Type Here to Get Search Results !

Indonesia, Ibuku: Sebuah Renungan Tentang Cinta, Harapan, dan Realita

Oleh : Akaha Taufan Aminudin

Puisi “Indonesia Ibuku” karya Fransiska Ambar Kristyani menyentuh relung hati dan menggugah kesadaran kolektif tentang perjuangan bangsa kita. 

Melalui metafora Indonesia sebagai seorang ibu yang sedang “pikun”, puisi ini mengajak kita merenung akan harapan, luka, dan doa yang menyelimuti perjalanan negeri. 

Dalam artikel ini, kita akan menyelami makna mendalam puisi tersebut yang telah dibaca Pengarangnya dengan penuh totalitas dan Ekspresi yang menarik dan mantap. Acara Rutin Bulan ke 2 SATUPENA Zoom Metting Nasional HATIPENA TV SATUPENA Kamis Kliwon 25 September 2025 dan menggali bagaimana ia relevan dengan tantangan bangsa hari ini, sambil menumbuhkan spirit optimisme yang tak lekang oleh waktu.

Indonesia selalu menjadi sesuatu lebih dari sekadar tanah dan bendera—Ia adalah ibu. Ibu yang membesarkan dan memelihara kita dengan penuh cinta, yang memberi jiwa pada identitas, sejarah, dan mimpi yang terus kita jaga. Fransiska Ambar Kristyani, melalui puisinya, menggambarkan ibu ini dalam bentuk yang sangat manusiawi: penuh semangat, namun kini mulai pikun, bahkan tersesat dalam ingatan dan arah.

Bayangkan ibu Anda yang sudah menjadi saksi berbagai peristiwa besar keluarga, namun kini mulai lupa detail penting—mandiri namun kadang menggelisahkan. Begitulah Indonesia menurut puisi ini: semangat masa muda yang membara kini terkadang tergelincir, tertimpa praktik-praktik korupsi dan ketidakadilan yang membuat negeri ini "pikun".

Mengapa “pikun”?

Pikun di sini bukan sekadar lupa biasa, tapi sebuah metafora keterlambatan bangsa untuk mengingat tujuan luhur yang pernah kami sepakati, yaitu keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Menurut laporan Transparency International, Indonesia masih menghadapi tantangan korupsi cukup serius. Jika negara yang kita cintai ini ‘melupakan’ cita-cita awal, kemana harus diarahkan harapan kita?

Namun, di tengah kekaburan, puisi ini tak berhenti pada keluhan. Ada titik cahaya dari kegigihan si anak yang setia: doa, kesabaran, dan panggilan untuk para wakil rakyat agar ‘sembuh’ dari kebodohan dan kelalaian mereka. Ini adalah seruan untuk kebangkitan, bukan hanya untuk mereka yang di kursi pemerintahan, tetapi juga untuk kita semua yang mengaku mencintai Indonesia.

Bukankah cinta sejati itu bukan hanya saat segalanya indah dan berjalan mulus? Justru dalam kesulitan dan keterpurukan, ikatan itu diuji. Kita diingatkan bahwa menjadi warga negara bukan hal pasif: kita punya peran aktif untuk menjaga ibu kita, negara ini, agar tidak terlena dalam “pikun” dan terlunta dalam arah yang ngawur.

Mari kita lihat sisi lain yang lebih cerah: Indonesia punya generasi muda penuh potensi dan kreativitas—mereka yang tak mau ibunya terus sakit, mereka yang percaya bahwa masih ada ruang untuk berubah dan memperbaiki. Melalui pendidikan, partisipasi politik yang sehat, dan semangat gotong royong, ‘ibu’ bangsa ini bisa kembali bugar.

Fransiska, lewat bait-bait puitisnya, juga mengajak kita untuk berdoa dan bertaruh pada kemanusiaan. Betapa doa menjadi kekuatan tak terlihat yang mampu memberi harapan dalam ketidakpastian. Kita patut merenung bahwa di balik segala problematika politik dan sosial, satu hal yang paling penting: kita tetap ‘setia’ pada ibu kita.

Refleksi dan Aksi

Jika Anda membaca puisi ini dan merasakan getarannya, mungkin ini saatnya menanyakan: Apa yang bisa saya lakukan untuk ‘menyembuhkan’ Indonesia? Berapa banyak dari kita yang aktif menyalurkan aspirasi dengan cerdas dan konstruktif? Sebagaimana humaniora mengajarkan, perubahan besar bermula dari langkah kecil dan kesadaran kolektif.

Mari jangan biarkan ibu kita terus ‘pikun’ tanpa pertolongan. Berikan telinga untuk mendengar suara rakyat, berikan suara untuk melawan ketidakadilan, dan berikan tangan untuk membangun kembali mimpi yang sempat redup.

Kesimpulan

“Indonesia Ibuku” lebih dari sekadar puisi. Ia adalah cermin dan cawan inspirasi yang memaksa kita memandang perjuangan bangsa dengan hati terbuka dan pikiran jernih. Dalam sebuah negara, seperti dalam keluarga, cinta tidak cukup jika tidak dibarengi dengan tindakan dan harapan yang konkrit. Puisi ini mengingatkan bahwa ibu kita, Indonesia, selalu menunggu anak-anaknya yang siap mengobati lukanya dengan kesetiaan, kerja keras, dan doa.

Mari terus berbagi dan merenungkan puisi ini, agar kita tidak hanya mau ‘setia’ dalam kata, tapi juga dalam perbuatan nyata. Karena, seperti kata Fransiska, walaupun sakit, “Aku tetap setia padamu”. Bukankah itu janji yang indah untuk negeri yang kita cintai?

Selasa Kliwon 30 September 2025

Drs. Akaha Taufan Aminudin 

KETUA SATUPENA JAWA TIMUR 

 #SatuPenaJawaTimur #HP3NKreatifBatu #KotaBatuLiterasiSastra #HP3NKreatifBatu #KotaBatuLiterasiSastra #PuisiUntukRakyat #SastraSebagaiPengadilan

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.