![]() |
Refleksi di Hari Buku Sedunia
Hari ini, 23 April 2025, dunia memperingati Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia, sebuah momen yang seharusnya menjadi pengingat akan pentingnya literasi dalam kehidupan manusia. Namun, saya justru terdiam cukup lama. Ada kegelisahan yang tak bisa diabaikan: apakah anak-anak hari ini masih mencintai buku?
Saat saya tumbuh di era 90-an, buku adalah hiburan sekaligus jendela dunia. Majalah Bobo, misalnya, adalah bacaan wajib mingguan yang saya nantikan. Cerita-ceritanya memicu imajinasi, kuis dan rubriknya menumbuhkan rasa ingin tahu. Buku ensiklopedia, walau berat dan tebal, menjadi harta karun yang menyenangkan untuk dijelajahi. Semua itu membentuk fondasi keingintahuan dan pemahaman saya tentang dunia.
Namun, kenyataan hari ini sangat berbeda. Anak-anak generasi Alpha, anak-anak yang lahir di era serbadigital lebih mengenal layar daripada lembaran kertas. Mereka lebih fasih mengoperasikan aplikasi TikTok atau memainkan game daring daripada membuka halaman buku. Majalah anak yang dulu berjaya kini nyaris tak terdengar gaungnya. Buku cerita anak, apalagi ensiklopedia, mulai kehilangan tempat di rak-rak rumah.
Fenomena ini jelas tidak bisa dianggap remeh. Literasi bukan sekadar keterampilan membaca, melainkan kemampuan memahami, berpikir kritis, dan mengolah informasi. Tanpa literasi yang kuat, bagaimana anak-anak bisa tumbuh menjadi generasi yang cerdas, kritis, dan berdaya saing? Miris rasanya menyadari bahwa banyak anak-anak hari ini lebih hafal nama selebgram dan gamers populer daripada nama tokoh pahlawan nasional.
Tentu, tidak adil jika kita hanya menyalahkan anak-anak atau perkembangan teknologi. Dunia memang telah berubah. Yang perlu kita evaluasi adalah bagaimana peran orang tua, pendidik, dan pemerintah, menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Apakah kita sudah cukup adaptif dalam memperkenalkan literasi di era digital?
Membaca buku tidak harus selalu dalam bentuk fisik. Buku digital, audio book, dan platform membaca interaktif bisa menjadi alternatif yang menjembatani dunia digital dengan budaya baca. Namun, konten yang berkualitas dan pendekatan yang tepat tetap menjadi kunci. Anak-anak membutuhkan role model yang gemar membaca, kurikulum yang memicu minat baca, serta lingkungan yang mendukung tumbuhnya kecintaan terhadap literasi.
Hari Buku Sedunia seharusnya menjadi refleksi bersama, bukan sekadar seremoni. Sudah waktunya pemerintah dan semua pihak menjadikan literasi sebagai prioritas utama. Program Makan Bergizi Gratis perlu diimbangi juga dengan program distribusi buku Gratis. Serta dana pendidikan seharusnya juga mengalir untuk menghidupkan kembali taman bacaan anak dan menerbitkan konten-konten lokal yang menarik.
Membaca buku bukan soal nostalgia. Ini soal masa depan bangsa. Bila kita ingin generasi mendatang mampu berpikir tajam, bertindak bijak, dan membawa Indonesia melangkah lebih maju, maka kita harus mulai dari hal paling mendasar: mengembalikan cinta pada buku. Karena dari situlah peradaban dimulai.