![]() |
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol
Topik tulisan di atas diangkat dari pernyataan Guru Besar Ilmu Hadis Edi Syafri yang di share di medsos saat mengingatkan bahwa Prodi Ilmu hadis di UIN Imam Bonjol adalah urgen dan dibutuhkan dalam memperkuat kedudukan Islam. Hadis itu isi kaya raya dalam menjelaskan maksud Alqur'an.
Sayang banyak umat yang tidak tahu bahwa studi hadis memberikan pengayaan kehidupan yang moderen dan maju. Bahkan mengerti hadis adalah mengantarkan pada terwujudnya kedamaian dan perdamaian dunia.
Agama hadir untuk menebarkan kedamaian, bukan menimbulkan kebencian. Dalam konteks Islam, kedamaian bukan sekadar kondisi sosial tanpa konflik, tetapi merupakan nilai spiritual dan moral yang tumbuh dari kesadaran tauhid dan kasih sayang. Rasulullah ﷺ datang bukan membawa ideologi permusuhan, tetapi sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Di tengah tantangan kehidupan modern dan pluralitas agama di Indonesia, nilai kedamaian beragama menjadi kunci untuk menjaga harmoni sosial dan memperkuat persaudaraan kebangsaan. Dalam hal ini, hadis-hadis Nabi menjadi sumber utama yang menuntun umat untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama secara damai dan toleran.
Landasan Hadis tentang Kedamaian dalam Beragama
1. Kedamaian sebagai Identitas Muslim
> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Al-Muslimu man salima al-muslimūna min lisānihi wa yadih"(HR. Bukhari dan Muslim)
“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya.”
Hadis ini mengandung makna bahwa identitas sejati seorang Muslim bukan hanya pada ritual, tetapi pada perilaku damai. Dalam terminologi modern, ini merupakan basis etika sosial — mengendalikan ujaran dan tindakan agar tidak merugikan orang lain, baik secara fisik maupun psikologis.
2. Kedamaian Universal dan Kasih Sayang
> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Ar-rahimūna yarhamuhum ar-Rahmān, irhamū man fil ardh, yarhamkum man fis-samā’"
(HR. Tirmidzi)
“Orang-orang penyayang akan disayangi oleh Allah Yang Maha Penyayang. Sayangilah makhluk di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh (Allah) yang di langit.”
Hadis ini menegas kan bahwa kasih sayang merupakan jantung dari kedamaian beragama. Ajaran Islam tidak berhenti pada relasi vertikal (hubungan dengan Allah), tetapi juga menuntut relasi horizontal (hubungan antarsesama manusia dan makhluk lainnya).
3. Menyebarkan Salam sebagai Simbol Perdamaian
> Rasulullah ﷺ bersabda:
"Afsyus-salām bainakum"
(HR. Muslim)
“Sebarkanlah salam di antara kalian.”
Salam dalam Islam bukan sekadar sapaan, tetapi sebuah komitmen sosial — menjamin keamanan dan ketenangan kepada orang lain. Dalam konteks masyarakat majemuk, salam adalah simbol penghormatan lintas agama dan budaya.
4. Perlindungan bagi Non-Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa menyakiti seorang dzimmi (non-Muslim yang dilindungi), maka aku akan menjadi musuhnya pada hari kiamat.”
(HR. Abu Dawud)
Hadis ini mengajarkan keadilan dan toleransi sosial. Kedamaian tidak eksklusif bagi Muslim saja, tetapi juga hak bagi semua manusia. Prinsip ini menjadi pondasi masyarakat madani (civil society) dalam ajaran Islam.
Analisis Sosiologis
Kedamaian dalam beragama memiliki dimensi sosial yang mendalam. Dalam masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural, agama dapat berperan sebagai pemersatu atau justru pemicu konflik. Oleh karena itu, pemahaman terhadap nilai-nilai damai dalam hadis harus diterjemahkan dalam praksis sosial:
1. Melalui Pendidikan Toleransi — membangun kurikulum yang menanamkan nilai kasih sayang, empati, dan saling menghargai antarumat.
2. Melalui Keteladanan Ulama dan Tokoh Agama — dakwah yang lembut, dialogis, dan solutif lebih efektif dibandingkan retorika permusuhan.
3. Melalui Kebijakan Publik yang Adil — negara harus memastikan kebebasan beragama dan keadilan sosial bagi semua warga.
Konsep Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) di Minangkabau merupakan contoh konkret harmonisasi antara nilai agama dan budaya. Dalam filosofi ini, adat yang damai adalah manifestasi dari syarak yang menebar rahmat.
Refleksi Teologis dan Kontekstual
Dalam Al-Qur’an, kata “Islam” sendiri bermakna damai dan menyerahkan diri kepada Allah. QS. Al-Anfal [8]: 61 menegaskan:
> “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah engkau (juga) kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.”
Kedamaian bukan kelemahan, melainkan kekuatan spiritual yang mencerminkan kedewasaan iman. Nabi Muhammad ﷺ menunjukkan teladan melalui Piagam Madinah — sebuah konstitusi sosial yang menjamin kebebasan beragama dan hidup berdampingan antara Muslim, Yahudi, dan Nasrani.
