![]() |
Oleh: Duski Samad
Kajian Subuh Masjid Darul Muttaqin, Selasa 9092025
Islam datang untuk menegakkan kebaikan, kebenaran, kejujuran dan mencegah kezaliman, penegakkan kekuatan (moral power).
Adab (moral) dalam semua sisi kehidupan adalah pilar paling utama, lebih lagi bagi pemegang kuasa.
Relasi antara pemegang kuasa dengan rakyat, mendukung dan mengontrol kekuasaan menjadi penting. Konsep dasarnya ya'muruna bil ma'ruf wayanhawna anil munkar (QS. Ali Imran, 110).
Imam al Ghazali dalam kitabnya Ihya ulumuddin menulis tentang adab bagi pemimpin yang dzalim.
A. Haram.
> “اعلم أن لك مع الأمراء والعمّال الظلمة ثلاثة أحوال…” —
(1) engkau yang masuk kepada mereka (paling buruk), (2) mereka yang datang kepadamu (lebih ringan), (3) yang paling selamat: menjauh sehingga tak berjumpa.
> “خيرُ الأمراءِ الذين يأتون العلماء، وشرُّ العلماءِ الذين يأتون الأمراء.”
> “من دخَلَ على السُّلطانِ تعرَّضَ للمعصية… سنفرِّقُ فيه المحظورَ والمكروهَ والمباح.”
> “لا يُباحُ إلا مُجرَّدُ السَّلام”
(tanpa tunduk, membungkuk, mencium tangan, memuliakan secara melampau).
Masuk kepada penguasa zhalim (ke istana/majlisnya) secara sukarela: “مذمومٌ جدًّا في الشرع”;
banyak peringatan dan ancaman.
Memuliakan (membungkuk, mencium tangan, berdiri berlebihan karena kekuasaan) dan tawadu’ karena kezalimannya:
“التواضع للظالم معصية… لا يُباح إلا مجرد السلام”.
Duduk di atas harta/karpet hasil ghasab atau memanfaatkan fasilitas haram mereka.
Diam atas kemungkaran di majelis mereka (melihat sutra/emas/ucapan keji, makanan haram, dsb.) — diam berarti berbagi dosa; wajib amr ma‘rūf–nahy munkar bila mampu.
Memuji/menyanjung fasik dan membantu kezaliman walau “setengah kata”:
“من أكرم فاسقًا… والإعانة على المعصية معصية ولو بشطر كلمة.”
B. Yang makruh/berbahaya
Menerima kunjungan mereka ke rumah kita (lebih ringan dari kita yang mendatangi), namun tetap penuh fitnah; prinsipnya menjaga jarak dan tidak menambah “warna” mereka (suwād).
Kedekatan rutin ahli ilmu dengan penguasa:
“أبغضُ القُرّاءِ إلى الله الذين يزورون الأمراء”.
C. Yang boleh (mubāḥ) — dengan syarat ketat
Sekadar salam tanpa gestur pemuliaan yang melampau.
Masuk karena kebutuhan syar‘i: untuk menegakkan kebenaran, menolak kezaliman, mengembalikan hak orang teraniaya, dengan keberanian berkata benar, tidak kompromi, dan aman dari fitnah diri. (Bab ini mencontohkan sikap para salaf saat “terpaksa” masuk: mereka menasihati keras dan mempertaruhkan nyawa demi Allah).
Menerima sesuatu (manfaat/hadiah) bila yakin tidak menambah cinta kepada mereka dan tidak mengandung rekayasa ridha terhadap kezalimannya:
“ولا تَركَنوا إلى الذين ظلموا… فإن كنتَ في القوّة بحيث لا تزداد حبًّا لهم بذلك فلا بأس بالأخذ.”
Cuplikan Dalil Hadis yang dikutip al-Ghazālī di bab ini.
“Akan ada penguasa yang berdusta dan menzhalimi; siapa membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezalimannya, ia bukan golonganku.” (riwayat Kʿab b. ‘Ujrah, dinilai sahih oleh sebagian; dibawa al-Ghazālī di sini).
“Sebaik-baik penguasa yang mendatangi ulama; seburuk-buruk ulama yang mendatangi penguasa.”
Analisis:
Bab Keenam Ihyā’ ‘Ulūmiddīn juz II hal. 223 tentang “ḥalāl–ḥarām bergabung dengan sulṭān zhalim” melalui tiga pendekatan: nash, fatwa ulama, dan analisis ilmiah.
1. Analisis Berdasarkan Nash
a. Al-Qur’an
QS. Hūd [11]: 113
> “Dan janganlah kalian cenderung (tunduk, menyokong) kepada orang-orang yang zhalim, yang menyebabkan kalian disentuh api neraka...”
→ Dalil qath‘i yang menegaskan larangan cenderung (rukūn) kepada penguasa zhalim.
QS. Al-Baqarah [2]: 188
> “Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan cara batil, dan (jangan) kalian membawa (perkara itu) kepada hakim untuk memakan sebagian harta orang lain dengan dosa padahal kalian mengetahui.”
→ Isyarat larangan kolusi hukum dan dukungan terhadap struktur kezaliman.
b. Hadis Nabi ﷺ
“Sebaik-baik pemimpin ialah yang mendatangi ulama, seburuk-buruk ulama ialah yang mendatangi pemimpin.” (HR. ad-Dailamī, al-Bayhaqī; dinilai hasan li-ghairih)
“Akan ada pemimpin-pemimpin sesudahku, barang siapa membenarkan kedustaan mereka dan menolong kezalimannya, maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Nasa’i, Ahmad).
“Siapa memperbanyak jumlah (pengikut) suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Ya‘la).
Nash Qur’an dan Hadis menekankan dua larangan pokok:
1. Larangan condong atau membantu kezaliman.
2. Larangan memberi legitimasi kepada kekuasaan zalim.
2. Analisis Berdasarkan Fatwa & Pandangan Ulama
a. Imam al-Ghazālī (Iḥyā’)
Haram berat: mendatangi istana/pintu-pintu penguasa zalim tanpa maslahat syar‘i → termasuk perbuatan tercela.
Makruh bahkan dosa: menerima kemewahan, makanan, hadiah mereka tanpa sikap kritis, sebab dianggap ridha atas kezalimannya.
Dibolehkan dengan syarat: jika tujuannya menasihati dengan berani, menyelamatkan hak orang lemah, menolak kezaliman, serta aman dari fitnah diri.
b. Ulama Salaf
Sufyān ats-Tsaurī: “Barang siapa bergaul dengan penguasa, maka dia akan terkena fitnah.”
Imam Mālik: melarang qādī (hakim) yang tunduk pada sulṭān karena dianggap menodai independensi syar‘i.
Ibn Hajar al-Haitamī (al-Zawājir): menyebut mendatangi raja zalim untuk mendapat dunia termasuk dosa besar.
c. Fatwa Kontemporer
Majma‘ al-Fiqh al-Islāmī (OKI): menegaskan larangan kolaborasi dengan struktur kezaliman, kecuali posisi yang digunakan untuk reformasi, advokasi rakyat, atau menegakkan syariat secara nyata.
Ulama modern seperti Yūsuf al-Qarḍāwī: “Dekat dengan penguasa bisa jadi ibadah bila menegakkan amar ma‘ruf nahi munkar; tapi jadi dosa besar bila untuk legitimasi zalim.”
3. Analisis Ilmiah (Psiko-Sosial & Politik)
a. Perspektif Etika Politik Islam
Kedekatan ulama–sultan adalah relasi kuasa. Secara sosiologis, ulama bisa menjadi penyeimbang moral atau justru stempel agama bagi kekuasaan.
Ihyā’ menekankan bahaya kooptasi: ulama kehilangan independensi moral bila larut dalam kenikmatan istana.
b. Perspektif Psikologi Moral
Cognitive dissonance: ulama yang mendekat dengan penguasa zalim cenderung mencari justifikasi untuk meredam konflik batin → lahir fatwa yang condong mendukung.
Hal ini mengikis integritas ulama, memunculkan krisis kepercayaan publik terhadap agama.
c. Perspektif Hukum & Tata Negara
Hubungan agama–negara selalu rentan. Dalam sejarah Islam klasik (Umayyah–Abbasiyah), ulama yang dekat dengan sulṭān sering dituduh kompromistis (misal Qādī al-Quḍāt tertentu).
Sebaliknya, ulama yang menjaga jarak (mis. Imam Aḥmad, Abu Ḥanīfah) dihormati sepanjang zaman karena independensinya.
Konteks modern: good governance menuntut check and balance. Ulama seharusnya berada di sisi civil society, bukan sekadar ornamen kekuasaan.
Kesimpulan Analitis
1. Nash Qur’an–Hadis mengharamkan kecenderungan dan dukungan terhadap kezaliman, serta memberi ancaman neraka bagi yang ikut melanggengkan.
2. Fatwa ulama klasik–kontemporer sepakat: haram bergaul dengan penguasa zalim kecuali untuk amar ma‘rūf, advokasi, dan menjaga agama.
3. Analisis ilmiah menunjukkan bahaya integritas, kooptasi, dan hilangnya fungsi kontrol ulama bila terlalu dekat dengan istana.
4. Prinsip utama: mendekat hanya bila ada maslahat syar‘i yang lebih besar dan dengan sikap independen; selebihnya, menjauh adalah lebih aman dan lebih menjaga marwah ulama. 09092025

