![]() |
“Rasakan sensasi ketekmu.” — Iklan Kretek Plesetan.
Sejak Ratu Nefertiti dan Cleopatra hingga istri seorang pejabat tinggi, ketek jadi semiotik ars amoratum sekaligus ars sexualis tubuh perempuan.
Karena itu, nyaris tiap perempuan agar tampak cantik dan bau sensualis serta mengaktif ars sexualis lawan jenisnya, akan membabat habis rimbun bulu keteknya.
Repolusi Ketek, diacu dari The Beauty Myth(1991), Naomi Wolf(62), dan setelahnya, Vagina: A New Biography(2012), jelmaan dari fenomena sosial dan budaya kosmos(polutan) yang menghipnotis di kalangan remaja,, dewasa muda hingga emak-emak milenial.
Menilik dari industri budaya kosmetik, Revolusi Ketek bisa dianggap sebagai sebuah gerakan yang berusaha menawarkan perubahan standar kecantikan dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya merawat diri, antiaging.
Industri budaya kosmetik — dari estee lauder, wardah, dr. Richard Lee scincare hingga House of Angie, Angelina Sondakh — tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari banyak orang terkait mitos kecantikan.
Dengan kemajuan teknologi dan industri kosmetik, orang-orang memiliki fasilitas dan akses yang lebih luas ke berbagai produk perawatan kecantikan di dunia etalase pasar global.
Sebagai sebuah reaksi terhadap standar kecantikan yang seringkali tidak realistis dan tidak inklusif, Repolusi Ketek mirip pasar multilevel, multitasking dan global market ala Trump dan Musk.
Dalam industri budaya kosmetik, ada sejumlah mitos yang butuh koreksi agar konsumen pada segala level dan labirin konsumtif tidak tergoda oleh melimpahnya limbah informasi “bau ketek.”
Semiotika atas mitos ars amoratum, emporium dan ars sexualis, libido, dapati disigi berikut ini:
/1/ Kecantikan Alami:
Revolusi Ketek seringkali menekankan pentingnya kecantikan alami dan menerima diri apa adanya.
Tagarnya: Cantik itu Alami.
Bukan Luka dari fiksi Eka Kurniawan(Cantik itu Luka,2002).
Cantik alami, umumnya dibakul dari industri herbal rumahan mirip jamu dan balsem rematik.
/2/Kecantikan Inklusif:
Revolusi Ketek juga berusaha mempromosikan kecantikan inklusif, yang berarti bahwa semua orang dapat merasa cantik dan percaya diri, tidak peduli apa pun bentuk atau ukuran tubuh mereka.
Tagarnya: Cantik itu Revolusioner.
Kecantikan memicu pelecehan, kata hukum, tetapi hukum melihat melalui mata pria saat memutuskan apa yang memicunya(Wolf, 1991).
Lanjut Wolf, “Sayangnya, sinyal yang memungkinkan pria dan wanita menemukan pasangan yang paling menyenangkan mereka diacak-acak oleh rasa tidak aman seksual yang dipicu oleh pemikiran tentang kecantikan.
Seorang wanita yang sadar diri tidak dapat bersantai untuk membiarkan sensualitasnya berperan.
Jika dia lapar, dia akan tegang. Jika dia ‘berdandan’, dia akan waspada terhadap pantulan dirinya di mata pria.
Jika dia malu dengan tubuhnya, gerakannya akan terhenti. Jika dia tidak merasa berhak untuk menarik perhatian, dia tidak akan menuntut ruang udara itu untuk bersinar.
Jika bidang penglihatan pria telah dikotak-kotakkan oleh ‘kecantikan’ -- kotak yang terus-menerus mengecil -- pria tidak akan melihatnya, cinta sejatinya, berdiri tepat di hadapannya.”
Terakhir:
/3/ Perawatan Diri:
Perawatan diri, baik secara fisik maupun mental, terkait dengan godaan kuat dari industri dan teknologi antiaging dari revolusi “stemcell.”
Tagarnya: Cantik itu Radikal. Bisa diacu dari The Rebell Sell(2004), Joseph Heath dan Andrew Potter. Sebuah ikhtiar budaya perlawanan(counter culture) pada budaya destruktif konsumtif dan pemasaran.
Tak terbayangkan, hanya dalam hitungan detik miliar duit bisa menguap dari semprotan ars amoratum baju pengantin seorang selebriti.
Sebagai fenomena industri budaya libinal, hasrat dan kuasa, Repolusi Ketek akan menguncang Raja Ampat, empat pulau di Aceh — sembari mengubur IKN dan ijazah palsu — dan Gubernur Maluku Utara Madame Sherly Tjoanda akan menidurkan kegeraman para sultan.