![]() |
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol dan Pengampu Mata Kuliah Islam dan Keminangkabauan
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) merupakan fondasi moral dan kultural masyarakat Minangkabau. Ia bukan sekadar filosofi, melainkan kerangka sosial yang menghubung kan agama, adat, dan kehidupan sehari-hari. Namun, di tengah arus globalisasi dan modernisasi, ABS-SBK menghadapi tantangan serius yang menggerus fungsinya sebagai pedoman moral dan sosial.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang kuat, tata kelola yang efektif, serta revitalisasi nilai-nilai kultural agar ABS-SBK tetap menjadi roh kehidupan masyarakat Minangkabau.
Kehendak untuk merevitalisasi ABS-SBK sudah lama disuarakan, hasilnya Pemerintah sudah mengakomodir karakteristik budaya tersebut dituangkan dalam Undang- Undang Nomor 17 tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat.
Sayang sudah tiga regulasi strategis ini hadir belum ada peraturan pemerintah (PP), Peraturan (Perda) Provinsi yang akan menjadi acuan dalam membuat Perda Kabupaten Kota dan Peraturan Nagari.
Sebagai ikhtiar "menggedor"nurani Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Sumatera Barat maka tokoh yang peduli pada ketahanan masyarakat diminta untuk menyuarakannya lebih nyaring lagi.
Patut rasanya dibuka mata hati bahwa realita negeri Bundo Kandung ini tidak sedang "baik- baik" saja. Banyak sumbu kehidupan sudah retak dan arah masa depan sepertinya menuju "Minangkabau Gelap"
Di antara fakta kerusakan moral, sosial, dan budaya adalah:
1. Realitas Permisif (Krisis Moral dan Kepercayaan)
Dari perspektif sosiologi Durkheim, fenomena permisivisme mencerminkan anomie — runtuhnya norma dan nilai yang mengikat masyarakat. Krisis moral ini mengakibatkan lemahnya kohesi sosial. Ujung rapuhnya kohesi sosial telah menggeser budaya hidup komunal yang ciri khas orang Minangkabau. Sa hino sa mulia, lamak di awak ka tuju dek urang dan banyak kearifan tentang ini.
2. Menguatnya Sekuleristik (Agama Formalistik dan Simbolik)
Antropologi Clifford Geertz menjelaskan fenomena agama yang terjebak dalam simbol dan ritual belaka, tanpa menyentuh praksis kehidupan. Agama kehilangan peran transformasionalnya dalam ruang publik.
Mudah sekali menemukannya rumah super mewah di tengah gubuk reot. Haji dan umrah berkali-kali, berzakat dan membantu dhuafa berat sekali. Rumah ibadah megah tapi sepi jamaah dan banyak lagi fenomena sekuler di masyarakat.
3. Budaya Materialistik (Transaksional)
Menurut teori modernisasi Inglehart, pergeseran dari nilai-nilai luhur ke orientasi material menunjukkan peralihan masyarakat ke arah consumerism dan transaksionalisme.
Faktanya lihat saja setiap hari cafe memblundak, tempat hiburan ramai, pengajian lenggang, kalaupun ada diiringi budaya konsumerisme dan penceramah bertarif.
4. Minimnya Role Model (Figur Teladan)
Sosiologi kepemimpinan Max Weber menekankan pentingnya charismatic authority untuk menjaga legitimasi. Minimnya figur pemimpin teladan membuat nilai ABS-SBK sulit diwujudkan secara nyata.
Penegak dan tokoh adat, pegiat budaya dan moral yang sulit dijadikan teladan. Mantan narapidana korupsi, pemangku adat berselingkuh. Tanah pusako dijual ninik mamak dan panjang lagi deretan kasus yang mendegradasi keteladanan tokoh.
5. Gaya hidup. Pragmatisme (Dari Idealisme ke Kepentingan Sesaat)
Secara antropologis, pragmatisme ini menunjukkan “pelemahan” adat sebagai living law. Ia bergeser dari norma ideal menjadi alat kepentingan sesaat yang dapat dinegosiasi.
Transaksi "wanipiro" kata yang mudah meluncur saat ada kepentingan. Uang dan jasa menjadi instrumen dalam setiap urusan.
Tawaran Solusi: Perspektif Teoretis dan Praktis
1. Yuridis: Payung Hukum ABS-SBK.
Menurut teori kebijakan publik Dunn, legalisasi menjadi syarat utama agar sebuah nilai dapat diimplementasikan. Perda ABS-SBK sebagai turunan UU No. 17 Tahun 2022 harus segera diwujudkan untuk memperkuat landasan yuridis.
2. Bimtek Penguatan SDM Penghulu.
Dalam teori capacity building, penguatan SDM adat dan syarak adalah kunci. Penghulu berkompetensi bukan hanya pewaris pusaka, tetapi juga agen sosial yang mampu mengelola konflik, menjaga marwah, dan menjadi teladan.
3. Tata Kelola Limbago Adat dan Lembaga Otoritatif.
Dari perspektif governance, tata kelola adat yang teratur akan meningkatkan legitimasi lembaga. Penataan ulang limbago adat di nagari dan penguatan lembaga adat yang berotoritas akan menutup celah tumpang tindih peran.
4. Buku Putih ABS-SBK.
Antropologi hukum menyebutkan pentingnya codification of customary law. Buku Putih ABS-SBK berfungsi sebagai kompilasi nilai, norma, hukum, dan tata laksana adat sabatang panjang — menjadi pedoman kolektif yang mengikat.
5. Dinas atau Badan ABS-SBK.
Secara kebijakan, kelembagaan yang berdiri formal akan menjamin keberlanjutan. Dinas ABS-SBK di tingkat provinsi/kabupaten/kota dapat menjadi motor regulasi, edukasi, dan implementasi nilai.
6. Otoritas Tungku Tigo Sajarangan (Pemda, LKAAM, MUI).
Teori sosiologi Talcott Parsons menekankan pentingnya institusional integration. Forum tiga pilar ini memastikan ABS-SBK tidak terfragmentasi dan tetap terintegrasi dalam ekosistem pemerintahan, adat, dan agama.
7. ABS-SBK untuk Perantau (Diaspora Minangkabau).
Dalam antropologi diaspora, budaya yang dibawa ke rantau menjadi identitas kolektif yang mengikat. Program ABS-SBK lintas negara akan memperkuat solidaritas global urang awak sekaligus menjadikan Minangkabau sebagai cultural soft power.
Penutup
ABS-SBK tidak hanya warisan, melainkan instrumen sosial yang relevan untuk menjawab krisis moral, sosial, dan budaya masyarakat Minangkabau kontemporer. Dengan payung hukum yang kuat, tata kelola yang terarah, dan revitalisasi nilai yang menyentuh ranah lokal hingga global, ABS-SBK akan tetap tegak sebagai filosofi hidup yang melembaga — bukan hanya slogan, tetapi praksis nyata dalam kehidupan masyarakat.10092025

