![]() |
Berhias diri di pagi hari, Menuju masjid hati berseri. Idul Fitri penuh berkah Ilahi, Saatnya saling memaafkan sepenuh hati. Jalan-jalan ke pasar lama. Beli ketupat dan rendang nan lezat. Kalau ada salah selama bersama, Mari kita saling memaafkan dengan ikhlas dan semangat. Naik sepeda ke Bukit Tinggi, Melihat alam indah menawan. Kalau ada salah dari hati ini, Mohon dimaafkan dengan keikhlasan.
Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang artinya kebiasaan, adat, watak. Dalam bahasa Indonesia, “etika” adalah ilmu tentang apa yang baik dan buruk, tentang hak dan kewajiban moral manusia. Etika bersifat normatif dan filosofis, artinya dia mencoba merumuskan prinsip-prinsip umum tentang baik dan buruk. Contoh: Etika profesi, etika bisnis, etika Islam.
Etik Sering dianggap sebagai padanan dari “ethics” dalam bahasa Inggris, dan kadang digunakan sebagai bentuk ilmiahnya etika. Dalam banyak literatur, "etik" digunakan untuk menyebut kajian teoretis tentang etika, atau istilah teknis dalam filsafat. Jadi, etik itu kajiannya, etika itu nilai atau norma yang dikaji. Analogi sederhana etik itu seperti ilmu kedokteran. Etika itu seperti cara hidup sehat yang diajarkan oleh ilmu kedokteran.
Etika dan etik agar dijaga keselarannya agar nilai dan teori tidak bertentangan. Etika (praktik, norma sosial) tanpa dasar etik (kajian filosofis) bisa jadi mengikuti kebiasaan yang keliru. Sebaliknya, etik tanpa diterapkan dalam etika sehari-hari cuma jadi teori di atas kertas. Jadi, kalau tidak selaras, bisa muncul konflik antara “apa yang biasa dilakukan” dan “apa yang seharusnya dilakukan.”
Menjadi kompas moral yang konsisten. Keselarasan membuat orang punya kompas moral yang gak cuma berdasarkan kebiasaan, tapi juga berlandaskan akal sehat dan prinsip universal. Misalnya kalau dalam masyarakat biasa sogokan dianggap lumrah, etik akan bilang itu salah. Maka keselarasan ini akan dorong perubahan norma sosial ke arah yang benar.
Keselarasan kedunya akan menumbuhkan integritas pribadi dan sosial. Individu atau institusi yang selaras antara etik (nilai dasar) dan etika (perilaku nyata) akan tampil berintegritas. Tidak ada lagi istilah “double standard”—omongannya A, kelakuannya B. Lebih dari iitu etika dan etik diminta menjadi landasan bagi hukum dan kebijakan public. Etik memberi dasar filosofis bagi etika dalam hukum, profesi, dan pemerintahan. Misalnya etik keadilan sosial harus jadi dasar etika distribusi zakat yang adil dalam Perda atau kebijakan publik. Keselarasan etik dan etika sama artinya menyatukan pikiran, hati, dan tindakan dalam satu arah moral. Tanpa itu, kita bisa tersesat dalam kebiasaan atau terlalu tinggi di awang-awang teori tanpa tindakan.
MELUPAKAN DAN BERLAPANG DADA
Saat idul fitri ucapan mohon maaf lahir dan batin serta mendoakan fitrah dan sukses mudah meluncur dan bibir semua umat Islam bahkan saudara kita non muslim juga menyertainnya. Saat halal bi halal patut diingat makna dakwah apa yang mesti kita teruskan dari semangat ramadhan, fitrah dan memaafkan itu? Pertama tentu merawat fitrah jangan kotor lagi. Ibadah, tilawah, sadaqah, dan membantu adalah karakter muslim muslim taqwa.
Memastikan fitrah itu dapat dilakukan paling awal itu memaafkan sumber dosa, khususnya habluminnas. Hapus dam lupakan kesalahan siapapun, sehingga jiwa netral dan baru kembali. Maaf dan lapang dada, fa’fu wasfahu. Ada 3 ayat tentang etika maaf dan berlapang dada.
ETIKA SOSIAL, INKLUSIF DAN TOLERANS.
Al-Qur’an mengajarkan sikap prilaku (etika) tidak terjebak dalam kebencian dengan siapapun, tak terkecuali beda iman. Muslim menjadi garda terdepan dalam mempromosi kemanusiaan, HAM yang adil dan berprikemanusiaan. Artinya: "Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka setelah kebenaran jelas bagi mereka. Maka maafkanlah dan berlapang dadalah sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 109).
Perspektif Sosiologis dari ayat ini menggambarkan realitas sosial pasca-hijrah, ketika umat Islam dihadapkan pada tekanan dari kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani di Madinah) yang tidak menerima kehadiran Islam sebagai kebenaran yang baru. Dalam konteks kini, ini mencerminkan dinamika hubungan antar-agama dan potensi konflik akibat fanatisme serta ketidaksiapan menerima perubahan.
Hasad (Dengki) sebagai problem psikologis dan sosial, Allah menyebut "ḥasadan min ‘indi anfusihim" dengki yang datang dari dalam diri mereka. Ini menunjukkan bahwa permusuhan bukanlah karena kekurangan bukti, tetapi karena penyakit hati. Dalam konteks modern, ini mengingatkan kita bahwa banyak konflik ideologi atau agama seringkali bukan karena kurangnya pengetahuan, melainkan karena ego, iri, atau kepentingan pribadi.
Pemaafan dan kesabaran, alih-alih membalas atau berkonflik secara frontal, Allah memerintahkan: "fa‘fū waṣfaḥū" maafkan dan bersikaplah lapang dada. Ini mencerminkan prinsip etika sosial Islam yang sangat relevan di era globalisasi dan multikulturalisme, yaitu meredam konflik melalui kesabaran dan pengendalian diri sambil tetap menjaga identitas.
Keseimbangan antara toleransi dan kesiapsiagaan. Perintah memaafkan bersifat temporer: “ḥattā ya’tiyallāhu bi-amrih” sampai datang keputusan Allah. Ini menunjukkan bahwa Islam bukan pasif atau kompromis terhadap penindasan, tapi menyerukan toleransi strategis hingga saat yang tepat untuk bertindak dengan bijak.
Konteks Dakwah global, dalam dunia sekarang, ayat ini juga bisa dibaca sebagai peringatan bagi umat Islam agar tidak mudah terprovokasi oleh propaganda atau upaya pembelokan identitas keagamaan, dan tetap mengedepankan sikap inklusif dan argumentatif dalam dakwah.
SOFT LEADERSHIP
Maaf dan berlapang dada terhadap siapapun, jangan ghaliz, kasar dan orang yang berbeda agama, paham dan pencirian lainnya, lakukan pendekatan dakwah kerukunan berbasis kemanusiaan. Tafsir kontemporer Surah Ali ‘Imran ayat 159...Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.
Tafsir kontemporer dan relevansi masa kini adalah meliputi etika menjadi pemimpin.
Kepemimpinan Berbasis Empati dan Kasih Sayang. Ayat ini menekankan pentingnya soft leadership—kepemimpinan yang penuh empati. Nabi Muhammad, sebagai pemimpin, diberi pujian karena kelembutannya dalam berinteraksi. Dalam konteks saat ini, ayat ini sangat relevan untuk para pemimpin lembaga, negara, atau organisasi yang ingin membangun solidaritas melalui pendekatan humanis, bukan kekerasan.
Bahaya Kekerasan Verbal dan Otoritarianisme. "Lau kunta faẓẓan ghalīẓal-qalbi..." memberi pesan tegas: keras dalam perkataan dan kasar hati akan membuat orang menjauh. Di era digital, ini bisa berarti pentingnya komunikasi yang santun, khususnya di media sosial dan ruang publik. Pemimpin atau tokoh yang kasar sering kehilangan legitimasi.
Tiga Pilar Sosial: Maaf, Doa, dan Musyawarah. Maafkanlah mereka, mengajarkan pemaafan sosial sebagai landasan rekonsiliasi. Mohonkan ampun untuk mereka, bukan hanya memaafkan, tapi turut mendoakan. Bermusyawarahlah, mengedepankan partisipasi, bukan diktatorisme. Ini adalah dasar demokrasi dalam Islam.
Etika Pengambilan Keputusan. "Fa-idzā ‘azamta..." – setelah proses konsultasi, keputusan harus diambil dengan tegas dan dilanjutkan dengan tawakkal. Ini menunjukkan keseimbangan antara rasionalitas (musyawarah) dan spiritualitas (tawakal).
Relevansi dalam Pendidikan dan Dakwah. Dalam dunia pendidikan atau dakwah, ayat ini menegaskan bahwa metode yang lembut dan partisipatif lebih efektif daripada yang otoriter dan memaksa. Guru, da’i, atau ustaz perlu meneladani metode Nabi yang penuh kasih, bukan mencaci atau menyalahkan.
3. MAAF KEKUATAN MORAL TERTINGGI
Memaafkan dan berlapang dada terhadap orang dalam yang tidak loyal atau menciderai pimpinannya patut diingatkan surat Nuur ayat 22 ini. "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberikan (bantuan) kepada kaum kerabat, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Tidakkah kamu ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Ayat ini turun setelah peristiwa Haditsul Ifk (fitnah terhadap Aisyah). Di antara yang terlibat menyebarkan fitnah adalah Mistah bin Utsatsah, kerabat Abu Bakar ash-Shiddiq. Abu Bakar, yang biasa memberi nafkah kepada Mistah, marah dan bersumpah untuk tidak lagi membantunya. Lalu turunlah ayat ini, memerintahkan Abu Bakar untuk memaafkan dan tetap berbuat baik.
