![]() |
oleh ReO Fiksiwan
-Menyambut Buku Otobiografi 75 Tahun Erros Djarot -
„Awan hitam di hati
yang sedang gelisah
Daun-daun berguguran
Satu-satu jatuh ke pangkuan
Kutenggelam sudah
ke dalam dekapan
Semusim yang lalu
Sebelum 'ku mencapai
langkahku yang jauh
Kini semua bukan milikku
Musim itu telah berlalu
Matahari segera berganti
Badai pasti berlalu…“ — Berlian Hutahuruk(67), Album Badai Pasti Berlalu(1977).*
Di tengah gegap gempita segala genre musik, siapa yang tak pernah menyimak sejenak lagu Pelangi, Merpati Putih, Angin Malam dari vokal khas mendiang Chrisye atau Badai Pasti Berlalu dari vokal tinggi Berlian Hutahuruk, rasanya mereka kurang beruntung atau tak dianugrahi telinga.
Inilah genre musik pop kreatif, album musik dan lagu Badai Pasti Berlalu, yang dibesut Teguh Karya jadi film dari novel judul serupa, Marga T. dan komposisi soundtrack-nya digarap Erros Djarot, langsung menyabet Piala Citra FFI 1978 untuk theme song.
Namun komposernya, Erros Djarot, hingga kini, adalah badai yang tak pernah reda dalam lanskap budaya dan politik Indonesia.
Nyatanya, Erros bukan sekadar musikus, jurnalis, atau sutradara—ia adalah sosok yang melintasi batas-batas disiplin dengan semangat kreatif yang tak bisa dijinakkan.
Sejak awal, hidupnya adalah perjalanan melawan arus, dan setiap karya yang ia hasilkan adalah bentuk perlawanan terhadap stagnasi, baik dalam seni maupun dalam wacana kebangsaan.
Di awal 1970-an, Erros menempuh studi musik di Hochschule für Musik und Darstellende Kunst di Berlin Barat.
Di sana, ia menyerap berbagai genre musik Eropa, dari klasik, jazz, hingga rock progresif.
Ia mempelajari teori komposisi, harmoni, dan orkestra dengan pendekatan yang sistematis, namun tetap terbuka terhadap eksplorasi.
Pengaruh musik kontemporer Jerman dan Eropa Timur membentuk cara pandangnya terhadap musik sebagai medium naratif dan filosofis.
Ia tidak melihat musik sebagai hiburan semata, melainkan sebagai bahasa yang mampu menyampaikan gagasan dan emosi yang kompleks.
Dari sana lahir semangat “pop kreatif”—genre yang ia rancang sendiri sebagai sintesis antara struktur musik Barat dan sensibilitas lokal Indonesia.
Album Badai Pasti Berlalu adalah puncak dari pencarian musikal itu.
Bersama Chrisye, Jockie Surjoprajogo, Keenan Nasution, Fariz RM, dan Gauri Nasution, Erros menciptakan langgam suara yang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia.
Lagu-lagu dalam album itu bukan sekadar pop; mereka adalah simfoni kecil yang menggabungkan progresi akor yang rumit, aransemen orkestra, dan lirik yang puitis.
Musiknya melampaui genre, menjadi semacam narasi sonik yang menyatu dengan tema film adaptasi novel Marga T. yang juga ia garap.
Di tangan Erros, pop menjadi ruang kontemplatif, tempat di mana keindahan dan kesedihan bisa berdialog.
Namun Erros tak berhenti di musik. Ia mendirikan tabloid politik Detik di masa Orde Baru, sebuah langkah yang nyaris bunuh diri secara politik.
Tapi bagi Erros, jurnalisme adalah bentuk lain dari komposisi: menyusun fakta, opini, dan keberanian menjadi simfoni perlawanan.
Detik menjadi suara alternatif yang berani mengusik kekuasaan, dan akhirnya dibredel karena terlalu jujur.
Dalam filsafat evolusi kreatif Henri Bergson, tindakan Erros adalah manifestasi dari dorongan hidup yang melampaui mekanisme sosial—sebuah elan vital yang tak bisa dibendung.
Sebagai sutradara, Erros menciptakan film Tjut Nya Dien yang dibintangi Christine Hakim.
Film ini bukan sekadar biopik, melainkan tafsir sinematik atas sejarah yang hidup.
Ia menggabungkan estetika visual dengan kedalaman naratif yang menggugah kesadaran nasional.
Film itu menjadi representasi dari cara Erros melihat sejarah: bukan sebagai arsip, tapi sebagai medan pertempuran ide.
Pasca reformasi, Erros sempat bergabung dengan PDIP, namun memilih keluar dan mendirikan Partai Persatuan Nasional (PPRN).
Ia menolak menjadi bagian dari politik transaksional, dan lebih memilih jalur idealisme.
Dalam retorika politiknya, terselip sarkasme yang mengingatkan pada gaya Bung Karno—retoris, filosofis, dan kadang menggoda absurditas kekuasaan.
Ia tidak pernah benar-benar menjadi politisi dalam arti konvensional; ia adalah seniman yang menggunakan politik sebagai medium ekspresi.
Kini, di usia 75, Erros masih menyulut api wacana lewat podcast Bongkar Alus bersama jurnalis Lukas Luwarso.
Ia membongkar isu-isu politik dengan gaya yang tajam, kadang jenaka, kadang getir. Tapi selalu jujur.
Ia adalah bukti bahwa kreativitas bukan milik usia muda, melainkan milik jiwa yang tak pernah puas.
Dalam pandangan bio-antropolog, Agustin Fuentes(59), Erros adalah contoh nyata dari “creative sparkly”—kilatan kreativitas yang muncul dari tekanan sosial dan dorongan untuk bertahan(Lihat, The Creative Spark: How Imagination Made Humans Exceptional, 2017).
Erros Djarot adalah evolusi kreatif yang tak linear.
Ia melintasi musik, jurnalisme, sinema, dan politik dengan satu benang merah: keberanian untuk berpikir dan bertindak di luar pakem.
Dalam dunia yang semakin seragam, ia adalah anomali yang terus menyala.
Seperti badai yang tak pernah benar-benar berlalu, Erros adalah gelombang yang terus mengguncang, mengingatkan kita bahwa kreativitas sejati lahir dari keberanian untuk berbeda.
*Latar lagu berasal dari vokal Chrisye dari album new release orkestrasi Badai Pasti Berlalu(BPB), komposer Erwin Gutawa(63).

