Type Here to Get Search Results !

Api Itu Menyatukan Kita Oleh Denny JA

Menyambut Workshop Esoterika Fellowship, yang Diikuti 9 Kampus, April 2025


(Kebakaran besar di Los Angeles, Januari 2025, melahap banyak rumah ibadah. Sebuah gereja Methodis yang masih utuh membuka pintunya bagi umat Islam dan Yahudi.) (1)


-000-


Januari 2025.

Langit Los Angeles

memerah sebelum fajar.

Bukan karena matahari.

Tapi karena api

yang turun seperti murka

tanpa firman,

tanpa nubuah,

tanpa wahyu.


Asap mengepul

seperti doa-doa yang tak sempat dipanjatkan.

Lidah-lidah api melahap

salib, menorah, dan sajadah.

Bukan memilih,

hanya menghanguskan.

Seolah berkata:

“Kalian yang membangun dinding,

aku menghapus batas.”


Fatimah berlari,

dua anak dalam peluknya.

Di belakangnya, mushola kecil

yang selama ini menjadi pelipur rindu

pada Mekkah,

menjadi arang yang tak lagi bernyawa.


“Ya Rahman,” bisiknya,

“Engkau Maha Kasih…

Mengapa rumah-Mu dibiarkan terbakar?”


Tiga blok darinya,

Rabbi Cohen memeluk debu Taurat.

Sinagoganya ambruk seperti Babel,

dan ia berdiri sendiri,

seperti nenek moyangnya yang terusir.


Ia bertanya:

“Di mana Tuhan saat bait-Nya runtuh?

Di mana Tuhan saat Musa tak bisa menyelamatkan padang gurun ini?”


Sementara di ujung jalan,

Pendeta Mary memandang gerejanya—

gereja tua itu berdiri tegak,

tapi hampa.

Tak ada lonceng.

Hanya gema luka.


Ia berseru:

“Jika Yesus pernah memikul salib,

maka hari ini kami memikul reruntuhan.”


-000-


Di tengah abu, 

sebatang anggrek liar tumbuh,

akarnya merangkul puing gereja, kelopaknya menadah air wudhu, serbuk sarinya terbang ke bekas mihrab yang retak.


Bunga itu tak bernama dalam bahasa apapun, tapi mekar dengan diam:


"Lihatlah,

kehancuran adalah tanah.

Kita menanam kembali benih yang tak dikenal oleh nenek moyang kita."


Hari Jumat datang,

tapi gereja itu tak lagi milik sendiri.

Karpetnya disentuh dahi

umat Islam yang bersujud,

dalam sholat Jumat.


Langit-langitnya bergema

oleh ayat-ayat yang turun di Gua Hira.


“Allahu Akbar,”

menggema pelan,

di tengah salib dan jendela kaca patri.


Hari Sabtu datang,

dan Taurat dibaca lagi—

bukan di bait suci Yerusalem,

tapi di ruang doa Kristen,

oleh umat Yahudi

yang menghidupkan kembali Sabat hari Sabtu,

dari bara dan abu.


Dan Minggu pun kembali,

dengan kidung dan lonceng,

mengajak spirit Yesus

masuk ke dalam ruang

yang sehari sebelumnya

diberkahi oleh Nabi Muhammad dan Nabi Musa.


Satu ruang,

tiga hari,

tiga nama suci,

satu keheningan baru.


-000-


Fatimah, Cohen, dan Mary

berdiri berdampingan

di altar yang kini tak mengenal satu Tuhan saja.

Mereka tak membawa doktrin,

mereka membawa luka.


Dan dari luka itu,

lahir sesuatu

yang tak bisa ditulis oleh tinta kitab,

hanya bisa dirasakan di dada:


rahmah, hesed, agape.

(Tiga bahasa, satu makna:

Kasih yang melampaui keyakinan.)


-000-


Di ruang anak-anak,

Adam, bocah Muslim,

menggambar pohon kurma.

Di sebelahnya Ruth,

anak Yahudi,

menggambar ranting zaitun.


Mereka bertukar krayon.

Kemudian Mary kecil,

putri sang pendeta,

menggambar salib dan bulan sabit

di bawah bintang Daud.


“Ini rumah Tuhan,”

kata Ruth.

“Rumah semua orang yang baik.”


Mary tersenyum,

“Dan rumah ini tak bisa dibakar,

karena dibangun dari pelukan.”


-000-


Sore itu, di halaman gereja,

mereka menanam tiga pohon:

kurma dari Tanah Hijaz,

zaitun dari Yerusalem,

anggur dari Galilea.


Mary berkata:

“Dalam Yohanes, tertulis:

Kasihilah sesamamu

seperti Aku mengasihi kamu.”


Cohen mengangguk:

“Dalam Talmud,

orang benar adalah

yang menjaga sesama

meski tak seiman.”


Fatimah menambahkan:

“Dalam Al-Qur’an,

Tuhan menciptakan kita bersuku-suku,

agar kita saling mengenal—

bukan saling menuduh.”


-000-


Mereka duduk bertiga,

dalam diam yang suci.

Seseorang mulai menyanyi.

Bukan kidung gereja,

bukan nyanyian sinagog,

bukan qasidah.


Tapi lagu baru,

tanpa bahasa,

tanpa ajaran,

hanya irama hati

yang tahu bahwa

di balik semua nama suci itu,

Tuhan yang sama sedang tersenyum.


-000-


Di batu kecil,

dekat ketiga pohon itu,

anak-anak mengukir kalimat bersama:


“Dulu api memisahkan kita.

Kini api yang sama

menyatukan kita dalam cinta.”


Jakarta – 21 April 2025

CATATAN

1) Kisah Gereja Methodist yang menjadi tempat ibadah sementara bagi penganut Islam dan Yahudi, setelah kebakaran besar di LA, Amerika Serikat.

https://www.theguardian.com/us-news/2025/mar/25/la-wildfires-methodist-muslim-jewish-congregations?utm_source=chatgpt.com

-000-

Puisi esai dan ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/1Dzz3AXaFL/?mibextid=wwXIfr

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.