Type Here to Get Search Results !

Bunga Rampai: 100 Tahun Arsitektur Perjuangan dan Jejak Rasa Kuliner Oleh Denny JA

Ada rumah yang tidak hanya menyimpan dinding, jendela, dan atap. Tapi juga menyimpan jejak perjuangan.

Di jantung Menteng yang sibuk, berdiri sebuah bangunan yang telah menua dengan anggun: Gedung Bunga Rampai. 

Di Jalan Teuku Cik Ditiro No. 46, bangunan ini tidak hanya menampilkan gaya arsitektur kolonial Indische yang klasik—tapi juga menyuarakan kenangan.

Ia sejak tahun 2007 menjadi tempat restoran. Tapi ini bukan restoran biasa. Ia adalah monumen. Dan tahun ini, Gedung Bunga Rampai genap berusia 100 tahun.

-000-

Dibangun pada tahun 1925, rumah ini dahulu milik Prof. Raden Soenario, dokter gigi pertama di Indonesia. 

Di ruang-ruangnya, kita bisa membayangkan diskusi masa kemerdekaan pernah bergaung. Plafon tinggi, jendela-jendela besar, dan pintu kayu berukir—semuanya menjadi saksi bisu zaman.

Namun rumah ini tak sekadar berdiri dalam keheningan sejarah. Sejak tahun 2007, ia hidup kembali dalam wujud yang lain: restoran fine dining Indonesia, yang tetap menjaga napas masa lalu, tapi kini dengan aroma masakan dari berbagai era.

Bunga Rampai bukan hanya restoran. Ia adalah arsip rasa.

Dan pada 11 Juni 2025, perayaan besar pun digelar: Warisan Rasa, Jejak Waktu, Kreasi Masa Depan. 

Tak hanya mengenang bangunan berusia satu abad, tapi juga merayakan 18 tahun Bunga Rampai sebagai restoran, serta 57 tahun perjalanan seni Emil Eriyanto. 

Ia tokoh Wedding Organizer, pemilik usaha batik yang ikut merancang malam itu.

Di awal acara, saya (Denny JA) diundang membacakan puisi esai soal 100 Tahun Gedung Bunga Rampai.

Ini cuplikannya:

Ia bukan rumah biasa.

Dindingnya tak hanya menahan panas dan hujan,

tapi juga menyimpan sejarah

Di ruang tamu itu,

aku membayangkan Bung Hatta duduk,

membuka kancing kerah bajunya,

menghela napas panjang,

dan berkata:

“Negeri ini terlalu berharga untuk terus dijajah.

Kini, 

Cinta tanah air masih bersemayam

di aroma Nasi Seruni,

di gurih Sayur Lodeh Gedongan,

di lezatnya Wedang Ronde,

Es kopyor duren,

dan jajanan pasar Putri Mandi

-000-

Bunga Rampai mempersembahkan hidangan dari lima periode sejarah Indonesia: 1925–1950, 1950–1975, 1975–2000, 2000–2025, hingga lintas masa.

Dari dapur pertama, hadir Erwtensoep, sup kacang polong khas era Belanda. Kental, bergizi, dengan sentuhan daging dan seledri. 

Dari Lampung, ada Sekubal, lontong dari beras ketan yang berpadu sempurna dengan rendang.

Setiap suapan bukan hanya mengenyangkan, tapi menghidupkan kembali satu periode sejarah. Masakan adalah memoar paling setia.

Malam itu juga menjadi catwalk sejarah. Emil Eriyanto menghadirkan Tiga E Collection, berkolaborasi dengan Perhimpunan Kebayaku dan deretan perancang busana tanah air.

Ikut mengisi acara: Titi DJ, Chossy Latu, Chintamie Atmanegara, Rieta Amilia, Didiet Maulana, Hian Tjen, Itang Yunasz, Danny Satriadi, Denny Wirawan, hingga Monica Ivena Soko Wiyanto, dan Nunun Daradjatun.

Acara ini dihadiri puluhan tokoh dan selebriti ibu kota seperti Linda Boy Tohir, Indah SDA, Dewi Motik, Okky Asokawaty, Miranda Gultom, Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat, Lisa Ayodiya, Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda, dan sebagainya.

Tuan rumah acara ini, Mulia Djaputri, pemilik gedung dan restoran Bunga Rampai, saya (Denny JA), bersama Emil Eriyanto.

Panggung tidak hanya menampilkan busana, tapi menghadirkan identitas. Kebaya, batik, dan motif lokal disulam dengan modernitas — menciptakan jembatan antara warisan dan masa depan.

Ada yang berbeda di malam itu: bukan hanya kecantikan model, tapi puisi, lagu, dan kesakralan budaya yang mereka kenakan.

-000-

Sebagai seorang penghayat arsitektur, saya percaya: bangunan seperti manusia. Ia bisa tumbuh, menua, dan tetap hidup. 

Arsitektur Indische pada Bunga Rampai mencerminkan harmoni antara Eropa dan tropis: pencahayaan alami, ventilasi besar, dan estetika yang tak lekang oleh waktu.

Restoran ini telah menjadi tempat para pemimpin dunia, seniman, dan diplomat duduk di meja yang sama. Mereka tak hanya makan, tapi berdiskusi, berdamai, bahkan jatuh cinta.

Dan kini, di usianya yang ke-100, Bunga Rampai mengundang kita untuk merenung:

Apa yang ingin kita wariskan? Jejak macam apa yang kita tinggalkan dalam ruang dan rasa?

-000-

Di antara tembok yang menua dan gedung-gedung menjulang,

kita bertanya:

Mampukah akar sejarah bertahan di tanah yang terus berganti?

Atau ia akan hilang,

terkubur di bawah beton ambisi dan lupa diri?

Hanya jika kita menjaga,

warisan akan hidup tak sekadar menjadi cerita,

tapi cahaya yang menuntun langkah generasi berikutnya.

Di tengah kota yang kian modern, Bunga Rampai berdiri sebagai penanda waktu.

Ia adalah ruang yang tak sekadar menyajikan makanan,

tapi juga menyajikan ingatan.

Ia bukan hanya restoran,

tapi monumen hidup bagi bangsa yang tak ingin melupakan akar.

Di setiap sudut ruang dan aroma, 

terasa jejak yang tak ingin pupus.

Dari meja makan hingga lantai dan plafon gedung Bunga Rampai, terekam benang-benang kenangan yang halus.

Karena sejarah tak selalu terdengar lewat pidato. Kadang, ia hadir lewat aroma kuliner dan hentakan langkah para perempuan berkebaya.***

Jakarta 14 Juni 2025

Referensi

https://mediaindonesia.com/hiburan/781771/kuliner-dan-wastra-indonesia-dalam-perayaan-100-tahun-bangunan-bunga-rampai?utm_source=chatgpt.com

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/18jMKkPaP5/?mibextid=wwXIfr

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.