Pesan Moral dan Relevansi di Indonesia
1. Meneguhkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin.
Agama hadir untuk menciptakan ketenangan batin, ketertiban sosial, dan keadilan publik.
2. Membangun Kerukunan Umat Beragama.
Menghindari ujaran kebencian, diskriminasi, dan fanatisme sempit yang mengancam persatuan bangsa.
3. Menjadikan Dakwah sebagai Transformasi Sosial.
Dakwah yang damai, humanis, dan inklusif akan memperkuat ukhuwah islamiyah, wathaniyah, dan insaniyah.
Kesimpulan
Kedamaian dalam beragama adalah esensi ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa kedamaian adalah ukuran sejati keislaman seseorang. Dalam konteks bangsa Indonesia yang majemuk, nilai ini menjadi pondasi bagi kehidupan beragama yang harmonis, menghormati perbedaan, dan menolak kekerasan atas nama agama.
Oleh karena itu, misi dakwah masa kini bukan hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga menumbuhkan kedamaian dalam hati, rumah tangga, masyarakat, dan bangsa.
Berikut versi kesimpulan final yang menyatu dengan konteks akademik, teologis, dan sosialnya, bro 👇
---
Kesimpulan
Tulisan berjudul “Kedamaian dalam Beragama: Perspektif Hadis, Sosial, dan Kontekstual Indonesia” ini berangkat dari refleksi atas pandangan Guru Besar Ilmu Hadis, Prof. Dr. Edi Syafri, yang menegaskan urgensi dan relevansi kajian hadis di UIN Imam Bonjol sebagai fondasi dalam memperkuat kedudukan Islam. Hadis bukan sekadar warisan teks keagamaan, tetapi sumber kebijaksanaan yang kaya dalam menjelaskan maksud dan semangat Al-Qur’an untuk kehidupan modern yang damai dan beradab.
Banyak umat belum memahami bahwa studi hadis bukan hanya pembelajaran normatif, melainkan sarana pengayaan moral, intelektual, dan sosial yang menuntun umat menuju kemajuan dan peradaban. Pemahaman mendalam terhadap hadis akan menumbuhkan kesadaran spiritual dan sosial yang menjadi basis bagi terwujudnya kedamaian dan perdamaian dunia.
Islam hadir untuk menebarkan kedamaian, bukan kebencian; membangun kasih sayang, bukan permusuhan. Kedamaian dalam beragama adalah nilai spiritual dan moral yang tumbuh dari kesadaran tauhid dan rahmat Allah. Rasulullah ﷺ datang membawa risalah kasih — rahmatan lil ‘alamin — yang menuntun umat hidup damai, saling menghormati, dan menjaga kemanusiaan.
Dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia yang plural dan multikultural, nilai-nilai kedamaian beragama merupakan fondasi bagi harmoni sosial dan persaudaraan kebangsaan. Hadis-hadis Nabi tentang kasih sayang, salam, dan perlindungan terhadap sesama menjadi sumber utama dalam membangun masyarakat madani (civil society) yang adil, inklusif, dan berkeadaban.
Implementasi nilai-nilai tersebut perlu diwujudkan melalui:
1. Pendidikan toleransi dan empati lintas iman;
2. Keteladanan ulama dan tokoh agama dalam berdakwah dengan hikmah;
3. Kebijakan publik yang adil dan berorientasi pada perdamaian sosial.
Falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) di Minangkabau adalah contoh kontekstual bagaimana nilai Islam dan budaya lokal menyatu dalam membangun masyarakat yang damai dan berakhlak. Adat yang berlandaskan syarak menghasilkan perilaku yang ramah, santun, dan seimbang antara duniawi dan ukhrawi.
Dengan demikian, kedamaian dalam beragama bukan hanya cita-cita moral, tetapi misi teologis dan sosial Islam. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa ukuran keislaman seseorang adalah sejauh mana orang lain merasa aman dari ucapan dan perbuatannya. Misi dakwah masa kini tidak cukup hanya menyampaikan kebenaran, tetapi harus menumbuh kan kedamaian dalam hati, rumah tangga, masyarakat, dan bangsa.
Kajian hadis di UIN Imam Bonjol, sebagaimana diingatkan Prof. Edi Syafri, memiliki peran strategis dalam melahirkan sarjana Islam yang memahami, menghayati, dan mengamalkan pesan Rasulullah ﷺ secara ilmiah, moderat, dan kontekstual — menuju Islam yang damai, mencerahkan, dan membangun peradaban.
Daftar Pustaka
1. Al-Qur’an al-Karim
2. Shahih al-Bukhari, Kitab al-Iman
3. Sunan at-Tirmidzi, Kitab al-Birr wa as-Silah
4. Abu Dawud, Kitab al-Jihad
5. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin
6. Nurcholish Madjid (1992). Islam Doktrin dan Peradaban.
7. Quraish Shihab (2018). Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat.

