![]() |
Tengah malam, 10 Juni 2025, pukul 01.00 dini hari. Bersama istriku, Maya, dan rombongan, aku melangkah menuju Masjidil Haram. Malam yang sunyi, langit Mekkah seolah menyaksikan langkah-langkah yang lirih tapi pasti. Di hadapan kami terbentang salah satu puncak dari seluruh rangkaian ibadah haji: tawaf ifadah dan sai. Dua ibadah penutup yang akan menyempurnakan seluruh gerak lahiriah menuju gelar yang diimpikan setiap muslim: haji mabrur.
Sesampainya di sana, aku menatap Ka'bah dengan dada yang bergetar. Perasaan campur aduk. Kami mulai bertawaf. Langkah demi langkah mengelilingi Baitullah, air mata mengalir. Aku sebentar lagi akan menyandang gelar itu—gelar yang tak hanya berat secara lafaz, tapi juga sarat makna spiritual: mabrur.
Usai tawaf, kami salat subuh tepat di hadapan Ka'bah. Jarakku hanya beberapa meter dari dinding suci itu. Biasanya aku salat ribuan kilometer jauhnya dari rumahku, dari kampung halamanku. Tapi kini, bangunan yang menjadi kiblat semesta itu berdiri begitu dekat. Aku menghadap-Nya, bukan sekadar dengan wajah, tapi dengan seluruh jiwaku.
Kami lanjutkan dengan sai—berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah. Inilah jejak Siti Hajar, perempuan mulia yang berlari mencari air untuk anaknya Ismail. Sai bukan sekadar gerak kaki. Ia adalah simbol perjuangan seorang ibu, simbol pengharapan dan keteguhan. Dalam setiap langkah sai, kami belajar arti tawakal: bergerak tanpa tahu hasil, tapi percaya bahwa Allah tak akan meninggalkan hamba-Nya.
Usai sai, kami larut dalam kelegaan. Semua rukun dan kewajiban haji telah tertunaikan. Tak ada yang tertinggal. Istriku Maya mendekapku erat. Pelukan penuh makna. Tiga puluh tahun lebih kami hidup bersama, dan kini kami mencapai puncak hidup ini: menyempurnakan separuh agama dengan melengkapi rukun Islam kelima. Haji, di tanah suci.
Tapi dalam hati kecilku muncul satu pertanyaan: Apakah aku sudah menjadi haji mabrur?
*Apa Itu Haji Mabrur?*
Kata “mabrur” sering diucap, tapi jarang dipahami. Rasulullah SAW bersabda:
“Haji yang mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali surga.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Tapi Nabi tidak menyebut detail teknisnya. Mabrur bukan sekadar “sah” secara fiqih. Para ulama memberi tafsir yang lebih luas:
• Imam Nawawi menyebut, haji mabrur adalah yang dilakukan dengan ikhlas, bebas dari dosa dan diiringi amal saleh.
• Ibnu Hajar mengatakan, mabrur berasal dari al-birr, yakni kebaikan yang sempurna.
• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutnya sebagai haji yang tidak tercampur dengan kefasikan dan dosa.
Lalu siapa yang menentukan seseorang telah meraih mabrur? Bukan negara, bukan pembimbing haji, bukan pula rombongan. Hanya Allah yang tahu.
*Antara Fiqih dan Tasawuf*
Secara fiqih, aku sudah menjalankan semuanya: ihram, wukuf, mabit, tawaf, sai, lempar jumrah, tahallul. Semua sesuai tuntunan. Tapi apakah syariat yang tertunaikan otomatis menghadirkan makna batin?
Di sinilah tasawuf bicara. Dalam kaca mata sufisme, haji adalah perjalanan simbolik:
Seorang sufi berkata:
“Pergilah ke Ka'bah, tapi jangan lupakan rumah hatimu. Di sanalah Tuhan sebenarnya menunggu.”
*Mabrur: Buah dari Perjalanan*
Banyak yang pulang haji membawa sertifikat haji, kurma Ajwa, dan peci putih. Tapi tidak membawa hati yang berubah. Mabrur bukan soal titel, tapi transformasi.
Imam Hasan al-Bashri menegaskan:
“Tanda haji mabrur adalah ketika seseorang pulang dan dunia tak lagi mencengkeram hatinya.”
Aku pun bertanya dalam hati: apakah aku telah menjadi lebih lembut, lebih jujur, lebih ikhlas? Apakah aku akan kembali menjadi orang yang lebih sabar, atau hanya membawa cerita panjang dan oleh-oleh?
Tak semua orang berubah. Tapi sejarah mencatat mereka yang benar-benar disentuh oleh haji:
Malcolm X, radikal kulit hitam dari AS ini memandang orang kulit putih sebagai musuh. Tapi saat berhaji, ia menyaksikan persaudaraan universal. Ia makan bersama orang dari berbagai warna kulit, dan iapun menulis menulis:
"Islam bisa menyelesaikan masalah ras di Amerika karena aku melihat langsung di Mekah bagaimana semua warna kulit salat bersama, tanpa sekat."
Ia pulang sebagai pendakwah damai dan meninggalkan ideologi kebencian.
Buya Hamka, pergi ke Mekah sebagai remaja, pulang sebagai manusia yang tercerahkan. Di Tanah Suci, ia tidak hanya menunaikan rukun, tapi menyelami makna.
Hamka menulis:
"Aku ke Mekah dengan kepala penuh kebanggaan, tapi pulang dengan hati yang tunduk."
Umar bin Khattab, Meski hajinya tidak disebut khusus, Umar menjadikan semangat haji sebagai landasan pemerintahannya: sederhana, tegas, melayani rakyat.
Ia bahkan berkata
“jika bukan karena jihad dan haji, ia lebih ingin jadi rakyat biasa”.
*Doa dan Cermin Diri*
Kini aku telah selesai menunaikan seluruh rangkaian ibadah haji. Tapi yang belum selesai adalah perjalanan batin menuju mabrur. Aku tidak tahu jawabannya. Hanya Allah yang tahu.
Di tengah euforia sebagian orang yang merasa “selesai”, aku justru merasa ini adalah awal. Kini, gelar ‘Haji’ seakan menjadi status sosial, bukan cermin spiritual. Banyak yang kembali dari Mekah dengan koper yang lebih berat, tapi hati yang tak berubah. Sementara mereka yang benar-benar mabrur, justru pulang dengan jiwa yang lebih ringan: bebas dari kebencian, rakus, dan riya.”
Malam makin larut. Aku bertanya ke dalam diri.
“Sudahkah aku menjadi haji mabrur? Ataukah aku hanya menambahkan satu kata di depan namaku, tapi tak menghapus satu noda dalam hatiku?”
Sudah tiga minggu aku di tanah suci ini. Aku masih akan tinggal disini tiga minggu lagi. Aku ingin pulang bukan dengan membawa kebanggaan, tapi harapan. Bukan dengan kepastian, tapi dengan ketundukan.
Karena mabrur bukanlah hasil. Ia adalah perjalanan yang terus berjalan. Ia bukan titik, tapi garis yang terus menghubungkan bumi dan langit—melalui akhlak, amal, dan keikhlasan.
Mekkah 10 Juni 2025
Elza Peldi Taher