Tata Handika |
Setiap lima tahun sekali, Indonesia menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), baik untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Bupati dan Wakil Bupati.
Dalam proses tersebut, ulama sering berperan aktif memberikan panduan moral dan spiritual kepada masyarakat agar pemilihan berjalan lancar. Namun, di tengah semangat partisipasi ini, tidak jarang ulama juga terjebak dalam politik praktis.
Keterlibatan ini membawa tantangan tersendiri, karena ketika ulama terlibat terlalu jauh dalam dinamika politik, maka tantangannya bisa cukup kompleks. Tantangan tersebut di antaranya adalah potensi manipulasi agama, menurunnya citra ulama di tengah masyarakat, mencuatnya suap terhadap ulama.
Dalam kontestasi politik praktis, manipulasi agama merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh ulama. Manipulasi agama adalah penggunaan simbol, ajaran, atau otoritas agama untuk kepentingan politik tertentu.
Ulama sebagai pemimpin agama, bisa ditekan atau didorong untuk mendukung kandidat atau kebijakan tertentu dengan menggunakan ayat-ayat suci atau dalil agama untuk melegitimasi pilihan politik.
Manipulasi agama dalam politik tidak hanya merusak integritas individu ulama, tetapi juga bisa mencoreng citra agama secara keseluruhan. Ketika agama terus digunakan sebagai alat politik, maka umat bisa menjadi sinis terhadap agama itu sendiri.
Hal ini disebabkan karena penggunaan agama sebagai sarana untuk mencapai kekuasaan daripada sebagai panduan moral dan spiritual. Parahnya, pergumulan itu ternyata berlanjut dengan membawa agama sebagai alat kekuasaan dan jaminan untuk “mengamankan suara” dalam perjuangan politik.
Oleh sebab itu, maka fungsi dan peran ulama yang awalnya mendakwahkan agama sebagain pedoman kehidupan bergeser menjadi pemanfaatan agama untuk mendukung politik kepentingan.
Selain manipulasi agama, tantangan selanjutnya adalah menurunnya citra ulama di tengah masyarakat. Pandangan masyarakat terhadap ulama bisa berubah secara drastis ketika mereka memandang ulama terlibat dalam politik praktis. Pilihan politik para ulama di berbagai partai dapat membingungkan masyarakat, menyebabkan terjadinya polarisasi.
Tidak hanya itu, masyarakat juga mulai merasakan adanya kekhawatiran bahwa para ulama semakin kehilangan netralitas dan independensi mereka sebagai pemimpin agama. Hal ini memunculkan persepsi bahwa pandangan dan nasihat yang disampaikan kerap kali lebih mengarah pada kepentingan kelompok tertentu daripada berfokus pada kebaikan umat secara menyeluruh.
Bagi masyarakat, keterlibatan ulama dalam politik sering kali dianggap sebagai bentuk ambisi untuk meraih kekuasaan, yang secara perlahan mengikis citra kesucian ulama. Masyarakat yang awalnya sangat mengagumi dan menghormati ulama mulai menjaga jarak setelah melihat keterlibatan mereka dalam politik praktis. Ulama tersebut dianggap masyarakat tidak lagi mencerminkan peran sebagai pengayom umat, melainkan terjebak dalam kepentingan duniawi.
Kehilangan wibawa membuat nasihat-nasihatnya tidak lagi dipandang sebagai petuah suci, karena dianggap telah tercemar oleh ambisi duniawi. Pada akhirnya, politik praktis menjadi bumerang bagi keberadaan ulama di tengah masyarakat, karena peran ulama semakin dikaitkan dengan kekuasaan dan harta.
Tantangan berikutnya ketika ulama ikut terjun dalam politik praktis, mencuatnya suap terhadap ulama. Hal ini yang berpotensi merusak citra ulama di tengah masyarakat. Keterlibatan ulama dalam praktik suap menimbulkan rasa kecewa dan ketidakpercayaan di kalangan umat, ketika ulama terjebak dalam praktik ini, muncul anggapan bahwa nilai-nilai yang mereka ajarkan mungkin tidak lagi tulus, dan tujuan mereka dalam membimbing umat tercampur dengan kepentingan pribadi atau kelompok politik. (***)