![]() |
Awal 2025 membawa kabar yang berat: IHSG jatuh 9,19 persen hanya dalam satu hari. Bursa Efek Indonesia bahkan harus menekan tombol trading halt, tanda darurat yang jarang sekali dipakai. Bukan itu saja, Amerika Serikat, yang menjadi pasar penting bagi produk-produk kita, tiba-tiba menaikkan tarif impor barang Indonesia hingga 32 persen. Seolah belum cukup, nilai tukar rupiah ambruk, menembus Rp17.200 per dolar, level terendah sejak krisis 1998.
Bagi mereka yang bergaji dua digit dan mempunyai pekerjaan mapan, mendengar angka-angka ini dari berita, mungkin terasa seperti hal biasa karena tidak berdampak secara signifikan. Tapi berbeda bagi rakyat kecil, ini seperti badai besar yang menghantam perahu reyot mereka. Mereka yang sehari-hari hanya bisa mengayuh perlahan di tengah gelombang, kini harus berhadapan dengan ombak raksasa.
Bayangkan sebuah pasar kecil di pinggir kota. Penjual sayur harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan dagangannya, karena sebagian besar pupuk dan benih diimpor dengan dolar. Pedagang beras kecil tiba-tiba harus menaikkan harga karena biaya transportasi melonjak, bahan bakar makin mahal. Ibu-ibu yang datang belanja dengan uang pas-pasan kini harus memilih: membeli beras lebih sedikit, atau mengurangi lauk untuk anak-anak mereka.
Di pabrik-pabrik kecil, situasi lebih muram. Banyak perusahaan, terutama di sektor tekstil dan alas kaki yang dulu mengandalkan pasar ekspor ke Amerika, kini mulai berguguran. Barang mereka kalah bersaing, gudang menumpuk, pesanan berkurang. Akhirnya, pilihan pahit pun diambil: memutus hubungan kerja dan terpaksa mengorbankan nasib ribuan buruh. Mereka yang tadinya sudah hidup di ujung tombak kemiskinan, kini semakin dimiskinkan, apalagi ketika dihadapkan pada proses mencari pekerjaan baru yang bisa dibilang semakin langka.
Sementara itu, suara dari atas sana tetap terdengar merdu: bahwa semua ini hanya "gejolak sementara" dan "masih terkendali". Sayangnya, kenyataan di lapangan berkata lain. Harga-harga merangkak naik tanpa ampun. Tagihan listrik pun mulai membengkak. Dan tak ada pekerjaan baru yang bisa menggantikan gaji yang hilang.
Bagi banyak keluarga, bertahan hidup sudah seperti mengisi ember bocor. Setiap tetes usaha keras hanya mengisi sedikit, sementara lubang baru terus bermunculan. Dulu mereka masih bisa berutang ke keluarga atau kerabat dekat. Kini, bahkan untuk sekadar mengutang pun sulit, karena mayoritas semua orang sedang dalam kesulitan yang sama. Sehingga berujung pada semakin meningkatnya kasus pinjaman online dengan bunga yang kian mencekik.
Ada yang bilang, "Krisis ini tidak terasa kok di kehidupan sehari-hari." Tentu, bagi mereka yang hidup di dalam rumah berlantai marmer, yang penghasilannya tidak tergantung pada ekspor, mungkin badai ini seperti angin sepoi-sepoi. Tapi bagi rakyat kecil, badai ini sudah mulai menggulung apa yang tersisa dari harapan.
Kondisi ini bukan sekadar masalah angka ekonomi. Ini soal isi perut rakyat kecil. Ini soal biaya sekolah yang harus ditunda. Ini soal pilihan-pilihan getir yang terpaksa diambil setiap hari.
Kita tak bisa lagi menutup mata dan berkata Indonesia baik-baik saja. Karena di bawah permukaan statistik dan pidato resmi, ada jutaan perahu kecil yang kini terombang-ambing di tengah laut, berjuang keras agar tidak tenggelam.
Dan jika kita terus berpura-pura bahwa badai ini tidak ada, maka cepat atau lambat, kita semua akan ikut karam bersamanya.