![]() |
Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (PP GP Ansor), H. Addin Jauharudin, melakukan ziarah ke makam KH Slamet Effendi Yusuf, Ketua Umum GP Ansor periode 1985–1995, di Pondok Pesantren Modern Azhary, Banyumas, Kamis pagi (24/4).
Kegiatan tersebut menjadi bagian dari upaya mengenang jasa para pendahulu sekaligus meminta restu kelancaran Harlah ke-91 dan mempererat silaturahmi antarkader di daerah.
KH Slamet Effendi Yusuf dikenal sebagai tokoh penting dalam sejarah GP Ansor dan Nahdlatul Ulama.
Selain pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP GP Ansor, ia juga pernah menjadi Ketua PBNU, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Komitmennya terhadap masyarakat, pendidikan pesantren, dan penguatan kaderisasi menjadikannya panutan lintas generasi di lingkungan Nahdliyin.
Ibu Hj Siti Aniroh istri almarhum KH Slamet Effendi Yusuf memberi nasihat dengan mengenang pesan suaminya bahwa masa depan ditentukan oleh gerak pemuda.
"Saya selalu ingat apa yang beliau (Pak Slamet) sampaikan bahwa _inna fii yadi syabbani amral ummah wa fii aqdaamiha hayataha_ di tangan para pemudalah urusan umat berada. Masa depan umat tergantung dari langkah dan gerak pemudanya," tukas Bu Aniroh.
Dalam kesempatan itu, Ketum Addin menegaskan pentingnya menjaga kesinambungan perjuangan organisasi.
“Tidak ada GP Ansor hari ini tanpa perjuangan tokoh-tokoh pendahulu. Sistem yang baik dan militansi kuat yang dimiliki Ansor saat ini adalah hasil dari pondasi yang mereka bangun,” ujarnya.
Ketum Addin juga mendorong kader Ansor-Banser untuk mengambil peran lebih besar dalam penguatan sektor pendidikan dan ketahanan pangan di daerah. Ia menekankan pentingnya kontribusi langsung terhadap lembaga pendidikan dan pemberdayaan masyarakat desa.
“Mari kita maksimalkan potensi desa baik pertanian, peternakan, maupun perkebunan agar kesejahteraan masyarakat desa meningkat dan kesenjangan antara desa dengan kota bisa dikurangi,” kata Ketum Addin.
Ketum Addin memaknai ziarah tersebut sebagai bentuk kedekatan dengan masyarakat. Di samping kuliner lokal seperti mendoan dan cimplung menjadi simbol keterikatan emosional dengan kultur Banyumas.
“Dengan makan makanan lokal, maka jiwa saya benar-benar menyatu dengan masyarakat Banyumas,” tandasnya.
Kontributor : Tata Handika