Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Epistemologi Sastra oleh ReO Fiksiwan

“Sastra merupakan kebijaksanaan tertinggi.” — Goethe(1749-1832), Percakapan dengan Eckermann.

Awal dan masa depan umat manusia sangat ditentukan oleh perkembangan kognitif melalui sastra. Sastra yang dimaksud, tentu saja bersumber dari teks-teks yang dilisankan maupun diteroka sebagai hieliografi atau huruf paku(cuneiform) di papirus dan di dinding-dinding goa.

Karena itu, sistem pengetahuan asal dan dasar homo sapiens tak lain merupakan resepsi atas pesebaran teks-teks sebagai muasal dasar pengetahuan(epistem).

Dengan kata lain, sastra merupakan bidang penelitian yang membahas pertanyaan tentang bagaimana sastra menyampaikan pengetahuan dan wawasan. Ia mengkaji bagaimana teks sastra membentuk persepsi kita tentang realitas, identitas dan pengetahuan.

Tak hanya sekedar sarana hiburan — Homerus pada abad-8 SM telah mengekalkan fungsi sastra sebagai “dulce et utile” — tapi juga fasilitas untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan wawasan. Dengan menggambarkan karakter, peristiwa dan dunia, teks sastra dapat memperluas persepsi kita tentang realitas dan mengubah perspektif kita terhadap dunia itu sendiri.

Teks sastra menyampaikan pengetahuan dengan berbagai cara, khususnya melalui penyampaian cerita. Dengan menggambarkan karakter dan peristiwa, teks sastra dapat memperluas persepsi kita tentang realitas dan mengubah perspektif kita terhadap dunia.

Selain itu, sastra bisa jadi penyokong dalam membentuk identitas kita dengan memengaruhi persepsi kita tentang diri kita sendiri dan tempat kita di dunia. Dengan mengidentifikasi karakter sastra, kita dapat lebih memahami pengalaman dan emosi kita sendiri.

Demikian pula, sastra dapat merangsang refleksi kritis terhadap persepsi kita terhadap realitas. Dengan menghadirkan dunia dan perspektif alternatif, teks sastra dapat menantang asumsi kita tentang dunia.

Ada berbagai teori epistemologis yang menjawab pertanyaan tentang bagaimana sastra menyampaikan pengetahuan atas pengetahuan itu sendiri yang dibentuk melalui teks(literacy). Beberapa teori utama epistemologi sastra bisa dikemukakan berikut ini:

Lingkaran hermeneutik merupakan model yang menggambarkan hubungan antara teks dan pembaca. Dinyatakan bahwa pembaca menafsirkan teks dengan membawa pengalaman dan asumsi mereka sendiri.

Lingkaran hermeneutika mutakhir — dengan fondasi tradisionalnya lewat Scheiermacher dan Dilthey pada tafsir(exegeese) kitab Injil — merupakan konsep tafsir(hermes) yang dikembangkan oleh filsuf sastra Jerman, Hans Georg Gadamer (1900-2002). Gadamer dianggap sebagai salah satu pakar garda depan teori hermeneutika mutakhir di abad-20.

Dalam magnum opusnya, “Wahrheit und Methode (1960), Gadamer menggambarkan lingkaran hermeneutika sebagai kritik terhadap hermeneutika tradisional yang hanya fokus pada tafsir teks dan penemuan makna aslinya. Ia berpandangan bahwa hermeneutika tradisional tidak lagi cukup untuk menangkap kompleksitas teks modern dan keragaman penafsiran.

Gadamer malah mengusulkan suatu bentuk hermeneutika baru, yang disebutnya “hermeneutika filosofis”. Hermeneutika baru ini tidak lagi fokus pada pencarian makna asali, melainkan menangkap makna suatu teks dalam konteks penerimaan dan penafsirannya.

Teori Gadamer tentang krisis hermeneutika dan bentuk baru hermeneutika filosofisnya mempunyai pengaruh besar terhadap studi sastra, filsafat, dan studi budaya.

Ahli teori penting lainnya yang membahas lingkaran hermeneutika adalah filsuf Perancis Jacques Derrida (1930-2004). Derrida mengkritik pendekatan Gadamer, dengan alasan bahwa hermeneutika tidak lagi dapat dipahami sebagai pencarian makna asli, melainkan sebagai dekonstruksi teks dan maknanya.

Estetika resepsi adalah teori yang membahas pertanyaan tentang bagaimana pembaca menerima teks. Artinya pembaca menafsirkan teks dengan membawa pengalaman dan asumsinya sendiri. 

