![]() |
(Puisi esai yang difiksikan dari fenomena banyaknya perempuan yang menjadi pencari nafkah utama sebagai penopang ekonomi keluarga) (1)
---000---
Pukul tujuh pagi,
ia mengenakan blazer abu dan lipstik seadanya.
Merias wajah dengan terburu-buru.
Meninggalkan rumah dengan sepatu yang menyimpan langkah doa,
dan selembar pesan di meja makan:
"Jangan lupa siram anggrek. Aku rapat sampai malam."
Namanya Arum.
Di kantor, ia manajer pemasaran yang disegani.
Di rumah, ia menjadi ibu dan istri
yang kerap hanya sempat mencium dahi anaknya
di antara fajar dan larut malam.
Di balik pintu, seorang lelaki membuka tirai,
mengangkat cucian,
memasak bubur untuk bayi mereka,
dan menahan tanya yang tak pernah ia ucapkan.
Getir dan pahit ia telan bersama perasaan bersalah.
Namanya Galang.
Lima tahun lalu, ia adalah teknisi di negeri Jepang.
Pulang dari perantauan, mencoba peruntungan di negeri sendiri.
Tapi ternyata negeri ini tak butuh yang ahli,
Yang punya koneksi lebih banyak dicari.
Sejak itu, Galang hanya menjadi ayah rumah tangga.
Ratusan lamaran, ia kirimkan.
Tapi usia empat puluh, membuatnya terjebak dalam sistem rumit.
Iklan kerja lebih sering memanggil:
"Single usia maksimal 25 tahun, menarik, energik."
Mesin seleksi digital menghapus kata ayah muda
dari daftar yang dianggap layak.
Kecuali ia masih kerabat para petinggi.
Ia bukan pemalas.
Ia hanya laki-laki yang kalah bersaing
di antara lowongan yang absurd,
lebih dari pengalaman dan ketekunan.
Data berkata,
Sektor jasa dan administrasi lebih terbuka untuk perempuan. (2)
Laki-laki usia 30 ke atas, tanpa gelar tinggi,
lebih sulit diserap industri formal. (3)
Sistem ekonomi kita masih bias,
Aturan kerapkali mempersulit sebagian rakyat.
---000---
Di ruang tamu, Galang membaca iklan lowongan
dengan kening mengerut dan gendongan bayi di bahu.
Ia tak cemburu pada Arum,
hanya kadang sorotan kanan-kiri,
Membuatnya jatuh dalam jurang rendah diri.
"Kerja dong, Mas. Masa dinafkahi istri terus?"
Sindir para tetangga.
Galang hanya tersenyum kecut,
sebab menjelaskan kemiskinan sistem pada obrolan warung,
seperti membacakan puisi ditengah antrean sembako.
---000---
Dan Arum, setiap malam,
mengusap lehernya yang pegal oleh layar monitor,
lalu berkata:
"Yang penting kita masih bisa makan dan tertawa."
Ia bukan lagi tulang rusuk,
yang tersembunyi di balik dada Adam,
ia telah menjadi tulang punggung,
yang memanggul hari-hari dan biaya hidup
dengan pundak yang rapuh namun dipaksa kuat.
Kartini kini tak hanya memperjuangkan dirinya,
tapi juga pasangannya.
Ia tak menuntut suaminya jadi pahlawan,
karena ia tahu:
tak semua perang dimenangkan dengan pedang, kadang justru dengan kesediaan
menahan luka dalam diam.
Dan Galang,
dalam sunyi nya,
adalah lelaki yang mencintai dalam bentuk paling jujur:
menerima tertinggal tanpa merasa kalah,
Ia tetap berusaha menyiram anggrek sambil menyiapkan santapan untuk istrinya yang lelah bekerja.
CATATAN:
(1)https://www.bps.go.id/id/publication/2025/03/27/1c11ddc250d82e97f1eafe29/cerita-data-statistik-untuk-indonesia---female-breadwinners--fenomena-perempuan-sebagai-pencari-nafkah-utama-keluarga.html
(2) Kementerian Ketenagakerjaan RI. (2023). Profil Gender dalam Ketenagakerjaan.
(3) Laporan ILO & BPS. (2023). Kesenjangan Kesempatan Kerja Berdasarkan Gender dan Usia di Indonesia.