Type Here to Get Search Results !

Peluang di Tengah Efesiensi: Membaca Tanda Zaman dengan Pandangan Tauhid Oleh: Duski Samad

Kata efesiensi sejak tahun 2025 begitu sering ditulis, disampaikan dan dipidatokan di forum resmi pejabat pemerintah, begitu juga ketika seorang pemimpin menyampaikan sambutan pada kegiatan masyarakat, tak terkecuali saat memberi sambutan pada ivent keagamaan sekalipun. 

Ketika Bupati Padang Pariaman H. Jhon Kennedy Aziz dalam sambutan jelang shalat Idul Adha, Jumat 06 Juni 2025 di Masjid Agung IKK Parit Malintang penulis mendengar dengan jelas betapa ia mengajak masyarakat untuk tidak perlu cemas berlebihan dengan efesiensi yang sedang dilakukan pemerintah. Justru masyarakat, dan aparatur negara dapat menjadikan efesiensi sebagai peluang lebih kreatif, inovasi, bergagasan dan memberi solusi.

Pandangan efesiansi seperti di atas sejalan dengan arti "organik efisiensi" atau "efisiensi organik" adalah efisiensi yang tumbuh secara alami dari dalam sistem, bukan karena paksaan eksternal atau sekadar tekanan penghematan. Istilah ini sering digunakan dalam manajemen, pertumbuhan organisasi, dan kebijakan publik untuk menekankan bahwa efisiensi yang ideal adalah yang berakar dari budaya kerja, nilai, dan inovasi internal, bukan hanya pemotongan anggaran.

Efisiensi organik bukan hanya soal memangkas biaya, tapi membangun cara kerja yang luwes, hemat, dan berdampak tinggi.

Ia berkembang dari kesadaran individu dan kolektif dalam sebuah sistem untuk terus memperbaiki proses, tanpa harus diperintah dari luar.

Contoh:

Sebuah pesantren yang membangun sistem digital absensi dan pembelajaran agar santri dan guru lebih disiplin dan produktif—tanpa harus menunggu instruksi dari yayasan pusat.

Sebuah lembaga zakat yang mulai membuat dashboard pengelolaan mustahik berbasis data untuk mempercepat layanan—berangkat dari inisiatif amil sendiri.

Karakteristik Efisiensi Organik:

Karakteristik 

Berasal dari dalam tidak dipaksakan oleh atasan atau regulasi, tapi tumbuh dari niat dan inisiatif internal.

Berkelanjutan Lebih tahan lama karena berbasis pada kebiasaan dan nilai bersama.

Adaptif dan kreatif Mendorong inovasi untuk menjawab tantangan tanpa menambah beban.

Meningkatkan kualitas Tidak hanya hemat biaya, tapi juga menaikkan mutu layanan atau output.

Dibandingkan dengan Efisiensi Mekanis:

Efisiensi Mekanis Efisiensi Organik.

Top-down (atas ke bawah) Bottom-up (akar rumput)

Pemangkasan tiba-tiba Perbaikan bertahap dan sadar

Fokus pada angka/biaya Fokus pada proses dan nilai manfaat

Rentan ditolak atau gagal Lebih mudah diterima dan lestari

KATA KUNCI EFESIENSI 

Efisiensi menjadi kata kunci dalam hampir semua aspek kehidupan hari ini. Dari ruang kebijakan pemerintahan, ruang rapat lembaga pendidikan, hingga mimbar dakwah dan sosial, semua berbicara tentang efisiensi—mengurangi beban yang tak perlu, memangkas pemborosan, dan memaksimalkan dampak dengan sumber daya yang terbatas.

Namun, di balik setiap tekanan efisiensi, sesungguhnya terdapat peluang besar yang Allah bukakan bagi hamba-hamba-Nya yang mau berpikir, bergerak, dan bertawakal. Dalam perspektif iman, efisiensi bukanlah hambatan, melainkan isyarat ilahiyah agar kita memperbaiki cara kita beramal dan mengelola amanah.

Efisiensi dalam Perspektif Tauhid

Al-Qur'an tidak menyebut kata "efisiensi" secara eksplisit, namun nilai-nilai efisiensi tertanam kuat dalam prinsip Islam: kejelasan tujuan, penghindaran dari pemborosan (isrāf), dan pengelolaan sumber daya yang bijaksana.

Allah berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya."

(QS. Al-Isrā’ [17]: 27)

Ayat ini memberi dasar bahwa pemborosan adalah bentuk kegagalan spiritual dalam memahami amanah sumber daya. Maka, efisiensi adalah bentuk ketaatan: menempatkan sesuatu pada tempatnya, sesuai kebutuhan dan manfaat.

Rasulullah SAW pun hidup dengan prinsip efisiensi. Beliau tidak pernah mubazir dalam makan, tidur, bahkan dalam mengguna kan air untuk wudu. Dalam satu hadis riwayat Ahmad dan Ibnu Majah, beliau menegur Sa’ad bin Abi Waqqash yang berwudu dengan berlebihan, padahal hanya menggunakan air secukupnya. "Apa ini, wahai Sa'ad?"

"Aku berwudu," jawab Sa'ad.

Rasulullah bersabda: "Jangan berlebih- lebihan!" Sa’ad bertanya, "Apakah dalam wudu juga ada berlebih- lebihan?"

Beliau menjawab, "Ya, sekalipun kamu berada di sungai yang mengalir."

Ini adalah fondasi penting: bahkan dalam kelimpahan, Islam menekankan efisiensi.

Efisiensi sebagai Ujian dan Pintu Peluang. Saat anggaran negara dipangkas, saat program sosial dipersempit, atau ketika lembaga pendidikan harus mengurangi tenaga kerja, banyak yang melihat itu sebagai krisis. Tapi dalam kaca mata tauhid dan sejarah, ini justru momen seleksi dan transformasi.

Efisiensi memaksa kita bertanya:

Apa yang benar-benar penting?

Apa yang harus dipertahankan?

Bagaimana cara baru untuk menghasilkan manfaat lebih besar? “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka...”

(QS. Ath-Thalaq [65]: 2-3)

Ayat ini adalah jaminan ilahi bahwa di balik keterbatasan, ada pintu rezeki baru bagi mereka yang bertakwa, sabar, dan kreatif.

Contoh Peluang Nyata dalam Era Efisiensi.

1. Transformasi Digital dalam Dakwah dan Pendidikan.

Keterbatasan fisik dan anggaran membuat lembaga-lembaga Islam mulai aktif berdakwah lewat YouTube, Zoom, dan podcast. Ini peluang besar membina umat melalui konten Islami yang terjangkau, ringkas, dan menjangkau generasi muda.

2. Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Zakat dan Wakaf.

Ketika program pemerintah menyusut, lembaga zakat dan wakaf dapat menjadi instrumen sosial produktif. Dengan pendekatan efisien—berbasis data mustahik dan skema zakat produktif—dampaknya bisa melampaui bantuan tunai konvensional.

3. Pelayanan Publik Berbasis Kolaborasi dan Sinergi. Alih-alih bersaing, era efisiensi mendorong lembaga Islam untuk bersinergi: masjid-masjid membentuk forum zakat, lembaga pendidikan saling berbagi platform, dan organisasi sosial merancang program bersama.

4. Kebangkitan Wirausaha Sosial.

Banyak generasi muda Muslim kini melihat efisiensi sebagai pemicu inovasi. Usaha makanan rumahan, jasa desain, konten islami, hingga program pemberdayaan berbasis komunitas tumbuh dari semangat ini.

Menggali Hikmah: Efisiensi dan Amanah.

Efisiensi bukan hanya strategi manajemen, tapi juga bentuk amanah. Dalam hadis Nabi: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Efisiensi berarti kita menjaga setiap sumber daya yang dititipkan Allah: tenaga, waktu, uang, jabatan, dan jaringan. Maka orang-orang beriman tidak akan menyia-nyiakannya dalam program yang tidak jelas hasilnya, tidak akan menumpuk SDM tanpa produktivitas, dan tidak akan membiarkan sistem kerja penuh formalitas tanpa fungsi.

Penutup: Menjemput Peluang, Bukan Mengeluh. Saat banyak yang mengeluh karena program dipangkas atau anggaran dikebiri, orang beriman justru mencari jalan baru untuk berkhidmat. Di tengah keterbatasan, mereka menjawab panggilan zaman dengan visi, bukan dengan frustasi.

Maka, mari kita ubah narasi. Dari keluhan menjadi kreativitas. Dari pengurangan menjadi penyederhanaan yang bermakna. Dari pemborosan menjadi kebermanfaatan. “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”

(QS. Al-Insyirah [94]: 6)

Efisiensi bukan akhir segalanya. Ia hanyalah awal dari bentuk kebermanfaatan yang lebih cerdas, lebih bijak, dan lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam. Mari menjemput peluang di tengah efisiensi!

DS06062025.

*Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.