Estetika resepsi merupakan gerakan teori sastra yang muncul di Jerman pada tahun 1960an dan 1970an. Pencetus estetika resepsi, tak lain ahli filsafat sastra asal Jerman, Hans Robert Jauss (1921-1997).

Jauss mengembangkan estetika resepsi sebagai reaksi terhadap studi sastra tradisional, yang berfokus terutama pada analisis teks dan pengarang. Perspektifnya bahwa makna suatu teks tidak hanya ditentukan oleh penulis atau teks itu sendiri, tetapi juga oleh pembaca dan konteks sejarah dan budaya di mana teks tersebut diterima.

Karya utama Jauss, "Literaturgeschichte als Provokatiob"(1970), dianggap sebagai dokumen pencetus gagasan estetika resepsi. Melalui karyanya ini, Jauss mengembangkan teori resepsi dan berpandangan bahwa sejarah sastra harus dipahami tidak hanya sebagai sejarah teks dan pengarang. Tapi, juga sebagai sejarah pembaca dan penerimaan(resepsi) mereka terhadap teks.

Estetika resepsi mempunyai pengaruh besar pada studi sastra dan studi budaya dan masih digunakan sampai sekarang di banyak bidang humaniora.

Pendekatan poststrukturalis merupakan teori yang menjawab pertanyaan bagaimana teks mengkonstruksi realitas. Artinya, teks tidak menggambarkan realitas, melainkan mengkonstruksikannya.

Poststrukturalisme, selain itu, gerakan teori filosofis sastra yang muncul di Perancis pada tahun 1960an dan 1970an. Ada beberapa pemikir yang punya andil dalam berkembangnya teori poststrukturalisme. Di antara mereka yang utama ihwal pasca-strukturalisme:

Jacques Derrida(1930-2004). Ia salah satu pentolan terpenting pasca-strukturalisme. Ia mengembangkan teori dekonstruksi, yang berkaitan dengan analisis teks dan pengungkapan struktur kekuasaan.

Michel Foucault(1926-1984). Filsuf dan sosiolog Perancis ini menganalisis struktur kekuasaan, sejarah kebenaran dan sejarah seksualitas. Karya-karya seminalnya seperti “Sejarah Seksualitas” dan “Lahirnya Klinik”, memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan post-strukturalisme.

Roland Barthes(1915-1980). Ia seorang filsuf Perancis yang menjadi pengemuka dalam kajian semiotika dan strukturalisme. Karyanya seperti Mithologies dan Elemen-Elemen Semiologi punya peran dab pengaruh besar pada perkembangan post-strukturalisme.

Gilles Deleuze(1925-1995). Sebetulnya, Deleuze filsuf Perancis dan sejawatnya, Felix Guattari penggagas teori perbedaan dan pengulangan. Karya mereka seperti Anti-Oedipus: Capitalism abd Schizophrenia dan What is Philosopy besar pengaruhnya pada perkembangan post-strukturalisme.

Terakhir,Jean-François Lyotard(1924-1998). Ia pencetus teori postmodernisme dan dekonstruksi. Post-strukturalisme sebagai pemutakhiran filsafat posmodernisme terkandung dalam karyanya, The Postmodern Condition(1979). 

Para pemikir ini semuanya memberikan kontribusinya dengan caranya masing-masing terhadap perkembangan teori poststrukturalisme. Mereka mempertanyakan gagasan tradisional tentang kebenaran, kekuasaan dan identitas serta membuka jalan baru untuk menganalisis teks dan realitas. Atau, dikenal sebagai peruntuh teori-teori akbar(grand narratives).

Akhirnya, epistemologi sastra adalah bidang penelitian yang kompleks dan berlapis-lapis yang membahas pertanyaan tentang bagaimana sastra menyampaikan pengetahuan dan wawasan.  

Dengan mengkaji teks sastra dan dampaknya terhadap pembaca, kita dapat memperluas persepsi kita tentang realitas, identitas dan pengetahuan serta mengubah perspektif kita terhadap dunia(Said, 1983).

 #Bibliografi:

- Fish, S. (1980). Is There a Text in This Class?

Harvard University Press.

- Gadamer, H.-G. (1975). Wahrheit und Methode.

Mohr Siebeck.

- Derrida, J. (1967). De la grammatologie. Editions

de Minuit.

- Said, Edward, W. (1983). The World, the Text, and the Critic. Cambridge, Massachussets, Harvard University Press.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies