Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

MESIN ILMU DAN MUKJIZAT ISRAK MIKRAJ Oleh: Duski Samad

Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. (QS. An-Najm Ayat: 11). Nash di atas satu di antara dalil yang dijadikan al Ghazali untuk meyakinkan bahwa antara penglihatan (ilmu pengetahuan) dan hati (keyakinan atau iman) adalah dua unsur diri yang wajib menyatu (integral). 

Mesin kehidupan dan kejayaan adalah ilmu dan agama. Ilmu diperoleh akal dan agama diberi melalui mukjizat.

Akal sumber ilmu adalah luar biasa capaiannya, sehingga dapat membuka tabir alam nyata (nasuut, jabaruut dan malakuut). Hati adalah sumber untuk menerima dan mengetahui alam rahasia dan tak ada batasnya (ghaibiyat) di luar kemampuan akal (ma'rawat thabiah) atau metafisika.  

Agama Islam itu hanya diwajibkan bagi orang yang berakal. Tidak wajib beragama jika tidak berakal. Menurut Imam Al-Ghazali, ini bukti bahwa akal (ilmu) memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Akal adalah alat yang digunakan untuk memahami kebenaran dan membedakan antara yang benar dan yang salah. Akal yang dimaksud bukan hanya sekedar kemampuan intelektual atau rasional, tetapi adalah terkait erat dengan keimanan dan spiritualitas.

Al-Ghazali berpendapat bahwa akal adalah anugerah dari Allah yang memungkinkan manusia untuk mencapai pengetahuan yang lebih tinggi dan mengenal Tuhan. Akal harus dijaga dan disucikan dari pengaruh hawa nafsu dan kebodohan. Dalam Ihya' Ulum al-Din, ia menjelaskan bahwa akal yang sejati adalah akal yang berfungsi untuk mencapai kebahagiaan abadi dengan mendekatkan diri kepada Tuhan dan mengikuti ajaran agama.

Bagi Al-Ghazali, akal yang tidak diarahkan pada tujuan spiritual dan agama akan kehilangan arah dan potensi sebenarnya. Oleh karena itu, akal harus berfungsi sebagai sarana untuk mencapai kedamaian batin dan kesejahteraan jiwa.

Menurut Al-Ghazali, akal dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yang masing-masing memiliki fungsi dan peran yang berbeda dalam kehidupan manusia. Berikut adalah jenis-jenis akal menurut Al-Ghazali:

1. Akal Ta‘aqquli (Akal Rasional): 

Ini adalah akal yang berfungsi untuk berpikir secara logis, analitis, dan rasional. Akal jenis ini membantu manusia untuk menganalisis dan memahami dunia, serta mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan rasional.

Fungsi: Akal ta‘aqquli digunakan untuk membedakan antara yang benar dan salah dalam kehidupan sehari-hari, serta memahami pengetahuan umum tentang alam semesta (ilmiah, empiris dan rasional).

2. Akal Tafakkuri (Akal Pemikiran atau Kontemplatif): Jenis akal ini lebih bersifat mendalam dan kontemplatif. Ia digunakan untuk merenung dan memahami hakikat sesuatu dengan lebih mendalam, termasuk merenungkan penciptaan dan eksistensi Tuhan serta tujuan hidup.

Fungsi: Akal tafakkuri digunakan dalam proses meditasi dan pemahaman spiritual. Ini membantu manusia memahami kebenaran yang lebih tinggi dan hakikat kehidupan, termasuk melalui kontemplasi terhadap alam dan keberadaan Tuhan, (akal batini, indera keenam)

3. Akal Wahmi (Akal Imajinatif): Akal wahmi adalah akal yang berkaitan dengan imajinasi dan perasaan. Ia mampu membayangkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara langsung, misalnya dalam bentuk mimpi atau ide-ide yang muncul tanpa bukti langsung.

Fungsi: Akal wahmi digunakan untuk menggambarkan atau membayangkan berbagai kemungkinan yang tidak tampak dalam dunia nyata, seperti imajinasi tentang masa depan, atau dalam pemahaman metafora yang bersifat simbolis (ulama alim, filosof, dan seniman)

4. Akal Dzihni (Akal Pemahaman atau Pengetahuan): Jenis akal ini terkait dengan kemampuan manusia untuk menyimpan dan mengingat informasi. Ini mencakup ingatan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman dan pendidikan, (ulama, ilmuwan dan cendikiawan)

Fungsi: Akal dzihni berfungsi untuk menghafal, memproses informasi, dan mengingat berbagai hal yang telah dipelajari atau dialami, baik itu pengetahuan duniawi maupun pengetahuan agama.

