![]() |
Kemiskinan memang terjadi akibat kultural dan struktural. Karena kemiskinan yang terbawa oleh kultural karena nilai dan norma bawaan dari masyarakat yang bersangkutan sangat mempengaruhi perilaku dan keputusan pilihan dalam ekonomi mereka.
Karena itu, pola pikir yang terbatas tidak mendapat dukungan terhadap upaya untuk keluar dari kondisi yang miskin itu akan sangat mempengaruhi kemampuan mereka untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik dari kondisi sebelumnya.
Kecuali itu, kemampuan untuk bekerja yang produktif tidak akan pernah mampu untuk memperbaiki tingkat hidupnya. Jadi untuk keluar dari kondisi yang miskin tidak sekedar cukup bekerja keras dengan membanting tulang secara membabi-buta.
Biasanya keterbatasan akses pun akan menjadi penyebab untuk keluar dari kemiskinan yang paling akut dan parah. Apalagi ditimpali oleh sarana dan prasarana yang terbatas, tidak memiliki modal kerja apalagi modal finansial.
Namun yang lebih parah adalah sikap yang terlanjur terkungkung dalam tradisi utamanya dalam pengertian personal maupun komunal yang terkungkung oleh adat istiadat yang menjerat. Karena gagasan para ahli ekonomi diperlukan semacam revolusi mental sekaligus moral. Sebab acap kali belenggu budaya bawaan seperti ini jauh lebih sulit diatasi. Maka itu, kemiskinan kultural harus dipahami miliki perbedaan yang signifikan dengan kemiskinan struktural.
Saran dan pendapat para ahli ekonomi untuk keluar dari lingkungan kemiskinan yang disebabkan oleh budaya bawaan harus mendapat atau menemukan motivasi untuk meningkatkan taraf hidup melalui usaha meningkatkan terlebih dahulu kemampuan dan keterampilan melalui berbagai pelatihan atau pendidikan.
Bersamaan dengan itu sikap dan sifat untuk bergantung pada pihak lain harus ditinggalkan agar dapat mandiri dalam cara kerja maupun dalam proses usaha yang tidak lagi sepenuhnya bergantung pada pihak lain.
Nasehat para cerdik pandai -- termasuk psikolog -- menganjurkan untuk menanggalkan sama sekali sikap dan sifat fatalistik yang cenderung membuat orang yang bersangkutan menjadi pasrah -- seperti menyerah -- untuk tidak ingin meningkatkan taraf hidupnya karena percaya pada suratan nasib yang tidak bisa diubah dalam berbagai bentuk ikhtiar dan usaha yang justru banyak dianjurkan dalam ajaran dan tuntunan agama.
Demikian juga dengan kemiskinan yang disebabkan struktur ekonomi, sosial, politik yang tidak adil atau tidak melindungi seperti praktik yang terjadi di Indonesia. Sebab faktor-faktor penyebab mulai dari kebijakan pemerintah, pergolakan dalam struktur ekonomi dan tersumbatnya akses pendidikan serta lapangan kerja yang cenderung menindas. Karenanya penyakit utama dalam kemiskinan struktural dirumuskan oleh para ahli agar dapat didekati dengan cara yang komprehensif dan berkelanjutan dalam arti perlindungan dan pengamanan dari pemerintah yang tidak korup.
Dalam kondisi dan situasi seperti inilah peran dari pengambil kebijakan yang memiliki kecerdasan spiritualitas sangat diperlukan -- termasuk bagi pelaku ekonomi -- agar dapat lebih memahami diri supaya tidak tergerus arus dari sistem ekonomi kapitalistik yang selalu mendewakan nilai-nilai material ketimbang hal yang bernilai spiritual. Sehingga kemiskinan pun sebelum mampu diatasi secara kultural maupun secara struktural dapat dihadapi dengan sikap yang bijak dan bestari.
Antara kemiskinan yang disebabkan oleh kultural dan kemiskinan yang terasut oleh struktural patut dipahami supaya dapat keluar dari jeratan yang membelenggu. Supaya berbagai upaya dan usaha dapat diatasi secara sistemik dan praktik yang tidak sia-sia. Lantaran inti pokoknya adalah gerakan perlawanan budaya spiritual yang harus dilakukan secara konsisten, tangguh dan kerja keras yang terus menerus seperti menerobos benteng kekaisaran yang zalim.
Karena itu, keberanian untuk menjadi orang miskin pun -- sebagai konsekuensi logis dari perjuangan yang tidak berujung -- merupakan bagian dari laku spiritual yang tidak banyak dapat dilakukan oleh setiap orang.
Banten, 2 Juli 2025