Tafsir kontemporer dan relevansi masa kini bahwa memaafkan dalam relasi sosial yang rumit adalah fakta mulianya akhlak muslim. Ayat ini memberi pesan kuat bahwa maaf adalah bentuk tertinggi dari kekuatan moral. Dalam dunia modern yang penuh konflik relasi — antar keluarga, komunitas, atau organisasi — ayat ini mengajarkan bahwa integritas spiritual lebih tinggi daripada dendam pribadi.
Jangan Hentikan Kebaikan karena Sakit Hati. Kadang kita tergoda untuk menghentikan bantuan kepada orang yang menyakiti kita, padahal sebelumnya mereka kita bantu. Ayat ini melawan reaksi emosional semacam itu dan mengajak tetap istiqamah dalam kebaikan, bahkan saat diuji oleh pengkhianatan atau kesalahan orang lain. Standar Maaf: Seperti Engkau Ingin Diampuni Allah."Tidakkah kamu ingin Allah mengampunimu?". Ini standar emas dalam Islam: memperlakukan orang lain seperti kamu ingin diperlakukan oleh Allah. Dalam era penuh ketegangan sosial, ini adalah fondasi untuk membangun budaya memaafkan dan rekonsiliasi.
Etika Sosial Para Elit dan Orang Mampu. Ayat ini khusus menyapa "ulul faḍli was-sa‘ah" artinya orang-orang yang punya kelebihan harta atau kedudukan. Mereka diberi tanggung jawab moral lebih besar untuk tidak emosional dalam memberi bantuan. Relevan bagi pemilik kekuasaan, donatur, atau tokoh publik agar tidak bertindak impulsif atau mempolitisasi kebaikan.
Maaf sebagai Kekuatan Sosial dan Spiritualitas. Ayat ini menjadikan pemaafan bukan sebagai kelemahan, tapi tanda kematangan spiritual. Dalam konteks resolusi konflik, ini menjadi fondasi penting bagi dialog dan perdamaian, baik di tingkat individu, komunitas, bahkan antarnegara.
ANALISA EDUKASI:
a. Nilai Pendidikan Akhlak , menanamkan nilai-nilai pemaafan, kesabaran, dan lapang dada sebagai inti ajaran Islam yang harus terus dipupuk pasca-Ramadhan, terutama dalam momen Idul Fitri dan Halal bi Halal. Ia menyajikan pemaafan bukan hanya sebagai ajaran moral, tapi juga sebagai manifestasi ketakwaan dan kematangan spiritual.
b. Pendekatan Kontekstual terhadap Al-Qur’an: menggunakan tafsir kontemporer untuk menafsirkan tiga ayat (QS. Al-Baqarah: 109, QS. Ali Imran: 159, QS. An-Nur: 22) yang menunjukkan bagaimana nilai-nilai ini relevan dengan tantangan modern: seperti pluralitas agama, konflik sosial, dan dinamika kepemimpinan.
c. Integrasi Nilai Sosial dan Dakwah: Artikel ini menekankan bahwa dakwah dan kepemimpinan tidak cukup dengan pengetahuan dan strategi, tapi juga harus dilandasi oleh etika sosial dan empati. Pemaafan terhadap pengkhianat internal pun dikaitkan dengan kepedulian dan kontinuitas kebaikan sosial.
d. Kematangan Spiritual bahwa maaf sebagai bentuk tertinggi dari akhlak: Memilih memaafkan, terutama saat kita mampu membalas, adalah tanda jiwa yang matang dan dewasa secara spiritual. Ini bukan kelemahan, tapi kekuatan yang berakar pada pengendalian diri dan kesadaran akan ampunan Allah. Istiqamah dalam Kebaikan: Memaafkan tidak hanya berarti memaafkan secara lisan, tapi juga tetap melanjutkan kebaikan terhadap orang yang pernah menyakiti kita. Ini adalah bentuk istiqamah yang lahir dari keikhlasan, bukan emosi.
e. Kepemimpinan Berbasis Rahmat: Nabi sebagai teladan bersikap lembut, tidak kasar, dan menjadikan maaf serta musyawarah sebagai fondasi kepemimpinan. Spirit ini ditekankan sebagai model kepemimpinan ideal di era modern, baik dalam dakwah maupun organisasi.
Simpulannya bahwa tulisan ini adalah refleksi mendalam tentang pentingnya maaf, lapang dada, dan kematangan spiritual sebagai warisan utama dari Ramadhan dan Idul Fitri. Ia mengajak pembaca, terutama kaum intelektual dan pemimpin umat, untuk menjadikan pemaafan sebagai strategi sosial dan spiritual, bukan sekadar respons emosional. Maaf bukan sekadar kata, tapi jalan menuju kedamaian batin, soliditas sosial, dan kedekatan dengan Allah. Ingin diampuni? Belajarlah memaafkan. Mohon maaf lahir dan batin, minal alidzin wal faizin, amin. Silaturahmi Civitas Akademika FTK UIN Imam Bonjol, Rabu, 09 April 2025 dan STIT Syekh Burhanuddin Pariaman.
*Guru Besar UIN Imam Bonjol