![]() |
(Puisi ini dibacakan pada Acara "Hangout Kebhinnekaan" Generasi Literat, di Komunitas Syiah, Islamic Cultural Center, 15 Maret 2025)
***
Pernahkah kamu mendengar alunan musik? Nada-nada berbeda, namun tetap selaras. Seperti doa-doa yang naik ke langit,
dari lidah yang beragam,
dengan cinta yang tak terbatas.
Lihatlah Gereja, Masjid, Wihara, Pura, Gurdwara,
bukan dinding yang memisahkan kita,
tapi ruang-ruang tempat jiwa bersujud, mencari cahaya di jalan yang berbeda.
Di tanganku ada tasbih,
di tanganmu ada rosario,
di hatinya terukir mantra,
di jiwanya terlantun puja,
Namun bukankah semua tangan terangkat ke atas, memohon kasih pada sumber yang sama?
Di Kitab suci, Tuhan berfirman:
"Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal." (QS Al-Hujurat: 13)
Tapi mengapa masih ada yang takut pada perbedaan?
Mengapa doa harus ditakar dengan kitab siapa?
Mengapa iman diukur dengan bahasa yang digunakan?
Seolah Tuhan hanya memahami satu suara.
Tuhan tak pernah meminta kita seragam, seperti senja yang tak memilih satu warna,
Ia indah justru karena jingga, merah, dan emas, berpadu dalam satu kanvas cahaya.
Tapi mengapa kita memilih saling menghabisi?
Mengapa nama Tuhan diseret ke dalam amarah?
Mengapa iman dijadikan pedang yang menusuk karena berbeda?
Mereka yang berteriak paling suci,
kadang lupa bagaimana mencintai.
Mereka sibuk menghakimi jalan orang lain, tapi tak bertanya, apakah langkahnya sudah lurus?
Padahal di dalam sunyi,
di ruang paling hening,
tak ada suara yang lebih nyaring dari kasih, Tak ada doa yang lebih mulia dari ketulusan, tak ada iman yang lebih suci dari cinta.
Jika bumi ini adalah panggung,
maka perbedaan adalah nada dalam simfoni-Nya,
bukan untuk saling mengalahkan,
bukan untuk menemukan pemenang,
tapi untuk saling melengkapi,
menjadi harmoni yang Indah,
yang bisa dinikmati semua penghuni semesta.
Depok, 15 Maret 2025
*Puisi dibuat dengan bantuan AI