![]() |
Profetis berasal dari kata "nabi" atau "prophet" dalam bahasa Inggris. Profetis berarti bersifat kenabian, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan peran, ajaran, atau nilai-nilai yang dibawa oleh para nabi. Profetis ini berorientasi pada nilai kebenaran dan keadilan. Berani mengkritik kebatilan, penindasan, dan ketimpangan sosial. Mengandung pesan moral dan spiritual untuk perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Berpihak pada kaum lemah, miskin, dan tertindas, seperti halnya perjuangan para nabi.
Maaf profetis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah ingin menegaskan bahwa maaf, memaafkan dan mohon maaf bukan sekedar simbolik dan tradisi lebaran belaka. Dalam masa-masa Syawal ini narasi dan literasi terbanyak adalah ucapan dan kata maaf, mohon maaf lahir dan batin begitu sapaan saat bertemu sembari menjulurkan tangan bersalaman. Maaf dan memaafkan berakar dari nash al-Qur’an. Artinya.. "Kemudian, Kami memaafkan kamu setelah itu agar kamu bersyukur."(QS. Al-Baqarah, 52)."Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim."(QS. Asy-Syura 42: Ayat 40).
Kata "maaf" dalam Al-Qur'an disebutkan dalam bentuk "al-'afwu" yang berarti "memaafkan" atau "menghapus". Kata "al-'afwu" disebutkan sebanyak 35 kali dalam Al-Qur'an. Makna maaf sejatinya hendaklah memaafkan orang lain secara totalitas, tanpa mengingat masa lalu . Memberi maaf adalah bagian dari cara Allah memberikan terapi agar pikiran dan jiwa bisa kembali suci, bersih, tanpa beban dan hambatan. Memaafkan orang lain merupakan jalan terbaik untuk menenangkan diri dan menyelesaikan masalah.
Nalar Qur'ani Tentang Makna Maaf
Nalar Qur’ani mengarahkan logika manusia untuk memberikan maaf secara totalitas, dengan tujuan manusia mampu bersyukur dan berterima kasih. Bani Israil dimaafkan oleh Allah SWT karena terlalu banyak dosa dan keingkaran yang mereka lakukan kepada Nabi Musa maupun kepada Allah SWT. Tetapi Allah SWT memaafkan mereka kembali agar mereka mau bersyukur. Allah SWT menutup semua kesalahan mereka secara totalitas, agar mereka merasa bersyukur, karena tidak di azab oleh Allah SWT.
Nalar ini memang sulit dilakukan, karena membutuhkan lawan bicara yang memiliki hati dan rasa, serta logika yang cerdas untuk memahami maksud dari permaafan tersebut. Tapi demikianlah agama ini mengajarkan untuk memaafkan manusia tanpa mengingat dan melihat masa lalunya. Jika sudah memaafkan maka sudah lupakan, apakah dia akan menjadi baik atau tidak bukan urusan kita.
Akan tetapi kata maaf dalam ayat ini adalah wilayah pribadi, bukan pada wilayah hukum publik. Karena dalam Al Qur’an ada nalar permaafan publik tersendiri. Ketika memang kesalahan itu bersifat sosial maka yang memaafkan adalah institusi sosial melalui hukum dan perundang-undangan, maka dalam Islam ada istilah hukum had, qishas dan hukum-hukum terkait. Misal korupsi para pejabat, maka permaafannya adalah pengadilan yang berlaku, apakah dimaafkan melalui hukum pencurian atau hukum perampokan, atau bahkan hukum perusakan negara. Semuanya dalam Islam ada aturannya, Bahkan dalam ruang hukum positif pasti juga ada pembahasannya.
Surat Al Baqarah ayat 52 hakikatnya permaafan ilahiah, ketika Allah SWT memaafkan Bani Israil, akan tetapi menjadi jalan nalar kita, ketika pribadi kita tersakiti oleh siapapun, maka maaf adalah jalan terbaik untuk menenangkan diri dan menyelesaikan masalah. Sehingga dalam Al Qur’an Allah SWT mengatakan bahwa ciri orang bertakwa adalah yang selalu memberi maaf bagi kesalahan manusia.
Tentunya tidak ada yang bisa melakukan itu kecuali orang-orang yang berjiwa besar, orang-orang yang mempunyai kekuatan iman dan taqwa, orang-orang yang pengharapan atas keridhaan Allah, yang betul-betul mengharapkan ampunan Allah dengan kuat. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan. (HR Ath- Thabrani)” Sabda Rasulullah SAW.
