![]() |
Alangkah indahnya kalau masalah ijazah asli atau palsu yang menjadi pergunjingan umum dan menteror hampir seluruh jenis dan model media sosial berbasis internet yang terus berlarut-larut tidak berujung, dapat segera dilakukan Islah untuk saling memaafkan hingga tak perlu sampai ke meja pengadilan.
Karena melalui islah -- keikhlasan untuk meminta maaf dan memberi maaf -- bisa dilakukan untuk menghentikan kegaduhan yang tak kunjung usai. Sebab masalah bangsa dan negara Indonesia sedang mengalami tekanan berat dalam bentuk ekonomi yang berimbas pada beragam bidang dan sektor kehidupan sehari-hari yang lebih patut untuk mendapat prioritas utama untuk dihadapi secara bersama-sama agar tidak sampai menimbulkan masalah baru yang bisa lebih merepotkan seluruh warga masyarakat. Setidaknya, pilihan untuk Islam dalam upaya menghentikan kegaduhan yang bermula dari ijazah -- asli atau palsu -- memang perlu dan patut diklarifikasikan, tetapi pilihan islah akan lebih baik dan elegan untuk memperbaiki, mendamaikan dan meredakan sengketa yang terus berkepanjangan.
Karena itu pilihan sikap mantan Presiden Joko Widodo akhirnya menempuh jalur hukum sangat disayangkan, sebab pilihan sikap membawa masalah tentang ijazah itu ke pengadilan, agaknya sudah terlambat, toh dari pihak lain -- mereka yang telah mengajukan gugatan -- sudah terlebih dahulu melakukannya , namun hingga hari ini setelah masalah tentang ijazah merebak kesna-mana dan melibatkan banyak pihak termasuk instansi perguruan tinggi dan sekarang melibatkan juga sekolah -- akan lebih baik dan lebih bijak dengan cara Islah, mengakui kekeliruan dan meminta maaaf. Saya kira, warga bangsa Indonesia masih memiliki keikhlasan dan kemurahan untuk memberi maaf, sekiranya memang ada kesalahan.
Laporan balik Joko Widodo yang merasa telah sangat dirugikan atas kegaduhan masalah ijazah yang dipersoalkan sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat ini, perlu ditempuh melalui islah sebagai sikap yang lebih bijak agar tidak perlu menambah kegaduhan. Sebab jika benar ijazah yang menjadi obyek persengketaan itu sungguh palsu, maka sejumlah pihak yang terlanjur memberi kesaksian akan mendapat sanksi hukum pula, minimal dalam bentuk sanksi moral terhadap yang bersangkutan.
Jika pun sebaliknya, ijazah itu asli adanya, maka sungguh tak pantas dibiarkan berlarut, padahal keinginan sejumlah pihak hanya ingin melihat saja keaslian dari ijazah yang sempat diakui berasal dari Fakultas Kehutanan Jurusan Teknologi Kayu. Lalu kemudian, terhembus kisah ijazah yang asli itu hilang dari dalam arsip di kampus UGM.
Laporan gugatan dari Joko Widodo yang dilakukan melalui Polda Metro Jaya, ada 30 April 2025 akan lebih bijak tidak dilakukan. Sebab dengan laporan yang dilakukan ini justru akan semakin membuat suasana tidak kondusif serta memanas, lantaran dibelakang para tokoh dan aktivis yang digugat itu cukup memiliki massa pendukung maupun simpatisan yang banyak.
Lima orang aktivis dan tokoh masyarakat yang dilaporkan Joko Widodo kepada Polda Metro Jaya itu diantaranya adalah RS, RS, ES, T dan K, yang dianggap terkait dengan pasal 319 KUHP tentang pencemaran nama baik. Padahal, bukti pencemaran nama baik itu harus dibuktikan terlebih dahulu apa yang menjadi pokok masalah sehingga mereka dapat dikenakan sanksi pencemaran nama baik itu. Demikian juga dengan tuduhan terhadap sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat itu yang dianggap telah melakukan fitnah.
Padahal, sejak awal bermula, jika Joko Widodo berkenan menunjukkan ijazah akademik miliknya, dapat dipastikan tidak perlu menunjukkan ijazah lainnya, seperti mulai dari SD hingga perguruan tinggi, seperti yang dikatakan telah ditunjukkan saat membuat laporan resmi di Polda Metro Jaya, pada 30 April 2025.
Meski begitu, jalan islah masih tetap terbuka dan lebih bijak untuk menjadi pilihan bagi Joko Widodo daripada menempuh jalur hukum. Sebab lewat jalur hukum -- setidaknya -- masalah ijazah (palsu atau asli) akan semakin memperpanjang masalah. Atau bahkan mungkin bisa semakin melebar hingga melibatkan berbagai pihak lain yang sesungguhnya tidak perlu menjadi repot dan ikut menanggung akibat dari masalah yang dapat diselesaikan dengan cara Islah.
Paparan ini sekedar saran -- bukan nasehat -- sebab untuk sosok sekaliber Joko Widodo, mantan Presiden Indonesia, jelas dan pasti memiliki wawasan dan pertimbangan yang lebih luas dan bijak.
Banten, 1 Mei 2025