![]() |
Oleh : Ririe Aiko
Kasus bunuh diri seorang mahasiswa bernama Timothy Anugerah kembali mengingatkan kita bahwa luka terdalam manusia sering kali tidak berdarah. Luka itu tidak tampak di kulit, namun mengendap dalam batin, tumbuh menjadi beban yang menyesakkan dada. Di sanalah kata-kata beracun bekerja pelan, menembus batas logika, dan membunuh secara diam-diam.
Timothy, mahasiswa yang dikenal pendiam, cerdas, dan sopan, diduga menjadi korban perundungan dari rekan-rekannya sendiri. Ia dijadikan bahan ejekan bahkan fotonya disebar dan dijadikan lelucon di grup obrolan.
Setelah kepergiannya, alih-alih bersimpati, sekelompok pembully ini malah menjadikan foto almarhum Timothy sebagai bahan ejekan, seolah kematiannya pantas dijadikan bahan olokan teman-teman. Entah apa yang membuat mereka merasa lucu dari kematian seseorang yang tragis? Sangat miris dan minim empati. Kejamnya lidah telah bereinkarnasi menjadi jemari yang mengetik tanpa hati.
Fenomena ini menampar nurani kita semua. Bullying masih sering dianggap hal sepele, seolah hanya sekadar "candaan." Padahal, di balik tawa yang terdengar ringan, bisa tersimpan luka yang mematikan. Kita sering mendengar kalimat pembenaran seperti, "ah, cuma bercanda kok," atau "jangan baper, biasa aja." Tapi tidak ada yang "biasa" dari mempermalukan seseorang. Tidak ada yang "wajar" dari menertawakan luka orang lain.
Bullying bukan hanya soal individu yang "tidak kuat mental." Ia adalah cerminan budaya yang rusak, budaya yang menormalisasi penghinaan sebagai bentuk kedekatan, dan menjadikan ejekan sebagai sarana hiburan.
Di titik inilah kita perlu berhenti dan bertanya: sejak kapan menyakiti hati orang lain menjadi sesuatu yang lucu?
Dari sisi psikologis, berbagai penelitian menunjukkan bahwa dampak bullying jauh lebih serius daripada yang dibayangkan. Sebuah meta-analisis terhadap lebih dari 133 ribu anak dan remaja di berbagai negara menemukan bahwa korban bullying memiliki risiko hampir tiga kali lipat lebih tinggi mengalami depresi dibanding mereka yang tidak dibully. Studi longitudinal di Inggris juga mencatat bahwa korban perundungan pada masa kecil memiliki risiko dua kali lebih tinggi mengalami depresi dan kecemasan saat dewasa. Tekanan semacam ini tidak selalu tampak, namun efeknya bisa menetap seumur hidup.
Korban bullying sering kali menghadapi tekanan emosional yang luar biasa, rasa malu, kesepian, kehilangan kepercayaan diri, bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup. Luka verbal tidak mudah sembuh. Ia menancap di memori emosional, seperti duri halus yang tak bisa dicabut. Mungkin korban sudah memaafkan, tapi setiap kali mengingat kata-kata itu, perihnya kembali terasa. Seolah luka itu hidup, mengingatkan betapa pedihnya pernah dianggap hina hanya karena berbeda.
Kita sering lupa, setiap orang berjuang dalam diam. Ada yang sedang berusaha bangkit dari trauma, ada yang bertarung melawan kesepian, ada pula yang menahan air mata setiap malam. Maka, berhentilah mengorek kekurangan orang lain hanya untuk dijadikan bahan tertawaan. Jangan terlalu cepat menilai, sebab kita tidak pernah tahu seberapa keras seseorang sedang bertahan agar tetap terlihat baik-baik saja.

