![]() |
“Kejujuran juga tidak mengharuskan seseorang untuk mengatakan seluruh kebenaran, karena mengomunikasikan setiap fakta pada suatu topik hampir tidak pernah berguna atau bahkan mungkin.” — Sam Harris(58), Lying(2011).
Apakah tuduhan ijazah palsu Jokowi suatu drama kebohongan? Drama yang telah bertahun-tahun menyita energi publik.
Pasalnya, jika benar ini drama kebohongan seorang figur publik paling kontroversi sepanjang sejarah reformasi, satu bukti ilmiah cukup untuk itu.
Bagaimana satu bukti itu?
Meski secara hukum kaidah ilmiah ini tak berlaku — karna hukum positif kita tak punya dalil pembuktian terbalik — bukti ilmiah itu disodorkan filsuf Karl Raymund Popper sebagai metode falsifikasi yang populer dengan teori angsa hitam(black swam).
Artinya, untuk bukti ilmiah dengan dalil „semua angsa putih“ tak perlu mengumpulkan seluruh populasi angsa putih di dunia. Dengan metode falsifikasi sebagai bagian verifikasi, cukup temukan satu angsa hitam dan dalil universal angsa putih rontok bersama seluruh bulu-bulunya.
Lupakan drama kebohongan ijazah palsu dengan bukti historis, mobil ajaib esemka dan 11.000 triliun di kantong Pak De, Lying King.
Yup. Bersukalah dengan satu dari sembilan buku yang paling suka dibaca triuliner Tesla, Elon Musk(53), penasehat senior Presiden Tarif Trump(https://www.blinkist.com/magazine/posts/9-books-elon-musks-reading-list-will-reinvent-life?utm_source).
Buku itu, Lying(Berbohong), esai panjang tahun 2011 dari penulis Amerika, Sam Harris, pakar neurosains yang populer — paska teror 9/11 2001 — dengan bukunya, The End of Faith(2004).
Menurut Harris, kita dapat menyederhanakan hidup kita secara radikal dan memperbaiki masyarakat hanya dengan mengatakan kebenaran dalam situasi di mana orang lain sering berbohong.
Untuk sedikit menelisik ke bab satu, What is Lies, dikutipkan sedikit panjang apa argumen filsafat kebohongan versi Harris:
„Penipuan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, tetapi tidak semua tindakan penipuan adalah kebohongan.
Bahkan orang yang paling beretika di antara kita terkadang kesulitan untuk membedakan antara penampilan dan kenyataan.
Dengan memakai kosmetik, seorang wanita berusaha untuk tampak lebih muda atau lebih cantik daripada yang seharusnya.
Kejujuran tidak mengharuskannya untuk mengeluarkan serangkaian pernyataan penyangkalan yang terus-menerus.
‚Saya melihat Anda sedang melihat wajah saya: Harap diperhatikan bahwa saya tidak terlihat secantik ini di pagi hari...‘
Seseorang yang sedang terburu-buru mungkin berpura-pura tidak melihat seorang kenalan yang lewat di jalan.
Seorang tuan rumah yang sopan mungkin tidak mengakui bahwa salah satu tamunya telah mengatakan sesuatu yang sangat bodoh hingga memperlambat rotasi bumi.
Ketika ditanya “Apa kabar?” kebanyakan dari kita secara refleks mengatakan bahwa kita baik-baik saja dan memahami bahwa pertanyaan itu hanya sekadar sapaan. Bukan undangan untuk membahas kekecewaan karier kita, masalah perkawinan kita, atau kondisi usus kita.
Pengabaian semacam ini dapat menjadi bentuk penipuan, tetapi itu bukanlah kebohongan. Kita mungkin mengabaikan kebenaran pada saat-saat seperti itu. Akan tetapi, kita tidak dengan sengaja membuat kepalsuan.
Batas antara berbohong dan menipu sering kali tidak jelas. Bahkan, menipu dengan kebenaran pun bisa dilakukan. Misalnya, saya bisa berdiri di samping-berjalan di depan Gedung Putih dan menelepon kantor pusat Facebook di ponsel saya: ‚
‚Halo, ini Sam Harris. Saya menelepon dari Gedung Putih, dan saya ingin berbicara dengan Mark Zuckerberg.‘
Kata-kata saya, dalam arti sempit, akan benar—tetapi pernyataan itu tampaknya dimaksudkan untuk menipu. Apakah saya berbohong? Hampir saja.
Berbohong berarti secara sengaja menyesatkan orang lain ketika mereka mengharapkan komunikasi yang jujur.
Hal ini membuat pesulap panggung, pemain poker, dan penipu tidak berbahaya lainnya terbebas dari tanggung jawab.
Dan sekaligus menjelaskan lanskap psikologis dan sosial yang bentuk umumnya sangat mudah dikenali. Orang berbohong agar orang lain membentuk keyakinan yang tidak benar.
Semakin penting keyakinan tersebut—artinya, semakin kesejahteraan seseorang bergantung pada pemahaman yang benar tentang dunia—semakin penting pula kebohongan tersebut.
Namun, seperti yang diamati oleh filsuf Sissela Bok, kita tidak akan bisa membahas topik ini lebih jauh tanpa terlebih dahulu membedakan antara kebenaran dan kejujuran—karena seseorang bisa saja benar-benar jujur meskipun sebenarnya dia keliru.
Berbicara jujur berarti menyampaikan keyakinannya dengan akurat. Namun, kejujuran tidak menjamin bahwa keyakinannya benar.
Harris, satu ateis mutakhir, yang dikenal sebagai empat penunggang kuda(horseman) „sesat di jalan ilmiah“ bersama mendiang Daniel Dennet, Christopher Hitcheon dan Richard Dawkins(84) — setelah melawaskan The Moral Landscape(2010) dan Free Will(2012) — bersama Maajid Nawaz(47), aktivis dan penyiar radio asal Inggris, ikut menabalkan filsafat toleransi dalam Islam and the Future of Tolerance(2015).
Terorisme, ekstrimisme, ateisme dan toleransi, apakah produk kontra dari kebohongan politik? Sejarah mustahil berbohong.