![]() |
„Perbudakan baru adalah konsumerisme.“ —
Bryant.McGill(55), Social Enterpreneur Amerika.
Animasi Jumbo, besutan animator dan komikus Ryan Adriandhy Halim(34), tak kurang dari lima tahun, sejak tayang 31 Maret 2025 silam meledak di pasaran.
Tercatat hingga kemarin(24/4/25), telah mencapai lebih enam juta penonton dengan estimasi keuntungan setara Rp. 225 miliar dan melampui animasi Malaysia, Mechamato, 2022 silam.
Meski menurut data sebelumnya baru capai empat juta penonton, film animasi ini dianggap tontonan
terlaris di Asia Tenggara(https:/www.tempo.co/
teroka/jumbo-jadi-film-animasi-terlaris-di-asia-
tenggara-1232430).
Sebagai salah satu produk industri budaya populer, animasi Jumbo tidak hanya menyajikan hiburan bagi anak-anak dan keluarga, tetapi juga merefleksikan dan membentuk pergeseran kultur selera di publik.
Dalam konteks kultur selera(consumer culture) —meski selera penonton kita sulit diprediksi — animasi ini dapat dilihat sebagai bagian dari sistem produksi dan konsumsi yang lebih luas dalam industri kapitalisme hiburan.
Dengan kata lain, industri hiburan apapun akan mempengaruhi bagaimana masyarakat memahami dan mengonsumsi produk industri budaya pop seperti film animasi.
Untuk itu, setidaknya merespon ledakan penonton dan WEBINAR KEAI #15: JUMBO
TANPA AI TERBANG TINGGI tadi malam(24/4/25), ada tiga faktor yang bisa diacu dalam mengapresiasi ledakan selera dan konsumsi publik atas film animasi Jumbo.
/1/ Konstruksi Selera
Animasi Jumbo, dengan karakter-karakter yang ceria dan cerita yang sederhana, menyasar anak-anak dan Gen-Z sebagai target audiens utama dan berkisah soal perundungan tokoh Don, seorang anak yatim piatu berusia 10 tahun yang sering diremehkan karena memiliki tubuh bongsor.
Namun, di balik kesederhanaan tematik cerita, animasi ini membawa pesan-pesan komersial yang kuat untuk industrialisasi budaya digital dan rantai pengaruhnya.
Melalui merchandise, mainan, dan produk-produk yang terkait dengan karakter animasi, Jumbo menjadi bagian dari kultur selera yang mendorong konsumsi hiburan mutakhir.
Ini menunjukkan bagaimana media dan industri budaya populer di bawah hegemoni kapitalisme, dapat membentuk selera dan preferensi konsumen, terutama anak-anak yang rentan terhadap pengaruh iklan dan branding.
/2/ Kultur Selera dan Identitas
Dalam kultur selera, konsumsi bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga tentang pembentukan identitas dan status sosial.
Animasi Jumbo, dengan merchandise-nya yang beragam, memungkinkan anak-anak dan orang tua untuk mengekspresikan diri mereka melalui produk-produk yang mereka konsumsi.
Tentu, kultur positif selera — de gustibus non est disputandum — dapat mencerminkan bagaimana budaya konsumsi membentuk identitas individu dan kelompok, serta bagaimana konsumsi menjadi sarana untuk mengekspresikan diri dan membangun hubungan sosial.
/3/ Kritik Komodifikasi Budaya
Meskipun animasi Jumbo dapat dinikmati sebagai hiburan, kritik dapat diarahkan pada komodifikasi budaya yang terjadi dalam produksi dan pemasaran animasi ini.
Dengan menjadikan karakter dan cerita sebagai bagian dari strategi pemasaran, animasi ini dapat dilihat sebagai alat untuk meningkatkan penjualan produk-produk terkait.
Karena itu, muncul pertanyaan tentang nilai sebenarnya dari budaya populer dan bagaimana nilai-nilai ini dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi atau kultur kapitalisme publik di luar kontrol negara?
Bagaimanapun, animasi Jumbo, dalam konteks kultur selera, merefleksikan dinamika kompleks antara industri budaya populer, konsumsi, pembentukan identitas dan peran negara vis a vis kementrian kebudayaan yang gamang.
Melalui analisis kritik kebudayaan(1), kita dapat melihat bagaimana animasi ini tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga memainkan peran dalam membentuk kultur selera dan mempengaruhi perilaku konsumsi positif masyarakat.
Tak kalah penting, bagaimana memahami dinamika dan kontradiksi antar kultur selera — positif dan negatif — agar kita dapat lebih bijak dalam mengonsumsi dan mengevaluasi nilai-nilai fundamen dalam produksi dan kultur industri budaya natur dan populer sekaligus(2).
#RUJUKAN:
(1) Baudrillard, J. (1970). _The Consumer Society: Myths and Structures. California: SAGE Publication Inc.
(2) Featherstone, M. (1991). _Consumer Culture and Postmodernism. UK: SAGE Publication Ltd.1