Bagi Al-Ghazali, akal memiliki berbagai dimensi dan fungsi yang saling melengkapi. Akal rasional (ta‘aqquli) dan akal pemikiran (tafakkuri) memainkan peran utama dalam pencapaian pengetahuan dan pemahaman spiritual, sementara akal imajinatif (wahmi) dan akal pemahaman (dzihni) berfungsi untuk membantu manusia dalam membentuk gambaran dan menyimpan pengetahuan yang dapat memperkaya kehidupan mereka baik dari sisi materi maupun spiritual.

ILMU (AKAL) DAN MUKJIZAT

Hakikatnya pencapaian apapun berawal dari ilmu dan agama. Pencapaian akal dan mukjizat terletak pada asal usul, sifat, dan cara pencapaiannya.

1. Pencapaian Akal: Asal Usul: Pencapaian akal merupakan hasil dari usaha manusia melalui proses berpikir, penalaran, dan observasi yang terarah. Akal, sebagai kemampuan intelektual, menggunakan logika dan pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman atau pembelajaran.

Sifat: Pencapaian akal terbatas pada kemampuan manusia, bergantung pada kapasitas berpikir dan pembelajaran. Hal ini memerlukan waktu dan usaha untuk mencapainya, dan sifatnya bisa berkembang dengan latihan dan pendidikan.

Cara Pencapaian: Pencapaian akal dapat dicapai dengan cara yang dapat dipahami dan dijelaskan secara rasional, seperti melalui eksperimen ilmiah, refleksi filosofis, atau analisis logis.

2. Mukjizat: Asal Usul: Mukjizat adalah suatu kejadian luar biasa yang terjadi dengan izin Allah dan tidak dapat dijelaskan dengan hukum-hukum alam yang biasa. Mukjizat terjadi melalui para nabi dan rasul sebagai bukti kebenaran wahyu dan sebagai tanda kekuasaan Allah.

Sifat: Mukjizat bersifat luar biasa dan melampaui kemampuan manusia biasa. Ini bukan hasil usaha atau kemampuan manusia, melainkan bentuk intervensi langsung dari Tuhan yang bertujuan menunjukkan kekuasaan-Nya atau untuk memperkuat dakwah para nabi.

Cara Pencapaian: Mukjizat terjadi tanpa proses yang bisa diprediksi atau dijelaskan oleh akal manusia. Contohnya, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada nabi-nabi seperti Israk Mikraj, membelah Laut Merah oleh Nabi Musa atau penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi Isa, yang semuanya tidak dapat dijangkau oleh logika atau kemampuan manusia biasa.

Pencapaian akal adalah hasil dari usaha dan pemikiran manusia, sedangkan mukjizat adalah kejadian yang terjadi di luar batas kemampuan manusia dan hanya dapat terjadi dengan izin Allah.

Sejatinya ilmu dan mukjizat adalah dua kekuatan dan kehebatan yang dianugerahi Allah untuk menyempurnakan kemanusiaan manusia. Oleh karena itu keduanya sejalan dan secara perlahan semangkin banyak mukjizat yang mudah di pahami dengan ilmu, seperti israk mikraj yang ilmuwan semangkin mudah menjelaskannya. 

Ketika level ilmu ilmiah, logika, filosofis dan kotemplatif bertemu dengan mukjizat, saat itulah kebenaran hakiki didapat. Pencapaian tertinggi adalah penjumlahan (kumulatif) dari ilmiah, logika, filsafat dan kotemplatif dengan mukjizat. 

Mesin ilmu dalam batas tertentu dapat diberikan kepada hamba-Nya yang dipilih (ladunni), ketika ashabul kahfi tersudut ia berdoa meminta ladunni, (QS. al- Kahfi, ayat 10). Allah swt memberinya. 

Mesin mukjizat, i'jaz, mengalahkan dan tak terkalahkan diberikan pada Nabi dan Rasul untuk membuktikan kenabian dan kerasulannya. Secara perlahan tapi pasti, fakta empiris mukjizat dapat disingkap manusia, lihat saja manusia bisa mencapai angkasa, mukjizat sudah informasikan dalam surat al-Rahman. 

RELEVANSI ILMU DAN ISRAK MIKRAJ

Ilmu dan peristiwa Isra' Mi'raj memiliki relevansi yang dalam, terutama dalam konteks pengembangan pemahaman spiritual dan intelektual dalam Islam. Berikut beberapa hubungan antara ilmu dan Isra' Mi'raj:

1. Pendidikan dan Pengajaran dalam Islam: 

Isra' Mi'raj adalah peristiwa yang mengandung banyak pelajaran dan hikmah, yang bukan hanya terkait dengan pengalaman spiritual Nabi Muhammad SAW, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat ajaran Islam kepada umatnya. Dalam konteks ini, Isra' Mi'raj menjadi momen untuk memperkenalkan konsep shalat sebagai ibadah yang lebih mendalam, yang menjadi salah satu pilar penting dalam agama Islam. Ilmu yang terkait dengan shalat, baik secara fiqh maupun spiritual, sangat relevan karena mengajarkan umat bagaimana berhubungan langsung dengan Tuhan.

2. Pengetahuan Tentang Alam Ghoib: 

Isra' Mi'raj membawa Nabi Muhammad SAW melewati langit dan melihat berbagai tanda-tanda kekuasaan Allah, serta memperlihatkan dunia ghaib, seperti surga dan neraka. Ini memberikan pengetahuan yang lebih luas mengenai alam ghaib yang tidak bisa dicapai dengan akal semata. Dalam hal ini, ilmu Islam mengajarkan bahwa ada dimensi spiritual yang melampaui batas pemahaman rasional manusia, dan bahwa ilmu tentang dunia ghaib ini harus diterima dengan iman.

3. Peningkatan Spiritual dan Akal: 

Dalam pandangan Islam, ilmu bukan hanya tentang pengetahuan duniawi atau rasional, tetapi juga tentang peningkatan kualitas spiritual. Isra' Mi'raj menegaskan bahwa perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan akal dan hati yang mendalam. Ini memberikan wawasan bahwa untuk mencapai kedekatan dengan Allah, seorang Muslim harus mengembangkan keduanya: ilmu yang rasional dan ilmu yang spiritual.

4. Kepatuhan terhadap Perintah Allah: 

Selama Isra' Mi'raj, Nabi Muhammad SAW menerima kewajiban shalat lima waktu yang sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim. Ini mengajarkan umat Islam bahwa pengetahuan tentang kewajiban agama dan disiplin untuk menjalankannya merupakan bagian penting dari ilmu yang harus dipelajari dan diamalkan.

5. Penyatuan antara Akal dan Wahyu: 

Isra' Mi'raj juga memperlihatkan bagaimana wahyu dan pemahaman akal dapat bersinergi. Sebagai contoh, pengalaman Nabi Muhammad SAW yang melampaui batas-batas rasionalitas akal manusia menunjukkan bahwa dalam Islam, pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu harus diterima dengan iman, bahkan jika akal manusia tidak mampu menjangkau sepenuhnya.

Ilmu dalam konteks Isra' Mi'raj tidak hanya terbatas pada ilmu pengetahuan duniawi, tetapi juga mencakup pemahaman tentang hakikat kehidupan, alam ghaib, dan hubungan yang lebih dalam dengan Allah. Peristiwa tersebut mengajarkan pentingnya keseimbangan antara pemahaman rasional dan spiritual dalam perjalanan seorang Muslim.

KONKLUSI

Akal memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali, yang menganggapnya sebagai anugerah Allah yang memungkinkan manusia untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Akal dapat dibagi menjadi berbagai jenis, masing-masing dengan fungsi yang berbeda, mulai dari akal rasional hingga akal pemahaman yang lebih mendalam tentang spiritualitas. Pencapaian akal merupakan hasil dari usaha manusia melalui proses berpikir, sementara mukjizat adalah kejadian luar biasa yang melampaui kemampuan manusia dan terjadi dengan izin Allah. Perbedaan ini menunjukkan bahwa akal adalah alat untuk mencapai pengetahuan yang rasional dan duniawi, sementara mukjizat merupakan bukti kekuasaan Allah yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.

Isra' Mi'raj sebagai peristiwa spiritual yang luar biasa juga memiliki relevansi dalam mengembangkan ilmu, baik ilmu duniawi maupun spiritual. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa ilmu tidak hanya mencakup pengetahuan rasional, tetapi juga ilmu yang melampaui batas pemahaman manusia, seperti pengetahuan tentang alam ghaib dan hubungan lebih dalam dengan Allah. Dalam konteks ini, Isra' Mi'raj mengajarkan pentingnya keseimbangan antara ilmu rasional dan spiritual dalam kehidupan seorang Muslim, serta bagaimana keduanya dapat bersinergi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjalankan kewajiban agama dengan penuh keimanan.DS.

*Kajian Subuh Masjid Darul Muttaqin, Selasa, 280125

Kitab Ihyaulumuddin jilid 1 halaman 111-116


Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies