Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Ketika Relasi Mengalahkan Prestasi Penulis : Ririe Aiko

Beberapa hari lalu, saya menghadiri acara reuni lintas angkatan di kampus. Seperti biasa, suasana hangat itu dipenuhi tawa dan pertanyaan klasik, “Sekarang kerja di mana?” Namun dari sekian banyak percakapan yang mengalir, satu cerita justru membekas paling dalam, kisah ironi seorang teman yang dahulu dikenal sangat berprestasi.

Ia adalah mahasiswa teladan semasa kuliah. Indeks prestasi nyaris sempurna, hampir semua mata kuliah ia tutup dengan nilai A. Ia cerdas, kritis, aktif dalam organisasi, dan juga punya segudang prestasi sejak SD hingga Universitas. Kami semua sepakat, jika ada satu orang yang seharusnya sukses besar setelah lulus, maka dia-lah orangnya.

Namun takdir berkata lain. Saat reuni itu, kami mendengar bahwa ia belum juga mendapatkan pekerjaan tetap. Ia menjalani hidup dengan pekerjaan serabutan, bahkan sempat menjajakan oleh-oleh wisata demi menyambung hidup. Bukan bermaksud merendahkan profesinya, namun disini saya ingin menyoroti betapa besar jurang antara kapasitas intelektualnya dan realitas yang dihadapinya kini.

Di sisi lain, salah satu teman kami yang dulunya dikenal ‘pas-pasan’ secara akademis, kini justru bekerja di perusahaan travel internasional, sering bepergian ke luar negeri. Ketika ditanya bagaimana ia bisa sampai di titik itu, jawabannya sederhana: karena relasi.

Dari sanalah obrolan melebar, tentang betapa besarnya peran koneksi dalam dunia kerja hari ini. Beberapa teman yang kini mapan pun mengakui hal serupa: mereka bisa masuk ke posisi strategis bukan hanya karena nilai atau kemampuan teknis, tapi karena ‘kenal orang dalam’, ‘direkomendasikan saudara’, atau ‘dibantu senior’.

Ironis, memang. Namun inilah wajah realita: prestasi bukan jaminan. Sehebat apa pun Anda di atas kertas, jika tak punya akses, Anda bisa kalah start dari mereka yang punya jaringan sosial luas.

Fakta ini membuka mata, bahwa kesuksesan tidak melulu tentang seberapa pintar seseorang dalam akademik. Dunia kerja bergerak dengan logika yang berbeda, logika yang sering kali tak tertulis dalam kurikulum kampus.

Dalam kondisi tertentu, ijazah, piagam penghargaan, dan transkrip nilai bisa menjadi simbol formal semata. Yang menentukan langkah selanjutnya bisa jadi adalah sapaan ringan dalam forum alumni, rekomendasi diam-diam dari senior, atau sekadar dikenalnya nama kita dalam satu lingkaran.

Bukan berarti prestasi kehilangan makna. Namun dalam lanskap sosial hari ini, seringkali relasi yang lebih dulu membuka pintu, baru kemudian kemampuan berbicara.

Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar tidak adil. Tapi kenyataan kadang memang jarang adil. Kita selalu berpikir bahwa yang berjuang kerasa pasti akan selalu berhasil, tapi ternyata keberhasilan kadang adalah milik mereka yang punya privilege. Inilah kenyataan hidup dan kita harus memahami cara kerjanya, agar tidak terlalu banyak menelan kekecewaan, dan bisa lebih ikhlas menerima setiap takdir yang digariskan untuk kita. 

Dan satu dari cerita reuni itu semakin jelas tergambar betapa banyaknya anak bangsa berpotensi dibiarkan tanpa karier yang jelas, tumpukan ijazah dan sertifikat seakan hanya menjadi pajangan bisu yang tak menjanjikan kesusksesan.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies