![]() |
Oleh: Duski Samad
Pembahas peran hukum adat sebagai fondasi sosial dalam mengelola keragaman dan membangun toleransi adalah urgen dan strategis. Dengan pendekatan teori sosiologi hukum, tulisan ini menekankan prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban warga dalam masyarakat majemuk, khususnya antara kelompok mayoritas dan minoritas.
Studi kasus Minangkabau digunakan untuk menunjukkan bagaimana falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) mengatur relasi sosial yang adil dan harmonis.
Toleransi dalam masyarakat multikultural bukan sekadar pilihan moral, tetapi kebutuhan sosial yang diatur dalam sistem nilai lokal, termasuk hukum adat. Di tengah meningkatnya gesekan antar kelompok, penting untuk kembali menggali nilai-nilai lokal yang telah terbukti menjaga harmoni sejak lama. Salah satunya adalah hukum adat, yang dalam konteks Minangkabau mengintegrasikan adat, syariat, dan budaya hidup berdampingan.
Teori Sosiologi
Sosiologi hukum memandang hukum sebagai bagian dari sistem sosial. Menurut Eugen Ehrlich, "hukum hidup" bukan hanya tertulis dalam perundangan, tetapi hidup dalam kebiasaan dan struktur sosial masyarakat.
Dalam konteks ini, hukum adat adalah bentuk hukum yang mengatur relasi sosial secara fungsional.
Norbert Rouland menegaskan bahwa hukum adat mengandung norma informal yang bisa lebih efektif dalam mengatur keragaman budaya dibanding hukum formal negara.
Toleransi sebagai konsep sosiologis, menurut Habermas, bukan hanya soal membiarkan perbedaan, tetapi kemampuan masyarakat untuk mengatur perbedaan dalam kerangka norma bersama. Maka hukum adat menjadi wadah untuk membangun toleransi yang aktif, bukan pasif.
Prinsip Keseimbangan Sosial dalam Toleransi
Dalam masyarakat adat, toleransi dibangun atas prinsip keseimbangan hak dan kewajiban.
Minoritas tahu diri: menghormati nilai lokal, tidak memaksakan simbol atau praktik yang bisa memicu sensitivitas mayoritas.
Mayoritas melindungi: menjamin hak-hak minoritas tanpa merasa terancam oleh perbedaan.
Prinsip ini mencerminkan apa yang oleh John Rawls disebut sebagai overlapping consensus — yakni titik temu nilai dasar yang bisa diterima semua pihak dalam masyarakat plural.
Studi Kasus: Minangkabau dan Falsafah ABS-SBK
Minangkabau adalah masyarakat adat yang menjunjung tinggi falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Falsafah ini menjadi pedoman dalam hubungan antar warga, termasuk dalam menyikapi perbedaan agama dan etnis.
Beberapa contoh praktik toleransi yang berbasis hukum adat di Minangkabau.
Penerimaan komunitas Tionghoa dan India Muslim di kota-kota pantai seperti Padang, Pariaman, dan Painan, yang hidup berdampingan secara damai selama ratusan tahun.
Pengelolaan tanah ulayat yang mempertimbangkan hak pendatang melalui musyawarah, bukan akuisisi sepihak.
Surau dan masjid menjadi pusat mediasi sosial dalam menyelesaikan konflik, bukan sekadar tempat ibadah.
Di satu sisi, minoritas tahu bahwa mereka hidup di tengah komunitas adat dan tidak boleh menabrak nilai-nilai lokal. Di sisi lain, masyarakat lokal tidak membiarkan diskriminasi atau pengucilan terjadi.
Implikasi dan Relevansi
Model toleransi yang berbasis hukum adat Minangkabau relevan untuk dikembangkan secara nasional.
Di tengah tuduhan intoleransi terhadap beberapa wilayah adat, penting untuk menampilkan praktik lokal yang justru menginspirasi toleransi berbasis nilai dan struktur komunitas.
Model ini juga bisa menjadi alternatif pendekatan “security approach” yang seringkali gagal membangun perdamaian berkelanjutan.
Kesimpulan
Hukum adat bukan sekadar warisan budaya, tetapi instrumen sosial yang hidup dan berfungsi dalam mengatur relasi antar kelompok. Dalam kerangka toleransi, hukum adat mengajarkan prinsip minoritas tahu diri dan mayoritas melindungi, sebagai formula keseimbangan yang adil. Studi kasus Minangkabau membuktikan bahwa ketika adat dan syarak berjalan seiring, maka harmoni sosial dapat dirawat secara kolektif dan beradab..DS.03082025
Referensi
• Ehrlich, Eugen. Fundamental Principles of the Sociology of Law. Harvard University Press, 1936.
• Rawls, John. Political Liberalism. Columbia University Press, 1993.
• Rouland, Norbert. Legal Anthropology. Stanford University Press, 1994.
• Habermas, Jürgen. Between Facts and Norms. MIT Press, 1996.
• Nasroen, M. Falsafah Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
• Muchtar Naim. Merantau: Pola Migrasi Orang Minang. Jakarta: Gema Insani, 1995.
• Samad, Duski. Nagari Rentan Disharmoni: Membangun Kerukunan dalam Bingkai Adat. Padang: FKUB Sumbar, 2023.
*Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat

