![]() |
Masih belum lupa dari ingatan kolektif masyarakat tentang kasus pembunuhan Nia Kurnia Sari atau lebih dikenal sebagai pembunuhan Nia penjual gorengan sebagai kasus pembunuhan mengerikan dan pemerkosaan yang terjadi pada tanggal 6 September 2024 di Padang Pariaman kini muncul pula kasus yang lebih dahsyat lagi.
Kepolisian Resor Padang Pariaman, Sumatera Barat, mengungkap kasus pembunuhan berantai terhadap tiga perempuan muda, satu di antaranya dimutilasi. Kasus ini terkuak setelah polisi menangkap tersangka pembunuhan dan mutilasi bernama SJ alias Wanda, seorang pria berusia 25 tahun.
Wanda ditangkap di kediamannya di Batang Anai, Padang Pariaman, pada Kamis dini hari, 19 Juni 2025, sekitar pukul 02.00 WIB. "Selain mutilasi, dia juga mengaku telah membunuh dua perempuan lain," kata Kepala Kepolisian Resor Padang Pariaman AKBP Ahmad Faisol Amir di Parit Malintang, Kamis.
Tidak sampai waktu satu tahun dua kasus biadab terjadi di masyarakat beradat dan sering mendengungkan berfalsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, ada yang menyebut dengan negeri para Buya dan Tuanku. Apa sebenarnya yang terjadi? Patutlah semua pihak menemukan jawaban dan solusi mencegahnya.
Pertanyaan di atas sangat penting dan menyentuh sisi batin masyarakat: mengapa di daerah seperti Padang Pariaman yang dikenal religius, kuat tradisi Islam dan adat Minangkabau-nya, masih terjadi kejahatan mengerikan seperti pembunuhan, mutilasi, dan pemerkosaan? Berikut ini analisis dari beberapa sudut:
1. Agama dan Adat Belum Menjadi Kesadaran Sosial Kolektif.
Islam dan adat Minangkabau ("Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah") adalah nilai luhur, tapi belum sepenuhnya menjelma menjadi karakter kolektif masyarakat, terutama generasi muda yang terpapar oleh pengaruh luar.
Banyak yang tahu agama, tapi tidak mengamalkannya secara internal (internalisasi nilai). Ada kesenjangan antara simbol religiusitas dan perilaku nyata.
2. Lemahnya Kontrol Sosial dan Lembaga Adat.
Peran ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai mengalami pelemahan fungsi.
Lembaga surau dan pengajian tidak lagi menjadi pusat pembinaan akhlak generasi muda seperti dulu.
Remaja dan pemuda terlepas dari pengawasan komunitas.
3. Disintegrasi Keluarga dan Ketimpangan Sosial.
Keluarga sebagai madrasah pertama mulai goyah, banyak anak tumbuh tanpa bimbingan spiritual dan moral yang memadai.
Kemiskinan, pengangguran, dan pergaulan bebas bisa menjadi pemicu lahirnya pelaku kekerasan yang kehilangan empati dan moral.
4. Pengaruh Budaya Global yang Tak Tersaring.
Masuknya media sosial, game kekerasan, pornografi, dan tontonan vulgar tanpa pengawasan menjadi faktor pembentuk perilaku menyimpang.
Relativisme moral berkembang: nilai baik-buruk menjadi kabur.
5. Lemahnya Penegakan Hukum dan Pendidikan Karakter.
Proses hukum kadang lambat atau tidak memberi efek jera.
Pendidikan di sekolah banyak menekankan aspek kognitif, tetapi minim pembinaan akhlak dan spiritualitas.
6. Kejahatan adalah Fenomena Individual, Bukan Representasi Kolektif
Kasus-kasus kekerasan ekstrem seperti mutilasi dan pemerkosaan biasanya dilakukan oleh individu yang mengalami kerusakan psikologis dan moral parah.
Meskipun terjadi di lingkungan religius, pelaku bisa saja sudah keluar dari orbit nilai-nilai yang dianut masyarakat nya.
Kebutuhan Revitalisasi Spiritualitas dan Budaya Lokal
Perlu ada kebangkitan kembali fungsi surau, madrasah, masjid, dan peran ulama serta adat dalam membina moral masyarakat.
Pendidikan karakter berbasis Islam dan adat Minangkabau perlu diarusutamakan, tidak hanya dalam wacana tapi juga dalam tindakan.
Lingkungan religius tidak menjamin perilaku religius jika nilai-nilainya tidak dihidupkan dalam diri dan komunitas.
Padang Pariaman masih menyimpan nilai luhur, tetapi memerlukan penguatan kembali fungsi keluarga, pendidikan, surau, dan penegakan hukum. Ini bukan hanya tugas pemerintah atau ulama, tapi tanggung jawab bersama masyarakat adat dan umat Islam.
MASYARAKAT BERADAB . "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan..."
(QS. An-Nahl: 90)
Krisis Peradaban.
Zaman ini ditandai dengan kemajuan teknologi, tetapi kemerosotan moral.
Kekerasan, pornografi, penyimpangan seksual, konsumtif, individualisme makin merajalela bahkan di kampung-kampung kita yang dikenal agamis.
Masyarakat tahu agama tapi tidak malu berbuat maksiat, tahu adat tapi tidak segan langgar aturan. Ini tanda krisis adab.
Makna Masyarakat Beradab
Masyarakat beradab bukan hanya masyarakat modern atau canggih, tapi:
1. Berilmu dan berhikmah
2. Menjunjung nilai agama dan adat
3. Menjaga akhlak, martabat, dan kemanusiaan
4. Saling menjaga, bukan saling membiarkan. “Adab di atas ilmu, karena tanpa adab ilmu akan menyesatkan.”
— Imam Malik
Tantangan Zaman:
1. Dekadensi moral generasi muda (pergaulan bebas, narkoba, geng motor)
2. Kemiskinan dan ketimpangan sosial (muncul iri, dendam sosial)
3. Digitalisasi tanpa etika (HP jadi senjata dosa)
4. Pelemahan institusi moral tradisional (keluarga, surau, masjid).
5. Relativisme nilai – benar dan salah menjadi relatif.
Strategi Membangun Masyarakat Beradab
1. Revitalisasi Peran Keluarga.
Orang tua sebagai pendidik pertama akhlak dan iman
Kembali makan bersama, berdialog, membatasi gadget
Doa dan teladan setiap hari
2. Penguatan Pendidikan Akhlak dan Spiritualitas.
Sekolah dan madrasah harus menanamkan akhlak dan kepedulian sosial, bukan sekadar nilai UN
Surau/mushalla jadi tempat tazkirah dan pembinaan rohani
3. Membina Kolektivitas Sosial: 'Saling Menjaga'
Hidupkan kembali tradisi manjapuik ka surau, maulid, wirid yasinan, basurah bajamba.
Tokoh adat dan ulama turun ke tengah pemuda
4. Menegakkan Nilai Keadilan dan Kemanusiaan.
Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu
Sanksi sosial dan adat dihidupkan untuk menjaga harmoni
5. Dakwah Humanis dan Kontekstual.
Ulama dan mubaligh harus menyentuh akar masalah: akal, hati, dan kondisi sosial.
Dakwah dengan hikmah, bukan menghakimi.
Kembali kepada Islam dan Adat. Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah adalah sistem peradaban luhur yang harus direvitalisasi
Islam adalah agama yang membangun peradaban mulia, bukan sekadar ibadah ritual. "Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Ahmad)
Aksi Nyata yang Bisa Dilakukan:
Kajian rutin akhlak dan keluarga di masjid/surau.
Pelatihan guru dan orang tua soal adab digital
Program “Nagari Beradab” berbasis surau, adat, dan pemuda.
Pendataan dan pembinaan remaja berisiko.
KESIMPULAN:
Tragedi demi tragedi yang mengguncang Padang Pariaman—mulai dari pembunuhan keji terhadap Nia penjual gorengan hingga kasus mutilasi dan pembunuhan berantai oleh SJ alias Wanda—adalah alarm keras dari Allah SWT, bahwa masyarakat kita sedang berada dalam krisis peradaban dan kehilangan kendali nilai.
Padang Pariaman, yang selama ini dikenal sebagai negeri beradat dan religius, ternyata tidak kebal dari pembusukan moral, rapuhnya sistem kontrol sosial, dan kegagalan kolektif dalam menginternalisasi nilai-nilai Islam dan adat.
Oleh karena itu, dibutuhkan hijrah yang bukan sekadar seremonial atau emosional, tapi hijrah revolusioner:
Hijrah yang berarti transformasi menyeluruh dari sikap, sistem, dan kesadaran bersama.
Hijrah Revolusioner Adalah:
1. Hijrah dari simbol ke substansi – dari sekadar menyebut "basandi syarak" menuju pengamalan nilai syarak dalam kehidupan sehari-hari.
2. Hijrah dari retorika ke keteladanan – para tokoh agama, adat, pendidik dan pemimpin tampil sebagai cermin akhlak dan penjaga moral.
3. Hijrah dari pembiaran ke pembinaan – remaja dan masyarakat rentan harus dibina, bukan ditinggalkan.
4. Hijrah dari fatalisme ke aksi nyata – semua elemen masyarakat bergerak bersama menyelamatkan generasi dari kehancuran moral.
Seruan Aksi:
Bangkitkan surau dan madrasah sebagai benteng akhlak.
Perkuat keluarga sebagai madrasah pertama.
Aktifkan peran ulama dan ninik mamak dalam kontrol sosial.
Kembangkan dakwah kontekstual dan berhikmah, menjangkau realitas generasi digital.
Gerakkan program “Nagari Beradab” yang menyatukan adat, syarak, dan kepedulian sosial.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra'd: 11)
Kini saatnya menjawab tragedi dengan taubat sosial dan hijrah kolektif, bukan dengan menyalahkan, apatis, atau melupakan.
Hijrah revolusioner adalah jalan untuk menyelamatkan jiwa, membangun adab, dan menegakkan kembali peradaban Islam di ranah Minang.DS.23062025.
*Ketua Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin