![]() |
“Ketidaktahuan lebih sering menimbulkan keyakinan daripada pengetahuan: mereka yang tahu sedikit, bukan mereka yang tahu banyak, yang dengan yakin menyatakan bahwa masalah ini atau itu tidak akan pernah terpecahkan oleh sains.”—Charles Darwin(1809-1882), The Descent of Man(1871).
Sebelum datang di kedai kopi di bilangan Komo Luar, hampir tiap anggota klub Justitia Societas(JS) dibekali kitab Timaios Plato berisi penciptaan ideal alam semesta, Demiurge, beserta isinya.
Pukul 18.00, waktu kosmos WITA.
Tiga anggota telah menyeruput kopi arabika dan kudapan cireng.
Para anggota lengkap, Stefan Obadja Sofyan Jimmy Yosadi Anwar II Hery Reiner Emyot Ointoe Amelia Tungka Ferol Warouw Lana Lengkong Iqbal Suma:
Sebelum tiba seluruh anggota lainnya, tema Demiurge telah terpampang untuk urusan ciptaan dan penciptaan yang sarat masalah.
Pasalnya, kata ketua anggota pengundang, rekayasa genom ciptaan ada dalam bahaya. Bahaya ini, tentu, terkait relasi manusia, alam dan Tuhan sedang digiring pada kepunahan(extincion) asali.
Kompleksitas dan relasi tiga multidimensi itu sedang diarak pada kepunahan makhluk religiusitas(toga),phaedeo(pendidik), biogen(orangtua) dari fundamen Demiurge.
Sebagai tiga sosok makhluk ini, pun penuh dibekali kearifan asasi. Pikiran dan refleksi mereka telah bertransformasi pada relasi otentik. Sama sekali tak ada masalah.
Karena itu, seorang anggota gagal dekan — konon belum peroleh restu dari otoritas semesta — terlanjur yakin, “sayalah Yesus. Berharaplah pada saya.”
Pada proses ini, Sang Mesias, telah sampai pada konsepsi, batas entitas yang transenden dan yang imanen pada dirinya nyaris tak ada.
Akibatnya, anggota bio-feminis sejak lama tak lagi percaya pada pencipta, berseloroh: “Sang ilahi yang feminis itu senyampangnya proyeksi belaka. Bukan asas asali. Apalagi, produk tiruan(mimesis) kasar dari mikrokosmos. Miniaturlah.
Dan anggota lainnya, menyela, “jika demikian, Tuhan tak berkelamin. Jika berkelamin potensinya kromosom Y totaly.” Itu, korporeal seksis feminis sejati.
Terhentak oleh kategori kelamin, di mana garis demarkasi seksualitas produk kromosom Y dan X, sama sekali tak punya dominasi laten.
Sehingga, seorang sejak lahirnya maskulin, harus menyerah pada takdir kelaminnya pada kucing jantan anggora dan anjing boby Kurusetra.
Keterasingan antar makhluk ciptaan — pangkal dari eksistensialisme absurd dan ekstrim vis a vis Nietzsche, Kierkegaard, Sartre, Camus, Foucault; empat penunggang ateistik — bikin bingo-bingo yaki tiap argumen metamateri. Karena itu, Capra kini dan Plato dulu, keduanya tunduk pada dalil, Fisika-Tao.
Sebagai pencipta alam semesta dan manusia, serta memiliki peran dalam menentukan makna dan tujuan hidup manusia, Tuhan itu harus ada di kepala, kata anggota yang dokter neurosaintis, bersama tiga kategori lagi: konsepsi, persepsi dan empiris.
Menilik pada Plato dan Aristoteles ihwal konsep Tuhan sebagai penyebab pertama dan tujuan akhir, relasi manusia dengan alam dapat dipahami sebagai relasi antara subjek dan objek.
Sebagai subjek, manusia dibekali kemampuan untuk memahami dan menguasai alam sebagai objek.
Seturut Kant dan Rousseau, pentingnya memahami alam sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik dan hak-hak yang perlu dihormati. Karena itu, “jangan reduksi Tuhan pada asas empirik belaka. Biarkan Dia dalam persepsi misterium.
Dipandang dari teori holisme, relasi dan dinamika ciptaan dan penciptaan, ada suatu sistem yang kompleks dan terintegrasi justru terus bereskalasi pada etape-etape tak terduga.
Sebagai bagian dari alam yang memiliki peran dalam menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam — menurut Naess dan Capra — manusia memahami alam sebagai suatu sistem yang holistik.
Dan melompat pada isu Mariara dan Permesta, harus dipercaya adagium, Rebelium Ergo Sum, Saya berontak, maka saya ada.
Karena hanya dengan holisme berontak, asas-asas keutuhan suatu konsep untuk memahami relasi manusia dengan Tuhan dan alam, bisa ditolerir. Di luar holisme, jangan pernah berharap pada solidaritas yang dipaksakan.
Takdir, perlawanan, pemberontakan, penolakan,
keterasingan dan pemufakatan bukanlah proses dialektika mutualistik. Itu paradoks tiada akhir. Ibarat Sysiphus, tragedi itu kepasrahan yang memikat(fascinosum) sekaligus menakjubkan(tremendum).
Kopi habis. Usai sudah kucing, anjing, Permesta dan Tuhan di kepala masing-masing.