Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Tanah Ulayat, Limbago dan Halal Haram Oleh: Duski Samad

Tulisan ini hadir sebagai bahagian dari memperkuat dan menegaskan, sekaligus meresponi pandangan tokoh adat Minangkabau terhadap artikel penulis di harian Singgalang, 30 April 2025 di bawah judul PEMEGANG ULAYAT: ANTARA HAK, MORAL, DAN ADAT. 

Tokoh adat Yulizal Yunus Datuk Rajo Bandaro dalam kiriman whatsaapnya ....menjadikan tanah ulayat sebagai harta turunan bukan waris, rohnya wakaf untuk anak cucu, sedangkan sertifikasi hanya untuk beberapa orang. Tak jaleh, menjebak soal halal haram bagi sekelompok orang. Soal ulayat tak urusan organisasi ninik mamak tapi urusan limbago penghulu, ulama dan cadiak pandai tungku tigo sajarangan, diikek hukum nan tigo: hukum syara'/ Islam, hukum adat dan hukum negara disebut tali tigo sapilin (tigo hukum). Adalah keliru kalau urusan sertifikat disebut tak urusan ulama, sebab ini menyangkut halal haram ialah ulama. Penting LKAAM itu bermusyawarah antar organisasi ninik mamak, ulama dan cendekiawan/ cadiak pandai.

Hemat penulis sikap jelas dari penulis produktif, beliau dicatat sebagai penulis dan tokoh literasi internasional menempatkan tanah ulayat sebagai harta wakaf kaum yang kewenangannya ada pada limbago, ninik mamak kaum, adalah pandangan yang sudah sejalan dengan para cendikiawan dan sejak lama sudah disuarakan oleh cerdik pandai pendukung adat Minangkabau, termasuk Buya Hamka. Hampir semua penulis mendefinisikan bahwa tanah ulayat adalah tanah adat milik bersama suatu komunitas masyarakat adat (kaum, suku, atau nagari) yang pengelolaannya diatur oleh adat dan dikuasai oleh limbago adat atau pemangku adat, bukan individu. Tanah ulayat adalah bagian penting dari sistem sosial dan hukum adat, dengan prinsip: "Tanah pusako tinggi tak dapek dipajual, indak dapek digadai, tagadai limbago." Jelas sekali urusan tanah ulayat berkelindan dengan limbago. 

Limbago tidak sama dengan lembaga atau organisasi adat atau kaum adat. LKAAM hanya lembaga dalam makna organisasi, begitu juga KAN dan organisasi apapun sejenisnya. Limbago merujuk pada struktur adat (ninik mamak, penghulu, dan perangkat yang mengikutinya). Limbago berwenang mengatur, menjaga, dan mengambil keputusan terkait penggunaan dan pengalihan tanah ulayat. Setiap keputusan biasanya melibatkan musyawarah adat dan mempertimbangkan kepentingan generasi mendatang.

Ulayat nagari yang dimiliki oleh seluruh warga nagari, ulayat suku dimilik satu suku dalam nagari dan ulayat kaum dimiliki oleh satu kaum atau keluarga besar penggunaan dan pengalihan tanah harus sesuai adat dan disetujui limbago. Pengalihan ke pihak luar (seperti untuk investasi atau pembangunan) sangat sensitif dan sering memicu konflik, bila tidak melalui prosedur adat.

Konflik antara hukum adat dan hukum negara (sertifikat hak milik, HGU), tekanan ekonomi membuat sebagian kaum adat terpaksa melepaskan tanah ulayat. Lemahnya regenerasi dan pemahaman adat di kalangan muda mengancam keberlanjutan fungsi limbago adalah realitas yang secara nyata akan mengancam hilangnya dan pupusnya tanah ulayat.

Sungguh menyedihkan jika solusi untuk mempertahankan keberlangsungan tanah ulayat, dan untuk mendapat keuntungan pragmatis dari memanfaatkan tanah ulayat dilakukan cara-cara jalan pintas. Sertifikasi tanah ulayat, walau hutan yang tak produktif sekalipun adalah perbuatan merendahkan syariat, tidak peduli dengan perintah syariat untuk memastikan tindakan hukum mesti jelas dasar syariat.

Pandangan Islam sangat jelas bahwa tidak ada peluang hukum syari'i yang menyatakan tanah ulayat dijual, dimiliki oleh komunitas yang hidup hari ini sekalipun, sebab tanah ulayat milik komunitas suku yang sudah wafat dan yang akan lahir. Mengapa tidak dilakukan usaha dan cara yang lebih halal, syah dan menjaga marwah adat Minangkabau melalui regulasi perlindungan tanah ulayat, sepertinya ada undang-undang perlindungan hutan dan sejenisnya.

Dalam Islam, mengambil atau mengesahkan sesuatu yang bukan hak miliknya adalah perbuatan yang haram dan termasuk dalam kategori kezaliman serta kecurangan. Allah berfirman: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil..."(QS. Al-Baqarah: 188). Ayat ini melarang pengambilan hak orang lain dengan cara yang tidak sah, termasuk penipuan, pencurian, dan perampasan, bisa jadi mensertifikasi tanah ulayat bentuk pengambilan hak kemanakan dan cucu yang akan lahir dari kaum tersebut.

Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa mengambil hak orang lain (secara zalim), maka pada hari kiamat akan dipikulnya tujuh lapis bumi."(HR. Bukhari) dan dalam hadis lain: "Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kehormatanmu adalah suci atas kamu sebagaimana sucinya hari ini, di bulan ini, di negeri ini." (HR. Bukhari dan Muslim). Kaedah fikih menyatakan "Al-ghashbu muharram" — Merampas atau mengambil paksa itu haram. "Al-amwal laa tuhillu illa bi ridha ash-shahib" — Harta tidak halal kecuali dengan kerelaan pemiliknya.

Mengambil, menggunakan, atau mengesahkan sesuatu yang bukan haknya (baik harta, jabatan, tanah, atau lainnya) adalah dosa besar dan merupakan kezaliman yang wajib dikembalikan atau diselesaikan haknya.

TANAH ULAYAT DAN LIMBAGO ADAT MINANGKABAU

Mestika Zed dalam bukunya "Tanah Ulayat dan Eksistensi Hukum Adat Minangkabau" menyatakan: "Tanah ulayat tidak sekadar lahan pertanian, melainkan bagian dari memori kolektif dan sistem nilai masyarakat Minangkabau. Ia mengandung dimensi historis, spiritual, dan politik yang diikat oleh keberadaan limbago adat sebagai pelindung nilai-nilai itu." Afrinaldi dalam disertasinya menulis: "Limbago adat berfungsi sebagai institusi penjaga moralitas kolektif. Mereka bukan pemilik tanah ulayat, tetapi pemegang amanah yang bertanggung jawab secara spiritual kepada leluhur dan syarak."

Etika dan keadilan sosial tanah ulayat dilihat sebagai bentuk ekologi sosial dan keadilan antar generasi. Etika kepemilikan dalam Islam, segala sesuatu adalah milik Allah. Maka kepemilikan kolektif melalui tanah ulayat adalah bentuk tanggung jawab khalifah fil-ardh. Keadilan distributif tanah ulayat menjadi solusi atas ketimpangan penguasaan tanah, mencegah kapitalisasi yang merugikan masyarakat adat. Tafsir maqashid syariah: Perlindungan tanah ulayat masuk dalam tujuan syariah, yaitu menjaga harta (hifz al-mal) dan menjaga keturunan (hifz al-nasl).

Penegasan filosofis oleh cerdik cendekia Minang Buya Hamka menulis dalam Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi: "Tanah pusaka tinggi adalah lambang harga diri dan martabat kaum, yang tidak dapat digadai meski lapar sekalipun. Karena nilai tanah itu tidak pada tanahnya, tetapi pada ikatan batin antara anak cucu dengan yang mewariskannya."

Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, seorang tokoh adat terkemuka Minangkabau, yang karya tulis banyak sekali tentang adat Minangkabau, memberikan pandangan mendalam mengenai hubungan antara tanah ulayat dan limbago adat. Dalam karya-karyanya, seperti Pegangan Penghulu di Minangkabau (1982) dan Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, beliau menekankan bahwa tanah ulayat bukan sekadar aset ekonomi, melainkan simbol identitas kolektif dan kesinambungan adat yang dijaga oleh limbago adat. Pandangan Idrus Hakimy tentang Tanah Ulayat dan Limbago Adat.

1. Tanah Ulayat sebagai Warisan Sakral.

Idrus Hakimy menegaskan bahwa tanah ulayat adalah pusaka tinggi yang tidak boleh diperjualbelikan atau digadaikan. Tanah ulayat merupakan simbol eksistensi dan kesinambungan antara nenek moyang, generasi kini, dan keturunan yang akan datang. Tanah ulayat adalah pusaka yang harus dijaga dan dilestarikan oleh limbago adat.

2. Limbago Adat sebagai Penjaga Amanah.

Beliau menekankan bahwa limbago adat, yang terdiri dari ninik mamak dan penghulu, bukanlah pemilik tanah ulayat, melainkan pemegang amanah yang bertanggung jawab secara spiritual kepada leluhur dan syarak. Mereka berperan sebagai penafsir nilai, penjaga marwah, dan pengelola warisan, termasuk tanah ulayat.

3. Kolektivisme atas Kepemilikan.

Idrus Hakimy menyatakan bahwa tanah ulayat dikuasai bersama dan digunakan untuk kepentingan bersama. Ia menolak dominasi individu atas hak bersama dan menekankan pentingnya nilai gotong royong, keadilan, dan musyawarah dalam pengelolaan tanah ulayat.

4. Sakralitas dan Kesucian Tanah

Beliau memandang tanah ulayat sebagai titipan dari nenek moyang dan bagian dari ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, menyalahgunakan, menjual, atau merusaknya dianggap sebagai pengkhianatan terhadap leluhur dan pelanggaran terhadap hukum adat dan moralitas agama.

5. Keadilan Antar Generasi

Idrus Hakimy menekankan bahwa tanah bukan milik generasi sekarang saja, melainkan dipinjam dari anak cucu. Keputusan yang menyangkut tanah ulayat harus mempertimbangkan kelangsungan hidup generasi berikutnya. 

Melalui pandangan-pandangan ini, Idrus Hakimy Datuk Rajo Penghulu menegaskan pentingnya menjaga dan melestarikan tanah ulayat sebagai bagian integral dari identitas dan keberlanjutan masyarakat Minangkabau, dengan limbago adat sebagai penjaga amanah yang memastikan nilai-nilai adat tetap hidup dan relevan dalam kehidupan masyarakat.

DAMPAK SERTIFIKASI TANAH ULAYAT

Dalam konteks Minangkabau, tanah ulayat memiliki kedudukan sakral dan strategis karena merupakan bagian dari identitas kolektif suku dan nagari. Sementara kebijakan agraria nasional, terutama melalui program seperti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan reforma agraria, mendorong sertifikasi tanah sebagai instrumen legalisasi dan redistribusi tanah.

Analisis dampak jangka panjang sertifikasi tanah ulayat Minangkabau dalam bingkai kebijakan agraria nasional:

1. Benturan Nilai: Komunal vs Individual

Minangkabau: Tanah ulayat adalah milik komunal suku, diwariskan matrilineal, tidak boleh dijual ("pusako tinggi").

Agraria Nasional: Sertifikat tanah cenderung menegaskan kepemilikan individu atau badan hukum. Dampak: Terjadi desakralisasi tanah ulayat, penghilangan makna adat, dan pergeseran nilai dari "tanah sebagai warisan leluhur" menjadi "aset ekonomi pribadi".

2. Potensi Konflik dan Fragmentasi Sosial

Sertifikasi membuka peluang klaim individu atas tanah ulayat, memicu konflik antar anggota suku atau antar nagari. Batas tanah ulayat sering tidak terdokumentasi secara formal, menyebabkan sengketa saat proses sertifikasi dilakukan.

Dampak: Erosi solidaritas komunal, konflik horizontal, dan melemahnya otoritas ninik mamak serta lembaga adat nagari.

3. Ancaman terhadap Kedaulatan Nagari

Sertifikat atas nama perorangan atau institusi non-adat melemahkan kontrol nagari atas tanah ulayat. Kewenangan ninik mamak dalam menjaga dan mengelola tanah ulayat diabaikan.

Dampak: Kedaulatan adat dalam penguasaan tanah tergantikan oleh sistem hukum negara yang bersifat sentralistik.

4. Kesempatan untuk Advokasi dan Penguatan Hukum Adat. Namun, jika dilakukan dengan pendekatan pengakuan hukum adat (Pasal 18B UUD 1945 dan UU No. 5 Tahun 1960), sertifikasi bisa menjadi alat perlindungan, misalnya: Sertifikasi atas nama lembaga adat atau nagari, bukan individu. Peta partisipatif dan penetapan batas wilayah adat yang diakui negara.

Dampak positif potensial: Memperkuat posisi hukum tanah ulayat dalam menghadapi ekspansi korporasi atau proyek negara.

Bila sertifikasi menjadi keharusan yang tak ada cara lain yang dapat mempertahankan sakralisasi, hukum halal haram, dan marwah adat melalui tanah ulayat, maka limbago adat, lembaga adat dan pemangku kepentingan memperhatikan rekomendasi di antaranya:

1. Model Sertifikasi Kolektif: Atas nama kaum, suku, atau nagari, bukan perorangan.

2. Kolaborasi Adat-Negara: Sertifikasi harus melibatkan ninik mamak, KAN, dan pemerintah nagari.

3. Perlindungan dalam UU: Perlu penguatan regulasi turunan UU Pokok Agraria terkait pengakuan tanah ulayat.

Kesimpulan

Tanah ulayat dalam adat Minangkabau adalah warisan sakral kolektif yang tidak boleh diperjualbelikan atau disertifikasi atas nama individu. Ia merupakan bentuk kepemilikan komunal yang diwariskan secara matrilineal, dan dikelola oleh limbago adat, bukan organisasi atau lembaga formal. Limbago adat—yang terdiri dari ninik mamak, penghulu, dan pemangku adat—berfungsi sebagai pemegang amanah spiritual dan sosial yang bertanggung jawab menjaga kesinambungan adat, marwah kaum, serta keadilan antar generasi.

Sertifikasi tanah ulayat secara individu atau tanpa musyawarah limbago adat merupakan bentuk penyimpangan moral dan pelanggaran syariat Islam, karena berarti mengambil atau mengesahkan hak yang bukan milik pribadi. Dalam Islam, tindakan semacam itu termasuk zalim dan haram, serta dikecam oleh Al-Qur'an dan Hadis. Tanah ulayat bukan hanya aset ekonomi, melainkan juga bagian dari maqashid syariah dalam menjaga harta (hifz al-mal) dan keturunan (hifz al-nasl).

Dalam konteks kebijakan agraria nasional, dorongan sertifikasi tanah berpotensi mencederai nilai-nilai komunal Minangkabau, menimbulkan konflik sosial, dan menggerus kedaulatan adat. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan hukum yang mengakui dan melindungi hak kolektif masyarakat adat, seperti sertifikasi kolektif atas nama kaum atau nagari dan peta partisipatif wilayah adat.

Akhirnya, solusi terbaik bukanlah jalan pintas yang pragmatis, tetapi melalui regulasi yang adil, halal secara syariat, sah secara adat, dan kuat dalam hukum negara, demi keberlanjutan tanah ulayat dan kelestarian identitas Minangkabau. DS.01052025.

*Dewan Pakar LKAAM Provinsi Sumatera Barat

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies