![]() |
“Pantang tumbang meski badan meriang.” Ungkapan ini saya temukan di sebuah unggahan Instagram, sederhana namun menggambarkan begitu kuatnya daya tahan perempuan masa kini. Mereka yang tak lagi sekadar menjadi penjaga rumah, namun juga penyokong utama dapur keluarga. Dalam realita masyarakat Indonesia hari ini, peran perempuan telah melampaui batasan domestik dan menjadi denyut utama ekonomi rumah tangga.
Berdasarkan data terbaru dari BPS sebesar 14 persen perempuan Indonesia merupakan pencari nafkah utama dalam keluarga. Mereka bukan hanya bekerja, tapi juga menjadi penerima pendapatan terbesar dalam rumah tangga, dikenal dengan istilah female breadwinners. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang menjadi satu-satunya anggota keluarga yang bekerja, menopang kehidupan anak-anak, pasangan, bahkan orang tua.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: Mengapa semakin banyak perempuan yang beralih peran menjadi tulang punggung keluarga?
Jawabannya tentu tidak tunggal. Pertama, ada kenyataan sosial bahwa lapangan kerja formal dan informal cenderung lebih ramah terhadap perempuan. Industri jasa, ritel, pendidikan, hingga sektor digital kini membuka banyak peluang bagi perempuan, yang sering kali dianggap lebih teliti, komunikatif, dan adaptif. Sementara di sisi lain, tak sedikit laki-laki, khususnya dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, yang sulit bersaing atau menjadi pengangguran struktural karena tidak memiliki keterampilan sesuai kebutuhan industri modern.
Kedua, perubahan struktur keluarga seperti meningkatnya jumlah single parent, terutama ibu tunggal, membuat banyak perempuan tidak punya pilihan selain mengambil alih seluruh tanggung jawab ekonomi. Ketiadaan pasangan, perceraian, hingga kematian pasangan menjadi pemicu lonjakan peran perempuan sebagai penyokong finansial satu-satunya.
Ketiga, ada pula dorongan kultural baru yang muncul dari kesadaran akan kemandirian ekonomi sebagai bentuk pemberdayaan perempuan. Kartini masa kini tidak menunggu diberi, mereka mencipta peluang. Mereka bukan hanya bertahan hidup, tetapi juga meretas jalan untuk mengubah nasib generasi.
Namun, peran ini tidak datang tanpa beban. Banyak perempuan breadwinner yang harus menjalani hari dengan tubuh letih, pikiran lelah, dan emosi yang tak jarang digerus tekanan sosial. Mereka tetap memasak, mengasuh anak, sekaligus bekerja di luar rumah. Perempuan-perempuan ini tidak hanya menghadapi ganda beban, tetapi juga seringkali berjuang dalam sunyi, tanpa dukungan emosional dan pengakuan sosial yang layak.
Karenanya, sudah saatnya kita menggeser cara pandang. Menjadi perempuan yang bekerja bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal perjuangan eksistensi dan kesetaraan. Negara, masyarakat, dan keluarga perlu memberikan ruang aman, sistem pendukung, dan kebijakan yang berpihak pada mereka: mulai dari akses layanan kesehatan mental, cuti fleksibel, hingga jaminan sosial yang inklusif.
Hari ini, ketika kita memperingati semangat Kartini, mari kita renungkan kembali: Kartini tidak hanya hidup dalam sejarah, ia hadir di wajah-wajah perempuan pekerja hari ini. Mereka yang menyeka keringat tanpa mengeluh, yang memilih bertahan di tengah badai, yang tetap berjalan meski dunia tak selalu ramah.
Kartini masa kini memang tak lagi bersanggul dan berkebaya, tapi semangatnya tetap menyala, dalam seragam kerja, daster rumah, atau jas kantor. Dan mereka pantas diberi tempat terhormat dalam narasi besar bangsa ini.