Type Here to Get Search Results !

Budaya Sogok Masuk Sekolah Negeri: Ketika Korupsi Diajarkan Sejak Dini Oleh : Ririe Aiko

Setiap tahun ajaran baru, seleksi masuk sekolah negeri selalu menjadi momen yang dinanti sekaligus menegangkan bagi para orang tua. Terutama di kota-kota besar, sekolah negeri favorit dianggap sebagai "gerbang emas" menuju masa depan yang lebih cerah bagi anak-anak mereka. Namun, di balik antusiasme dan kepanikan itu, ada satu fenomena yang masih saja berulang dari tahun ke tahun, praktik sogok menyogok demi bisa duduk manis di bangku sekolah negeri favorit.

Fenomena ini, meski kerap dibantah dan ditekan oleh kebijakan pemerintah, seolah tetap menemukan jalannya sendiri. Tak sedikit orang tua yang enggan melewati prosedur administrasi yang ketat dan panjang. Mereka memilih jalur “donasi”, titipan kursi melalui koneksi dengan oknum sekolah, atau memanfaatkan relasi. Praktik ini dilakukan secara diam-diam, sembunyi-sembunyi, namun ironisnya menjadi hal yang lumrah. Bahkan sebagian masyarakat menormalisasi tindakan tersebut sebagai "strategi cerdas".

Padahal ini bukan sekadar persoalan teknis dalam dunia pendidikan. Ini adalah akar dari persoalan yang jauh lebih dalam: integritas. Apa yang kita tanam hari ini pada anak, akan tumbuh menjadi karakter mereka kelak. Jika sejak awal anak melihat bahwa orang tuanya bisa ‘membeli’ jalan pintas menuju prestise, maka jangan heran jika suatu hari ia akan tumbuh menjadi pribadi yang menghalalkan segala cara demi tujuan. Di sinilah letak bahayanya: kita sedang menanam benih korupsi kecil-kecilan di dalam rumah sendiri.

Pertanyaannya, benarkah masuk sekolah negeri favorit menjamin masa depan yang lebih baik? Atau ini hanya obsesi kelas menengah yang ingin gengsi dan tenang karena merasa telah “memperjuangkan” pendidikan anak?

Banyak yang lupa bahwa kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh status sekolah negeri atau swasta, melainkan oleh komitmen dan semangat belajar anak itu sendiri. Faktanya, ada begitu banyak sekolah swasta dengan akreditasi unggul, tenaga pendidik profesional, dan program pembelajaran yang tidak kalah dari sekolah negeri. Banyak alumni sekolah swasta yang terbukti sukses, tidak hanya secara akademis, tetapi juga dalam dunia kerja dan kehidupan bermasyarakat.

Lagi pula, bukan sekolah mana yang paling penting, tetapi bagaimana anak menjalani prosesnya dengan jujur, tekun, dan bertanggung jawab. Masa depan bukan dibentuk oleh nama besar sekolah, melainkan oleh nilai-nilai yang dibawa anak sepanjang hidupnya. Dan nilai-nilai itu berawal dari rumah: dari apa yang orang tua ajarkan melalui tindakan, bukan hanya kata-kata.

Maka, budaya sogok menyogok demi masuk sekolah negeri bukanlah solusi, tetapi sebuah kemunduran. Mungkin, anak memang berhasil masuk ke sekolah impian, tetapi dengan cara yang salah. Kita mungkin merasa berhasil dalam jangka pendek, namun gagal dalam mendidik anak menjadi manusia yang jujur dan berintegritas.

Lebih baik kita tanamkan pada anak bahwa setiap keberhasilan butuh perjuangan. Bahwa kejujuran itu tidak mudah, tapi bermartabat. Bahwa meski tertinggal di awal, dengan kerja keras dan integritas, ia bisa melampaui mereka yang curang di garis start.

Pendidikan adalah proses membentuk karakter, bukan sekadar mengejar nama besar. Dan karakter tidak dibangun lewat sogokan. Maka, sebelum kita sibuk menyalahkan sistem, mari bercermin: apakah kita sudah cukup jujur dalam memperjuangkan pendidikan anak? Karena pada akhirnya, sekolah terbaik adalah tempat di mana anak belajar menjadi manusia, bukan hanya murid berprestasi. Dan pendidikan terbaik adalah yang lahir dari kejujuran, bukan hasil dari amplop sogokan.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.