![]() |
(Puisi esai ini dibacakan pada acara Hang Out Kebhinnekaan-Generasi Literat, di Rumah Eden, Minggu 20 April 2025)
Ia lahir dari doa seorang ibu yang mendengar Jibril di tengah beton Jakarta,
mengirim wahyu ke ruang tamu,
bukan gua Hira.
Dialah Lia Eden.
Ia menabur kata-kata seperti benih cahaya: tentang kasih universal, tentang Tuhan tanpa sekat.
Tapi cahaya itu dianggap api.
Dan api, di negeri yang takut pada yang berbeda,
sering dipadamkan sebelum sempat menjadi hangat.
Di bawah langit sore,
Lia menatap burung merpati di balkon rumah kecilnya.
"Jika suara Jibril hanya bisa diterima lewat tanah Arab, apakah Tuhan sudah menetapkan syarat kewarganegaraan untuk wahyu?"
Mereka bilang itu sesat.
Lalu rumah ibadah itu dirubuhkan,
jemaatnya dicibir, disingkirkan.
Pengikut Eden kehilangan KTP karena negara tak tahu nama Tuhan mereka.
Mereka tak bisa menikah,
tak bisa sekolah,
tak bisa dimakamkan seperti manusia lainnya.
Di mata hukum, mereka abu-abu.
Di mata masyarakat, mereka adalah noda.
Lia Eden masuk penjara dua kali (1) ,
bukan karena menghasut benci,
tapi karena terlalu percaya bahwa cinta Tuhan bisa melampaui pagar agama.
"Negara ini punya enam agama resmi. Agama Anda tak termasuk di dalamnya ," kata seorang pejabat berbalut jas hitam."
Lia Eden menatapnya tenang,
Ia tunjukkan kasihnya, seperti ajaran yang dibawanya.
"Apa Tuhan Anda juga membatasi enam nama itu saja? Apa kasih-Nya berhenti pada formulir administrasi?" Jawab Lia. Salinan wahyu di dadanya digenggamnya, seolah itu surat cinta yang tak pernah sampai.
Dan kita, yang merasa benar, membiarkan tumbuhnya "tuhan-tuhan kecil".
Kita tutup telinga saat mereka bicara damai.
Kita menertawakan jubah putih mereka,
Tangan kita ikut melukai dan membakar hati mereka,
Lalu kita berkata Indonesia ini toleran?
Kita lupa bahwa hak percaya adalah hak hidup.
Dan iman adalah nyanyian jiwa yang tak seharusnya dibungkam, hanya karena nadanya tak kita pahami.
"Apa salahku jika aku melihat Tuhan dalam semua warna?
Apa artinya mencintai Tuhan, jika membenci ciptaan-Nya?" Lia Eden membatin di depan cermin yang mulai retak, seperti hatinya.
Tapi tak ada jawaban,
Hanya sunyi yang jadi saksi.
***
Wahai para pemuda,
Kalian yang tumbuh dalam cahaya layar dan suara dari seluruh dunia,
jadilah penyampai pesan cinta: bahwa keberagaman bukan ancaman, tapi anugerah.
Indonesia ini bukan monolog satu keyakinan,
tapi paduan suara jutaan iman, harapan, dan cara mencinta Tuhan.
Belajarlah dari Eden,
bukan untuk menjadi seperti mereka,
tapi untuk tak lagi membiarkan siapa pun kehilangan haknya karena keyakinannya.
Sebab, jika taman cinta itu dibiarkan mati,
kita butuh ratusan tahun untuk menanam kembali pohon-pohon perdamaian itu.
CATATAN
Puisi esai ini ditulis dengan bantuan AI
(1) https://news.detik.com/berita/d-5528216/lia-eden-dan-jejak-kontroversialnya