Type Here to Get Search Results !

Brics sebagai Nobel Sastra Alternatif

oleh ReO Fiksiwan

Melalui BRICS, mari kita tunjukkan bahwa sastra bukanlah kemewahan bagi waktu damai, melainkan benih bagi kedamaian itu sendiri.“ — Denny JA(62), Ketua Umum Satupena.

Sejak Alfred Nobel(1833-1896) menetapkan penghargaan Nobel Sastra pada akhir abad ke-19, dunia sastra telah mengenal satu institusi yang dianggap sebagai puncak pengakuan literer global. 

Namun, sejarah panjang Nobel Sastra tidak lepas dari kritik, terutama karena bias geografis, ideologis, dan estetika yang menyertai seleksi para penerima penghargaan. 

Denny JA, dalam esainya “Mengapa Penghargaan Sastra dari BRICS Dapat Sejajar dengan Nobel Sastra,” mengusulkan alternatif yang berakar dari kekuatan budaya dan geopolitik negara-negara BRICS—Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan—sebagai tandingan terhadap dominasi Barat dalam penentuan kanon sastra dunia.

Gagasan Denny JA ini muncul dari ketidakpuasan terhadap Nobel Sastra yang kerap dianggap mengabaikan suara-suara dari dunia non-Barat. 

Dalam sejarahnya, Nobel Sastra lebih banyak dianugerahkan kepada penulis dari Eropa dan Amerika Utara, dengan kecenderungan estetika yang berpihak pada liberalisme, eksistensialisme, atau humanisme sekuler. Kritik terhadap Nobel bukanlah hal baru. 

Peter V. Zima(79), mengajar di berbagai universitas di Eropa, Universitas Bielefeld(Jerman), Universitas Groningen (Belanda), dan menjadi profesor penuh di Klagenfurt, dalam The Philosophy of Modern Literary Theory(1999) menyoroti bagaimana teori sastra modern sering kali terjebak dalam dikotomi antara estetika dan ideologi, dan bagaimana penghargaan seperti Nobel cenderung menegaskan satu paradigma dominan sambil menyingkirkan yang lain. 

Sebagaimana diungkap Gayatri Chakravorty Spivak(83): “Kaum subaltern tak bisa bicara. Tak ada kebajikan dalam daftar cucian global yang menempatkan 'perempuan' sebagai item saleh. Representasi belum pudar. Kaum intelektual perempuan, sebagai intelektual, memiliki tugas terbatas yang tak boleh ia ingkari dengan berlebihan.” (Can the Subaltern Speak?,1988).

Kritik terhadap cara representasi budaya—termasuk penghargaan sastra global—sering kali hanya menjadi daftar simbolik tanpa benar-benar memberi ruang bagi suara-suara yang terpinggirkan untuk berbicara atas nama mereka sendiri. 

Dalam konteks Nobel Sastra, kritik ini dapat dibaca sebagai penolakan terhadap praktik simbolik yang mengangkat penulis dari dunia ketiga hanya sebagai pengecualian eksotis, bukan sebagai bagian dari dialog sastra yang setara.

Dalam konteks ini, BRICS sebagai entitas geopolitik menawarkan pluralisme budaya yang lebih luas dan berpotensi menggeser pusat gravitasi sastra dunia.

Raman Selden (1931-1991) dkk., seorang ahli teori sastra,,filolog Inggris dan profesor di Lancaster University, dalam A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory(2005) menekankan pentingnya pendekatan multikultural dan interdisipliner dalam memahami karya sastra. 

Jika Nobel Sastra masih terikat pada nilai-nilai universal yang ditentukan oleh Barat, maka BRICS dapat menjadi ruang alternatif yang merayakan keberagaman lokal tanpa harus tunduk pada standar estetika hegemonik. 

Dalam kerangka ini, penghargaan sastra BRICS bukan sekadar tandingan, melainkan koreksi terhadap sistem penghargaan yang telah lama mengabaikan suara-suara dari Selatan Global.

D.W. Fokkema dan Elrud Kunne-Ibsch dalam Teori Sastra Abad Kedua Puluh(1998) menunjukkan bahwa teori sastra kontemporer telah bergerak menuju relativisme dan dekonstruksi terhadap narasi besar. 

Nobel Sastra, dengan segala prestisenya, sering kali gagal menangkap dinamika ini. 

Ia tetap menjadi simbol otoritas yang menetapkan siapa yang layak disebut “besar” dalam sastra, tanpa mempertimbangkan konteks sosial-politik yang melahirkan karya tersebut. 

Dalam hal ini, BRICS dapat menjadi ruang yang lebih demokratis, di mana sastra tidak hanya dinilai dari keindahan bahasa, tetapi juga dari keberanian menyuarakan realitas yang terpinggirkan.

Edward W. Said(1935-2003) dalam The World, the Text, and the Critic(2012) menegaskan bahwa kritik sastra harus melampaui batas-batas nasional dan ideologis. 

Mengutip Said, dalam Culture and Imperialism (1993) berikut: 

“Tak seorang pun saat ini yang murni satu hal. Label seperti India, perempuan, Muslim, atau Amerika tak lebih dari sekadar titik awal, yang jika ditelusuri ke dalam pengalaman nyata sesaat saja akan segera ditinggalkan. 

Imperialisme mengonsolidasikan campuran budaya dan identitas dalam skala global. Namun, hadiah terburuk dan paling paradoksnya adalah membiarkan orang-orang percaya bahwa mereka hanya, terutama, eksklusif, berkulit putih atau hitam, atau Barat atau Oriental.”

Kutipan ini mengandung kritik terhadap cara institusi budaya Barat, termasuk penghargaan sastra, sering kali menyederhanakan identitas dan pengalaman manusia ke dalam kategori-kategori yang kaku dan eksklusif. 

Dalam konteks Nobel Sastra, kritik Said dapat dibaca sebagai penolakan terhadap dominasi narasi Barat yang menetapkan standar tunggal bagi keunggulan sastra, mengabaikan keragaman pengalaman dan suara dari dunia non-Barat.

Ia menyerukan agar teks dibaca dalam konteks dunia, bukan hanya dalam tradisi literer tertentu. Nobel Sastra, meski mengklaim sebagai penghargaan global, sering kali gagal memenuhi prinsip ini. 

Sebaliknya, BRICS sebagai entitas multikultural memiliki potensi untuk menghidupkan kembali semangat Said: menjadikan sastra sebagai medan kritik terhadap kekuasaan, bukan sekadar perayaan estetika.

Dengan demikian, gagasan Denny JA tentang BRICS sebagai Nobel Sastra Alternatif bukanlah sekadar ambisi politik atau kebanggaan regional. Ia adalah respons terhadap krisis representasi dalam dunia sastra global. 

Ia mengusulkan sebuah sistem penghargaan yang lebih inklusif, lebih plural, dan lebih peka terhadap dinamika sosial-budaya yang melahirkan karya sastra. 

Dalam dunia yang semakin terhubung namun tetap terbelah oleh warisan kolonial dan dominasi budaya, BRICS dapat menjadi ruang baru bagi sastra untuk berbicara dengan suara yang lebih jujur dan lebih beragam.

#coversongs: “A Book of the Sea" oleh Billy Esteban(54) dirilis pada 18 Juli 2025 sebagai bagian dari album Road to Istanbul di bawah label Cafe De Anatolia.

Musik ini —meski tidak disertai lirik eksplisit—dapat ditafsirkan melalui gaya musiknya yang khas: ambient, chill-out, dan etnik elektronik. 

A Book of the Sea, menyiratkan perjalanan batin dan spiritual yang terinspirasi oleh laut sebagai metafora kehidupan. Laut dalam tradisi musik dan sastra sering melambangkan kedalaman emosi, misteri, dan ketenangan sekaligus bahaya. 

Dalam konteks Billy Esteban, yang dikenal dengan nuansa musik Timur Tengah dan Mediterania, lagu ini kemungkinan besar mengajak pendengar merenungi ritme alam dan perjalanan jiwa yang tak terucapkan.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.