Prof. Duski Samad Tuanku Mudo dan Ali Bakri Tuanku Khalifah. (ist) |
Literasi sejarah adalah kemampuan untuk memahami, menafsirkan, dan menggunakan informasi sejarah secara kritis dan efektif. Ini melibatkan lebih dari sekadar menghafal tanggal dan fakta, tetapi juga tentang:
1. Memahami Konteks. Memahami bagaimana peristiwa sejarah terjadi dalam konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya tertentu. Menyadari bahwa sejarah tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi dipengaruhi oleh berbagai faktor.
2. Menilai Sumber. Mengevaluasi sumber sejarah (teks, artefak, gambar, dll.) untuk menentukan kredibilitas dan biasnya. Memahami bahwa sumber sejarah dapat memiliki perspektif yang berbeda dan tidak selalu akurat.
3. Menafsirkan Informasi. Menarik kesimpulan yang masuk akal dari informasi sejarah. Memahami bahwa sejarah dapat ditafsirkan dengan cara yang berbeda, tergantung pada perspektif dan nilai-nilai seseorang.
4. Menerapkan Pengetahuan Sejarah. Menggunakan pengetahuan sejarah untuk memahami masalah kontemporer. Memahami bagaimana sejarah dapat menginformasikan keputusan dan tindakan kita saat ini.
5. Berkomuni kasi Sejarah. Menyatakan pemahaman sejarah secara jelas dan ringkas. Berpartisipasi dalam diskusi dan debat tentang sejarah dengan cara yang berwawasan dan kritis.
Literasi Sejarah bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman tentang dunia di sekitar kita. Membantu memahami akar dari masalah kontemporer. Mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis. Meningkatkan kemampuan untuk berkomuni kasi secara efektif. Memupuk rasa kewarganegaraan dan tanggung jawab sosial.
Literasi Sejarah diawali dari membaca buku sejarah dan menganalisis sumber-sumber primer.
Mengunjungi museum dan situs bersejarah.
Berpartisipasi dalam diskusi dan debat tentang sejarah.
Menulis esai atau makalah tentang topik sejarah.
Singkatnya, literasi sejarah adalah kemampuan untuk berpikir kritis tentang masa lalu dan menggunakan pengetahuan sejarah untuk memahami dunia saat ini.
KHALIFAH TAREKAT
Ada banyak pengertian tentang khalifah menurut kamus bahasa. Bukan saja secara politis saja, yang sering diartikan sama dengan “pemimpin”. Dalam pengertian politis ini, khalifah bisa disamaratakan dengan makna imam, amir, sultan, khan (khanate), dan lain-lain.
Secara eksplisit, Al Quran menyebut kata khalifah ketika hendak menurunkan Adam ke bumi (ardli). Sebagaimana firmanNya dalam surat Al Baqarah ayat 30. Kata khalifah dimaknai sebagai “penerus”. Istilah tersebut digunakan oleh sahabat empat yang masyhur sebagai khalifah. Jadi, jika sahabat Sayidina Ali bin Abi Thalib dikatakan sebagai khalifah karena menduduki sebagai penerus Nabi Muhammad saw. Pengertian khalifah ini menjadi kontroversial belakangan ini, karena dipahami secara politis tersebut. Khalifah di sini sama artinya pemimpin politik.
Khalifah dalam tarekat berbeda maksudnya dengan khalifah dalam terma politik. Tarekat bahasa arabnya “thariqah” agar lebih gampang dipahami adalah sebagai unsur “software”. Unsur dalam. Namun, pada implementasi “hardware” bisa berbeda-beda.
Thariqah dalam makna populer adalah “jalan sufi” seorang hamba yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Taala (taqarrub illallah) dengan melintasi batas-batas taubat, syukur, sabar, cinta, dan ridla kepada Allah Taala.
KHALIFAH SEBAGAI WAKIL MURSYID
Sebagai jalan, thariqah membentuk komunitas-komunitas dalam sebuah pengajian, ta’allum (menimba ilmu), dan berzikir. Dalam komunitas ini ajaran-ajaran Rasulullah saw disampaikan, baik secara tekstual kitab suci Al Quran dan hadis maupun kontekstual yang menghadirkan kisah-kisah (manaqib) teladan para pelaku thariqah sebelumnya. Dari sini, teladan demi teladan dapat digali dan diteruskan oleh tradisi.
Dari komunitas tersebut kemudian lahir kehidupan sistematis. Ada pemimpin dan wakil-wakilnya. Seorang guru thariqah yang biasa disebut mursyid akan dengan tekun membangun sistem komunitas. Mereka membangun sistem dan jadwal pengajian dan zikir secara teratur. Membangun sistem ekonomi mandiri. Seperti pesantren, jama’ah thariqah juga membangun koperasi dan perusahaan. Artinya, thariqah tidak semata menjalankan zikir dan ta’allum semata, melainkan pada aspek ekonomi yang berbasis komunitas atau jama’ah.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata khalifah dengan demikian di dalam istilah thariqah sama seperti kata ustadz, kiai, guru, siak, atau apapun yang mewakili seorang guru dalam menyampaikan ajaran-ajaran thariqah.
Berkenaan dengan khalifah yang banyak dari seorang Syekh atau mursyid tarekat adalah wajar dan lumrah saja. Sebab seorang Syekh dan Mursyid memang punya banyak wakil yang membantu urusan pengajian dan sekaligus menjadi silsilah dalam tarekatnya.
Tidak ada yang perlu diperdebatkan banyaknya khalifah dari seorang syekh dan mursyid, kecuali ketika sebutan khalifah dihubungkaitkan dengan adat dan atau makna adat. Semoga ini menjadi bahan literasi bagi pengkaji pemikiran Islam. Bimtosoettarakernaskubri02102024.
*Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol