![]() |
Diskusi pro kontra tentang pendidikan karakter anak nakal dan bermasalah di barak militer yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat mendapat bahasan luas di media, termasuk dalam catatan demokrasi TV One.
Dari diskusi itu patut ditawarkan pendekatan yang lebih humanis, kultural dan diyakini akan lebih memberi nilai lebih. Yakni Pendidikan melalui Pesantren Plus Disiplin Militer.
Pendidikan militer saja untuk anak "nakal" atau remaja bermasalah merupakan pendekatan yang kontroversial namun pernah diterapkan di berbagai negara dalam bentuk program boot camp, disciplinary school, atau military-style education.
Analisis mengenai pendekatan ini:
1. Pengertian. Pendidikan Militer untuk Remaja Nakal
Pendidikan militer di sini bukan berarti mereka menjadi tentara, tetapi pendekatan yang menggunakan disiplin keras, rutinitas ketat, struktur hierarkis, latihan fisik, dan pengawasan ketat untuk membentuk karakter dan perilaku.
2. Tujuan dan Harapan
Membentuk disiplin diri dan rasa tanggung jawab.
Mengurangi perilaku menyimpang seperti membolos, berkelahi, konsumsi narkoba, dll.
Menumbuhkan jiwa kepemimpinan, rasa hormat terhadap otoritas, dan kerja sama
Memberikan alternatif positif bagi remaja yang sulit ditangani di sekolah umum atau di rumah
3. Implementasi
Indonesia: Ada beberapa pesantren atau lembaga rehabilitasi remaja bermasalah yang mengadopsi model semi-militer atau disiplin tinggi (misal: Pesantren rehabilitasi, Sekolah Karakter).
Amerika Serikat: Juvenile Boot Camps yang menggunakan pendekatan militer bagi remaja yang berhadapan dengan hukum. Namun banyak dikritik karena kurang efektif dan bahkan memunculkan trauma.
Korea Selatan dan China: Kamp pelatihan disiplin untuk remaja pecandu gadget atau pelanggar norma sosial.
4. Pro dan Kontra
Kelebihan:
Memberikan struktur dan stabilitas pada remaja yang tidak memiliki kontrol diri.Meningkatkan kepercayaan diri melalui pencapaian fisik dan disiplin.Mengurangi risiko keterlibatan dengan kriminalitas ringan.
Kekurangan:
Risiko trauma psikologis jika tidak disertai pendekatan emosional dan edukatif. Tidak semua remaja cocok dengan pendekatan keras.
Efek jangka panjang belum tentu positif jika tidak dibarengi dengan pendidikan moral, bimbingan psikologis, dan nilai agama
5. Rekomendasi Pendidikan Militer yang Humanistik.
Pendekatan militer bisa menjadi bagian dari solusi jika dipadukan dengan:
Pendidikan nilai dan karakter berbasis agama dan budaya lokal.
Konseling psikologis dan pendekatan individual.
Kegiatan kreatif dan sosial (pramuka, bela negara, bakti sosial).
Pembinaan spiritual (misal dalam pesantren atau zawiyah)
Pendidikan militer bisa membantu remaja nakal, namun tidak boleh menjadi pendekatan tunggal. Harus ada keseimbangan antara disiplin fisik, pembinaan mental-spiritual, dan kasih sayang. Di Indonesia, perpaduan antara pendidikan pesantren, adat lokal (seperti Minangkabau: "adat basandi syarak") dan pendekatan disiplin bisa lebih efektif dan berkelanjutan.
Karakter Pesantren Plus Disiplin Militer
Pesantren merupakan institusi pendidikan Islam yang menekankan pembentukan karakter melalui internalisasi nilai-nilai keislaman, seperti keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah, dan kemandirian. Namun, dalam menghadapi tantangan global dan krisis karakter generasi muda, diperlukan pendekatan pembinaan yang lebih komprehensif.
Integrasi sistem pembinaan kedisiplinan militer ke dalam lingkungan pesantren menawarkan model pendidikan karakter yang memadukan kekuatan spiritual dengan ketegasan, kedisiplinan, dan kepemimpinan.
Pendekatan ini diharapkan mampu membentuk profil santri yang berakhlak, berintegritas tinggi, serta memiliki daya tahan dan daya juang dalam kehidupan sosial, profesional, dan kebangsaan.
Analisis Regulasi
Pendekatan pendidikan berbasis disiplin militer di lembaga keagamaan seperti pesantren harus dikaji dalam kerangka hukum dan kebijakan nasional:
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengatur bahwa pendidikan harus bersifat humanistik dan menjunjung martabat manusia. Maka, disiplin ala militer tidak boleh melanggar hak peserta didik dan prinsip non- kekerasan.
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan fisik dan psikis dalam proses pendidikan.
Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan menekankan bahwa kedisiplinan harus dijalankan dalam kerangka edukatif, bukan represif.
Implikasi:
Model “pesantren plus disiplin militer” dapat diterapkan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut. Perlu penyusunan kurikulum khusus dan pelatihan pendidik agar implementasi tidak mengarah pada pelanggaran HAM atau pendidikan yang traumatis.
Analisis Pendidikan
Filosofi Pendidikan Pesantren berbasis pada penanaman akhlak, kedisiplinan spiritual, dan tanggung jawab sosial melalui keteladanan, pembiasaan, dan penguatan nilai (value-based education).
Model Disiplin Militer menekankan keteraturan, ketegasan, kepatuhan, dan struktur yang ketat — yang jika disinergikan dengan pendekatan pesantren, bisa menjadi instrumen reformasi karakter yang efektif.
Dalam praktiknya, pesantren telah memiliki nilai-nilai disiplin internal seperti bangun dini hari, shalat berjamaah, penghafalan, dan tanggung jawab kolektif yang sejalan dengan nilai militer: "taat, tertib, dan tahan uji".
Implikasi:
Integrasi ini harus bersifat adaptif dan kontekstual, bukan sekadar adopsi. Harus ada modifikasi kurikulum, pelatihan guru/ustaz, serta evaluasi periodik agar tidak mencederai identitas pesantren sebagai lembaga pendidikan ruhani dan moral.
Analisis Psikologis
Remaja bermasalah umumnya mengalami gangguan relasi (dengan orang tua, guru, atau lingkungan), kurang kasih sayang, serta minim kontrol diri.
Pendekatan militer dapat berdampak positif dalam jangka pendek melalui struktur dan pembiasaan, namun berisiko menimbulkan:
Resistensi psikologis (jika pendekatan terlalu keras). Stres dan trauma (jika tanpa pendampingan emosional). Relasi kuasa yang tidak sehat (jika tidak dikontrol)
Namun jika dikombinasikan dengan:
Konseling psikologi individual.
Pembinaan spiritual. Relasi pendidik yang suportif (ustaz-sebagai orang tua spiritual). Maka karakter kuat yang terbentuk akan lebih stabil secara emosional, mental, dan sosial.
Implikasi:
Model ini hanya akan berhasil jika bersifat inklusif secara psikologis, tidak kaku, dan menyadari kebutuhan batin serta pengalaman traumatik yang mungkin dibawa oleh para remaja tersebut.
Kesimpulan:
Model “Pesantren Plus Disiplin Militer” merupakan pendekatan integratif yang berupaya mengatasi krisis karakter remaja bermasalah melalui perpaduan nilai-nilai spiritual Islam dan kedisiplinan militer.
Pendekatan ini menawarkan struktur, kepemimpinan, dan kontrol diri, namun hanya akan efektif jika dijalankan secara edukatif, humanistik, dan kontekstual.
Secara regulatif, model ini harus tunduk pada prinsip pendidikan nasional dan perlindungan anak, yang menolak kekerasan dan mengedepankan penghormatan terhadap martabat peserta didik. Maka, bentuk kedisiplinan yang diterapkan harus non-represif, terukur, dan memiliki dasar kurikulum yang jelas.
Secara pendidikan, integrasi nilai-nilai pesantren (seperti keikhlasan, tanggung jawab, dan ukhuwah) dengan struktur militer (seperti disiplin, ketegasan, dan kepemimpinan) dapat membentuk karakter yang kokoh, selama pendekatannya adaptif dan tidak menggerus ruh pesantren sebagai lembaga moral dan spiritual.
Secara psikologis, efektivitas model ini sangat tergantung pada pendekatan yang personal, empatik, dan suportif. Remaja dengan latar belakang masalah membutuhkan pendampingan psikologi dan pembinaan spiritual, bukan sekadar latihan fisik dan perintah keras.
“Pesantren Plus Disiplin Militer” berpotensi menjadi solusi alternatif pendidikan karakter remaja bermasalah, asalkan dijalankan secara holistik, berbasis kasih sayang, dan sesuai dengan nilai-nilai pendidikan Islam dan kebangsaan Indonesia.ds. 13052025.
*Refleksi Catatan Demokrasi, 13052025