Jika hari kiamat tiba terdengarlah suara panggilan “Manakah orang-orang yang suka mengampuni dosa sesama manusianya?” Datanglah kamu kepada Tuhan-mu dan terimalah pahala-pahalamu. (Dizepam) Dan menjadi hak setiap muslim jika ia memaafkan kesalahan orang lain untuk masuk surga. (HR Adh-Dhahak dari Ibnu Abbas r.a.)
Mansur bin Muhammad Al-Kuraizi berkata: “Aku akan paksakan sifat pemaaf pada diriku kepada orang-orang yang berbuat keburukan kepadaku walaupun keburukan mereka banyak kepadaku. Nalar Qur’ani memang mengajak manusia untuk selalu memaafkan orang lain, bukan memendam masalah bahkan dendam. Memaafkan orang lain akan melahirkan rasa balas jasa, karena hakikatnya memaafkan menghasilkan rasa terimakasih bagi yang melakukan kesalahan. Oleh sebab itu maka mereka akan menjadikannya berterima kasih.
Insan profetis adalah mereka yang selalu menghadirkan rasa memaafkan dalam diri mereka, dia seperti samudera yang tak akan ada najis dan kotoran yang mempengaruhi kesucian airnya, karena memang Samudera sangat luas dan dalam. Mereka mudah memaafkan dan selalu berfikir positif akan orang lain, sehingga yang ada dalam dirinya adalah kebahagiaan.
DERAJAT MAAF DAN MEMAAFKAN
Terma maaf yang yang jumlah 35 buah ada dalam al-Qur’an yang sifatnya sangat kenabian (profetis) sekali ada 3 (tiga) kondisi sulit dan masalah yang dihadapi.
Maaf atas dasar kemanusiaan.
Maaf atas dasar cinta kemanusiaan adalah pintu awal untuk hadirnya sikap sosial yang terbuka, inklusif. Pada akhirnya akan menghadirkan kerukunan cinta kemanusiaan, maka maafkanlah dan berlapang dadalah sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 109)
Ungkapan "maaf dan lapang dada atas kedengkian beda agama" mencerminkan sebuah sikap ketulusan, kebesaran jiwa, dan upaya merawat harmoni di tengah perbedaan keyakinan. Ini bisa dimaknai sebagai bentuk Pengakuan bahwa kedengkian atau prasangka bisa muncul, baik dari diri sendiri maupun orang lain, karena perbedaan agama. Niat untuk memaafkan bahwa walau ada luka atau ketersinggungan, pintu maaf tetap dibuka. Lapang dada sikap ikhlas menerima perbedaan tanpa menyimpan kebencian atau rasa dendam. Kesadaran profetis mencontohkan akhlak para nabi yang selalu sabar, memaafkan, dan merangkul meski dihina atau dimusuhi karena membawa kebenaran.
Dalam konteks sosial dan dakwah, kalimat seperti ini bisa menjadi refleksi spiritual sekaligus pesan moral, bahwa perbedaan agama bukan alasan untuk saling menyakiti, melainkan ladang untuk saling mengenal dan menebar kasih sayang.
Maaf atas pengkhianatan orang dekat.
Profetis, lapang dada, mobilitas sosial dan realitas sosial misalnya atas pengkhianatan orang dipercaya dan dekat serta urusannya banyak dibantu. Firman Allah dalam surat Nuur, 22 adalah cara terbaik menghadapinya. " dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An-Nur 24: Ayat 22)
Surat An-Nuur (24) ayat 22 adalah ayat yang sangat menyentuh hati dan relevan dengan nilai memaafkan, lapang dada, dan kasih sayang antar sesama, terutama ketika kita merasa disakiti. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat) adalah berkaitan dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bersumpah tidak akan lagi membantu Mishthah bin Utsatsah, seorang kerabatnya yang miskin dan juga termasuk Muhajirin, karena Mishthah ikut menyebarkan berita bohong (haditsul ifk) tentang Aisyah (putri Abu Bakar dan istri Nabi).
Lalu Allah menurunkan ayat ini, menegur Abu Bakar agar tidak memutus bantuan, dan menganjurkan untuk memaafkan dan berlapang dada, dengan pengingat "Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu?" Tafsir dan pesan moralnya adalah larangan dendam meskipun disakiti.
Bahkan terhadap kerabat atau orang dekat yang berbuat salah, Islam menganjurkan untuk tetap berlaku baik.
Keutamaan memaafkan. Allah mengaitkan sikap memaafkan dengan harapan agar Allah pun mengampuni kita. Ini menjadi prinsip emas dalam hubungan sosial. Menahan emosi, memberi bantuan. Orang yang memiliki kelebihan harta (kelapangan) diajak untuk tetap memberi bantuan, meskipun kepada orang yang menyakitinya. Etika sosial profetis.
Ini adalah contoh nyata dari akhlak profetis—menjadi pemaaf, pengampun, dan tidak pelit kepada sesama.
Maaf dan lapang dada untuk Produktif.
"maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. QS. Ali 'Imran,159). Ayat yang sangat dalam dan sering dijadikan landasan dalam kepemimpinan, dakwah, dan akhlak sosial. Hikmah mendalam yang terkandung dalam ayat ini adalah kelembutan rahmat Allah. Kelembutan Nabi Muhammad SAW bukan semata sifat pribadi, tapi bagian dari rahmat Allah kepada umat. Ini menandakan bahwa kelembutan adalah bagian dari sunnatullah dalam berdakwah dan memimpin.
Kekerasan hati menjauhkan orang. Jika Nabi bersikap kasar, maka sahabat pun akan pergi menjauh. Ini menjadi pelajaran bahwa keberhasilan dakwah dan kepemimpinan terletak pada akhlak, bukan sekadar kekuasaan atau kecerdasan.
Tiga sikap utama pemimpin profetis yang ekplisit dinyatakan ayat ini yakni maafkanlah mereka (فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ). Pemaaf walau mereka bersalah. Mohonkan ampun untuk mereka (وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ). Doakan kebaikan mereka, bukan dendam. Bermusyawarah dengan mereka (وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِ). Libatkan dalam keputusan, hargai pendapat umat. Tawakal setelah ikhtiar dan musyawarah. Setelah musyawarah dan tekad bulat, bertawakal kepada Allah. Ini menyeimbangkan antara ikhtiar rasional dan keyakinan spiritual.
Penerapannya adalah agar pemimpin, pendakwah, guru, orang tua, atau siapa pun yang mengemban tanggung jawab sosial, ayat ini adalah pedoman emas dalam membina hubungan dan mengelola konflik. Cocok juga dijadikan nilai dasar dalam kepemimpinan transformatif yang profetis dan inklusif.
Kesimpulan:Memaafkan bukanlah sekadar tradisi tahunan dalam momen Lebaran, melainkan merupakan ajaran luhur yang bersumber dari nilai-nilai kenabian (profetis) dan nalar Qur’ani. "Maaf" adalah ekspresi spiritual dan sosial yang berakar kuat dalam wahyu ilahi dan menjadi ciri utama insan bertakwa. Maaf profetis mengandung dimensi moral dan spiritual yang mengajak manusia untuk berpihak kepada keadilan dan kemanusiaan, Menghapus dendam dan luka batin, Membuka ruang rekonsiliasi dan produktivitas sosial.
Al-Qur’an memuat setidaknya 35 kali kata ‘afwu sebagai ajakan ilahiah untuk mengampuni dengan penuh kelapangan dada. Nabi dan para sahabat juga menjadi teladan bagaimana menghadapi kesalahan dan pengkhianatan dengan ketenangan jiwa dan keagungan akhlak.
Penulis menggarisbawahi tiga bentuk maaf dalam perspektif profetis: (1) Maaf atas dasar kemanusiaan, untuk menjaga harmoni antarumat dan merawat toleransi atas perbedaan keyakinan; (2). Maaf atas pengkhianatan orang dekat, sebagai uji keikhlasan dan kekuatan batin untuk tetap menebar kebaikan; (3). Maaf untuk produktivitas sosial, agar pemimpin dan pendakwah membangun hubungan inklusif berbasis kasih sayang, musyawarah, dan tawakal.
Akhirnya, insan profetis adalah pribadi dengan kelapangan hati seluas samudera. Ia memberi maaf dengan niat suci, tak menyimpan luka, dan tetap bersikap positif dalam setiap perjumpaan sosial. Inilah makna terdalam dari "maaf lahir dan batin" sebuah jalan menuju ketenangan jiwa, kekuatan iman, dan keridhaan Ilahi.DS. 13042025.
*Kajian HBH Masjid Darul Muttaqin Tunggul Hitam, Ahad, 13 April 2025