![]() |
#30Harimenulispuisiesai
Puisi Esai 16
(Puisi Esai ini didramatisasi dari kejadian banjir bandang yang melanda Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Bencana ini mengakibatkan korban jiwa, termasuk seorang ibu dan anak yang ditemukan tewas berpelukan.)
Siti menatap sungai di hadapannya,
airnya mengalir seperti waktu yang tak bisa ia genggam.
Di bantaran ini, rumahnya berdiri,
bukan karena ia tak peduli pada bahaya,
tapi karena di kota yang menjulang tinggi,
harga tanah lebih mahal dari nyawanya sendiri.
Di dalam rumah kayu berukuran tiga kali empat,
tinggal tiga jiwa disana,
sesak bukan hanya di ruang sempit,
tapi juga di dada yang kian terhimpit.
Mereka pun ingin, seperti yang lain,
tinggal di rumah yang tak perlu takut diterjang air,
tak perlu khawatir, setiap kali hujan turun
membawa kabar tentang hanyutnya kehidupan.
Tapi, tanah luas ciptaan Tuhan itu,
telah dipagari tangan-tangan rakus.
Mereka punya rumah dua, tiga, empat,
bahkan ada yang berdiri kosong tanpa penghuni,
sementara Siti dan keluarganya,
hanya bisa mendekap dingin di bilik sungai yang keruh.
---ooo---
Hari itu hujan turun tanpa ampun,
angin menampar dinding kayu rumahnya,
sungai mengamuk, arusnya menggeram.
Siti berlari, menggenggam tangan anaknya,
"Bangun, Nak! Air datang!"
Di luar, suara jerit membelah malam,
orang-orang berlarian mencari tempat lebih tinggi,
mencoba melawan nasib yang terlalu sering tak berpihak.
Ia ingin berteriak,
menuntut keadilan pada mereka yang tinggal di bangunan megah,
tapi suaranya tenggelam dalam derasnya arus.
Ia ingin bertanya,
mengapa mereka yang bekerja keras tetap tak bisa punya rumah layak?
Mengapa mereka yang berleha di meja tahta, justru semakin mudah menumpuk harta?
Tapi pertanyaan-pertanyaan itu
hanya bergema di kepalanya,
tak ada yang peduli pada jeritan seorang perempuan miskin
yang rumahnya kini telah hanyut entah ke mana.
Siti bukan pemalas,
setiap pagi ia bangun lebih awal,
menyapu halaman rumah orang-orang kaya,
mengepel lantai yang tak pernah diinjak lumpur.
Suaminya bukan pencuri,
ia bekerja sebagai buruh bangunan,
membangun gedung-gedung tinggi
yang tak akan pernah bisa ia tinggali.
Tapi apa daya?
Tuhan memberinya jalan berbeda,
jalan yang penuh air mata,
di mana sungai bukan lagi sumber kehidupan,
tapi ancaman yang siap menelan harapannya kapan saja.
Beberapa hari kemudian berita itu datang,
seorang ibu dan anaknya,
ditemukan tewas berpelukan,
terseret arus banjir di Sukabumi.
Santi dan Nurul, nama mereka,
menjadi simbol pilu
dari ketidakadilan bumi yang membisu.
Santi, seperti Siti,
tinggal di bantaran sungai,
bukan karena ingin menantang maut,
tapi karena tak punya pilihan lain.
Ketika air naik dan rumah roboh,
Santi memeluk Nurul erat-erat,
seolah ingin melindungi dari dunia yang kejam,
namun arus tak mengenal kasih sayang,
mereka ditemukan tak bernyawa,
dalam pelukan berselimut lumpur.
Kisah Santi dan Nurul menyebar cepat,
menjadi berita yang dibaca sambil lalu,
lalu perlahan dilupakan.
Tapi bagi Siti,
itu adalah cermin dari ketakutannya sendiri,
Terbayangkan namanya suatu saat muncul dalam berita yang sama,
bayangan suram itu terus menghantuinya di musim hujan,
Lalu ia memandang anaknya yang tertidur lelap,
dan bertanya dalam hati,
Tuhan, kapan kami punya rumah tanpa rasa takut maut menerjang tiba-tiba?
---ooo---
CATATAN:
(1)https://m.kumparan.com/kumparannews/kisah-pilu-korban-banjir-bandang-sukabumi-ibu-and-anak-ditemukan-tewas-berpelukan-24eV4inTnOT