis puluhan artikel di media cetak dan online. Keterampilan menulis ini juga aku dapatkan dari proses berorganisasi, selain membaca buku tentunya. 

Di Formaci misalnya, kita dipaksa membaca "buku-buku berat" bagi sebagian orang di masa sekarang dan artikel berbahasa inggris. Setalh itu, kita dipaksa menuliskan hasil bacaan itu, dan mempresentasikannya di depan para senior. 

Yah, siap-siap "dirujak" senior kalau ada pernyataan yang salah.

Tradisi dan ekosistem di Ciputat itu salah satu yang membentuk aku menjadi seperti "Mila yang sekarang". Semua hasil gabungan proses pembelajaran, berdialektika, dan berjejaring dengan beragam latar belakang manusia.

Tradisi Keren yang Hilang

Tapi itu dulu. Sekitar 15-18 tahun lalu. 

Ketika aku masih kuliah di UIN Jakarta.

Beberapa tahun belakangan, gairah belajar, berdiskusi, dan aktif berorganisasi semacam itu nggak lagi sama. Menurun. Bahkan hampir hilang.

Trus, kenapa kalau hilang, kan zaman udah berubah?

Iya sih, benar. Zaman berubah, dan setiap zaman punya keunikannya masing-masing.

Yup, setuju! Tapi ada yang nggak perlu, dan sebaiknya nggak berubah sampai akhir hayat: Belajar! 

Sebab belajar adalah perintah Tuhan. Belajar dalam arti luas: membaca, berdiskusi, berefleksi, dan mempraktekkannya secara bijak dalam kehidupan sehari-hari.

Kita bisa nongkrong di cafe kekinian, ikutan running dan padel, bikin konten di TikTok, sambil tetap punya waktu untuk membaca, menulis, dan gabung di berbagai Komunitas untuk mengasah 3 kecerdasan dasar: kognitif, emosional, dan sosial.

Mazhab Ciputat, Masa Depan Bangsa

Sadar nggak sih kalau peristiwa di negeri kita akhir-akhir ini: politisi yang kurang empati, orang kaya pamer kekayaan di medsos padahal mereka tahu yang nonton masih banyak yang susah makan, sampai demonstrasi yang memakan korban nyawa, nggak lepas dari "lingkaran syetan" kebodohan dan matinya rasa kemanusiaan?

Semua berawal dari ilmu pengetahuan. Lalu diperbincangkan, dibenturkan dengan kondisi konkrit di lapangan, lalu menjadi arah kemana dan bagaimana sebaiknya kita melangkah di dunia ini.

Karena keresahan pada kondisi itu, sekelompok anak muda Ciputat yang keren dan punya kepedulian para peradaban-aku salah satunya- tergerak melakukan sesuatu: merawat dan menghidupkan lagi tradisi intelektual. 

Tradisi yang dulu melahirkan banyak pemikir dan guru bangsa: Harun Naution, Cak Nur, Azyumardi Azra, Lies Marcoes, Neng Dara Affiah, Komaruddin Hidayat, Fachry Ali, dan masih banyak lagi,

dengan membuat Gerakan bernama "Mazhab Ciputat".

Kayaknya, karena yang menggerakkan adalah anak-anak muda intelektual, hanya butuh waktu sekitar 3 bulan persiapan yang cukup intens, dilakukan secara swadaya, Mazhab Ciputat akhirnya dilaunching tanggal 26 September 2025.  

Kelebihan Mazhab Ciputat-dan ini juga yang membuatnya keren-adalah bentuknya sebagai gerakan swadaya yang inklusif. Forum ini terbuka untuk siapa saja, lintas organisasi, lintas agama, lintas suku. Pokoknya siapa aja yang mau belajar dan bertumbuh boleh ikutan.

Salah satu program keren dari Mazhab Ciputat adalah 4 sekolah intelektual: Sekolah Feminisme, Sekolah Filsafat, Sekolah Hukum dan Kebijakan, dan Sekolah Kepenulisan. Sekolah ini berisi peserta yang sudah diseleksi dari 300 lebih pendaftar dari berbagai daerah di Indonesia.

Well, sekarang, saatnya kita berangkat pakai kendaraan bernama "Mazhab Ciputat" untuk mencipta generasi bangsa yang lebih beradab. 

***

Sambil rebahan, Minggu, 28 September 2025

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.