Type Here to Get Search Results !

STIT Syekh Burhanuddin dan Legitimasi Nama Besar Tuanku Ulakan Oleh: Duski Samad

Pendahuluan: 

Nama yang Bukan Sekadar Simbol.

Nama adalah identitas, dan identitas adalah tanggung jawab. Saat sebuah institusi pendidikan tinggi Islam membawa nama Syekh Burhanuddin, ia tidak hanya mengutip sejarah, tetapi sedang memikul amanah besar. Syekh Burhanuddin Ulakan bukan tokoh biasa dalam sejarah Islam Nusantara. Ia adalah pionir Islamisasi Sumatera Barat, mursyid tarekat Syattariyah, penyebar nilai-nilai Islam yang membumi di ranah Minang melalui pendekatan adat dan syariat yang harmonis.

Dengan menyematkan nama besar ini, STIT Syekh Burhanuddin Padang Pariaman tidak hanya menjadi lembaga akademik, tetapi juga tungku warisan peradaban Islam lokal, tempat ruhul dakwah dan keulamaan dilestarikan dan ditransformasikan untuk menjawab tantangan zaman.

Jejak Sejarah Syekh Burhanuddin Ulakan: Ulama, Budayawan, dan Reformis.

Syekh Burhanuddin lahir pada abad ke-17, belajar ke Aceh pada masa keemasan Kerajaan Islam Aceh Darussalam. Ia menjadi murid dari ulama besar Syekh Abdur Rauf as-Sinkili, salah satu tokoh pengembang Tarekat Syattariyah. Sepulang dari Aceh, Syekh Burhanuddin tidak hanya menyebarkan tarekat, tapi juga meletakkan dasar Islam yang bisa berdialog dengan adat lokal. Di sinilah konsep "adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" menemukan bentuk nyatanya, bukan hanya slogan.

Ulakan, kampung halaman beliau, berkembang menjadi poros keislaman yang menyinari wilayah pesisir hingga pedalaman Minangkabau. Ribuan jemaah setiap tahun datang ke Ulakan dalam Basaik Raboah, menandai kekuatan spiritual dan kultural nama Syekh Burhanuddin yang terus hidup hingga kini.

Argumentasi Ilmiah: Pendidikan Islam Berbasis Kultural.

Dalam konteks pendidikan tinggi, STIT Syekh Burhanuddin mengadopsi pendekatan Islamic Indigenous Education (Azra, 2004; Dhofier, 1982), yaitu model pendidikan Islam yang tidak bertentangan dengan budaya lokal, bahkan mengintegrasikannya. Ini merupakan strategi jitu untuk:

1. Melestarikan tradisi lokal yang islami, seperti pengajian surau, tarekat, dan tradisi lisan keulamaan Minang.

2. Menjawab krisis identitas spiritual masyarakat modern, yang semakin terputus dari akar budaya dan tradisi keilmuan ulama.

3. Menyediakan ruang tafaqquh fiddin berbasis kearifan lokal, menjadikan pendidikan Islam tidak kering dari ruh dan konteks sosial.

Dalam teori pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas (1991), pendidikan sejati adalah ta’dib, yakni pembentukan adab dan integritas ruhani. Maka STIT Syekh Burhanuddin bertugas mewujudkan insan berilmu dan beradab, sebagaimana misi Syekh Burhanuddin dalam membentuk masyarakat yang sadar syarak dan teguh pada nilai.

STIT sebagai Pewaris dan Pelanjut Jejak Tuanku Ulakan

Nama besar Syekh Burhanuddin memberi legitimasi historis dan spiritual yang tidak dimiliki oleh banyak PTS lainnya. Ini menjadi modal simbolik dan epistemologis yang sangat berharga. Maka, tugas STIT ke depan bukan hanya menjalankan kurikulum, tetapi:

Menjadi pusat studi dan pengembangan pemikiran Syekh Burhanuddin dan Islam Minangkabau.

Melahirkan tuanku-tuan muda, pewaris keulamaan yang bukan hanya akademisi, tapi juga ulama, pendidik, dan pemimpin masyarakat.

Menjembatani dunia akademik dengan tradisi lokal, melalui riset, publikasi, pengabdian masyarakat, dan penguatan budaya nagari.

STIT harus menjadi “surau dalam format akademik”, tempat pendidikan keislaman bertemu dengan adat dan peradaban. Dalam istilah Bung Hatta, pendidikan yang tidak tercerabut dari tanah tempat ia tumbuh.

Penutup: Dari Nama Menuju Gerakan.

Nama Syekh Burhanuddin bukan sekadar tempelan sejarah, tetapi cermin amanah dan arah gerak. STIT Syekh Burhanuddin harus tampil sebagai pelopor pendidikan tinggi Islam berbasis nilai, budaya, dan spiritualitas. Di tengah arus liberalisasi pendidikan dan globalisasi budaya, hanya lembaga yang berakar kuat dan berpandangan jauh yang akan bertahan dan memberi pengaruh.

Syekh Burhanuddin telah menyalakan api keislaman Minangkabau. Maka, STIT hari ini adalah tungku yang menjaga nyalanya, agar terang itu tidak padam oleh zaman.

Referensi Akademik

Azyumardi Azra. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Kencana, 2004.

Burhanuddin Daya. Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam: Studi Kasus Sumatera Barat. UGM Press, 1990.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas. The Concept of Education in Islam. ISTAC, 1991.

Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai. LP3ES, 1982.

Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan, 2006.

*Ketua Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin Padang Pariaman






-

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.