![]() |
(Puisi esai ini merupakan refleksi penulis saat mendampingi proses rehabilitasi dan reintergasi para istri terduga teroris yang bergabung dengan ISIS) (1)
***
Malam masih begitu pekat,
Awan terlihat gelisah.
Di luar, suara tembakan meraung, merobek sunyi.
Umi Yanti sontak terbangun dari tidurnya,
Dipeluknya kedua buah hatinya yang lelap.
Dari celah-celah jendela kamar,
Bayangan tubuh-tubuh tegap berbaris rapi.
Para pria berbaju coklat itu dilengkapi senjata,
Siapa bedebah, peluru siap meluncur.
“Buka pintunya, buka pintunya!” terdengar teriakan dari pintu belakang.
Ketukan pintunya begitu kuat menggetarkan lapisan dinding rumah.
Polisi-polisi itu terus berteriak.
Umi Yanti tak bisa lagi berdiam diri.
Ia tarik cadarnya, dengan setengah berlari, ia membuka pintu.
“Mana Sulaeman? Suruh dia keluar!” bentak polisi.
Perempuan berusia 30 tahun itu tak sanggup mengangkat wajahnya.
Ia hanya menunduk, ,memegang cadarnya.
Setengah gagap ia menjawab, “Su… suami saya tidak ada, Pak. sudah 6 bulan dia tidak pulang.”
Para polisi itu tak percaya.
Tanpa persetujuan pemilik rumah, mereka berhamburan ke dalam rumah.
Semua isi rumah digeledah,
Barang-barang mencurigakan diangkat: Kitab, lembaran kertas baiat, foto pemimpin ISIS di Suriah.
Kedua anak Umi yanti berlari mendekap Ibunya.
Letupan senjata dan teriakan yang meraung membangunkannya.
Bocah lima tahun dan tujuh tahun itu ketakutan.
Air matanya berkejar-kejaran dengan hentakan kaki para polisi.
“Di mana Sulaeman? Jangan coba-coba kau sembunyikan teroris itu.” polisi kembali membentak.
“Teroris? Suami saya teroris?” Umi Yanti tak percaya dengan apa yang didengarnya.
Berita itu meledak di telinganya, seperti petir yang mengoyak langit cerah.
“Teroris bagaimana maksud Bapak? Suami saya ada di Jakarta, kerja sebagai supir bis,” Umi Yanti menjelaskan.
Memang sudah lima bulan ini, Sulaeman tak pulang ke rumahnya, di Poso.
Tak juga mengirim uang bulanan.
Umi Yanti pun tak bisa menghubunginya.
Nomor HP nya sudah tak aktif.
***
Cahaya pagi masih malu menampakkan dirinya,
Sinarnya masih merindukan bulan.
Peristiwa semalam secepat kilat menyebar di lingkungan tetangga.
Pagi itu, mereka berkumpul di depan rumah Umi Yanti,
saling berbisik, sesekali menunjuk ke rumah Umi Yanti.
Umi Yanti dikenal ramah dan dekat dengan tetangga.
Saban pagi, berbekal meja kayu segi empat,
ibu dua anak itu menggelar kue-kuenya di depan rumah.
Langganan terdekatnya adalah tetangganya dan anak-anak sekolah.
Pagi ini, Umi Yanti tetap berjualan.
Dapur harus terus mengepul,
Kedua anaknya harus tetap makan.
“Sini Ibu, ada donat sama lalampa (2),” ia mengajak tetangga yang sudah ramai di depan rumahnya.
Bagai duri dalam taman bunga yang indah,
para tetangga tak bergeming.
“Kita tidak sudi makan dari tangan teroris,” teriak Ibu Lemba, tetangga terdekat Umi Yanti.
Ibu-ibu lain memandang sinis.
Awan kelabu di tengah teriknya matahari,
hati perempuan bercadar itu tertusuk.
Ia tak menyangka kelembutan para tetangga,
berganti wajah-wajah keras.
Berhari-hari, satu-per satu pelanggan Umi Yanti tak datang.
Berhari-hari kue-kue buatannya hanya disantap lalat yang beterbangan.
***
Dinding-dinding rumah bergetar.
Gedoran pintu terdengar keras menghujam.
Peristiwa malam itu terlintas di memori Umi Yanti.
Tubuhnya bergetar, nafasnya sesak, “Apakah polisi itu datang lagi?” batinnya.
Umi Yanti mendekati pintu, “Cari siapa Pak?” hanya dari balik pintu ia bertanya.
“Saya dari bank, Ibu,” Jawab laki-laki bersuara berat.
Umi Yanti agak lega. Setidaknya, bukan laki-laki berseragam coklat yang datang.
Laki-laki itu menyerahkan selembar kertas.
Mata Umi Yanti tertuju pada angka Rp. 30.000.000.
“Ap.. apppa… ini Pak?, suaranya kembali gagap.
“Itu utang suami ibu. Tiga bulan lalu , Pak Sulaeman meminjam uang di bank,” laki-laki berbaju batik itu menjelaskan.
Seperti kapal tua di lautan ganas,
dihantam gelombang tanpa pelabuhan untuk berlabuh,
tubuh Umi Yanti lemas, lunglai.
Tanpa sadar ia terjatuh di sudut pintu rumahnya.
“Astagfirullah, astagfirullah, dosa apa hamba ya Allah,” mulutnya komat-kamit.
Butiran air matanya tak lagi terbendung.
Umi Yanti memeluk kedua putrinya.
Sulaeman, laki-laki yang menjanjikan surga itu tak ada memeluknya.
Hanya neraka yang ia berikan, pada tiga bidadari yang t’lah patah sayapnya.
Mereka bagai tiga bintang di langit kelam, dikhianati oleh matahari yang seharusnya memberi cahaya.
Depok, 30 Januari 2025
*CATATAN*
*Puisi esai ini dibuat dengan bantuan AI
(1) https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200225163222-20-477996/yasonna-data-terbaru-ada-1276-wni-eks-isis-di-luar-negeri
(2) Lalampa adalah salah satu makanan khas Poso, bentuknya mirip lemper yang terbuat dari beras ketan yang dipanggang dengan isian ikan dan dibungkus daun pisang.