Oleh: Ridwan Arif, M.Ud, Ph.D, Tk. Bandaro
Bangkok-Narathiwat-Pattani
Keinginan untuk melawat Pattani hampir saja hilang ditelan waktu. Apalagi sejak Februari 2018 saya sudah menetap kembali di Indonesia. Namun ternyata nasib untuk menginjak bumi Pattani masih ada.
Kunjungan saya ke Pattani kali ini adalah dalam rangka penelitian sistem pendidikan di institusi pendidikan tradisional (pondok). Perjalanan saya ke Pattani dimulai dengan penerbangan Jakarta-Bangkok, karena memenuhi undangan seorang sahabat di sana. Dari Bangkok saya terbang ke Narathiwat, karena memang tidak ada penerbangan langsung Bangkok-Pattani.
Setelah terbang satu jam lima belas menit, pesawat yang saya tumpangi mendarat di Narathiwat Airport. Transportasi dari airport ke pusat kota adalah van (semacam mini bus yang memuat 13 penumpang). Setelah membayar harga tiket 80 Bath (lk Rp. 35.000) van membawa saya menuju terminal bus Narathiwat yang terletak di pusat kota.
Dari sini saya naik van lagi menuju Pattani. Sejak menginjakkan kaki di Narathiwat Airport saya sudah merasakan hawa alam Melayu. Saya seolah-olah berada di Malaysia. Suasana alam dan lingkungannya serasa berada di daerah-daerah di Malaysia seperti Perak, Terengganu dan Kedah.
Narathiwat adalah daerah pesisir yang tiada perbukitan. Perkampungan penduduk yang menyatu dengan perkebunan adalah pemandangan utama dalam perjalanan Narathiwat-Pattani. Nampaknya tanaman utama perkebunannya adalah kelapa. Diselingi tanaman lain seperti pohon pisang. Kadang-kadang saya serasa berada di daerah pesisir di Sumatera.
Jam 13.55 siang van berangkat menuju Pattani. Ongkos Narathiwat-Pattani sebanyak 110 Bath. Bus melaju di jalan yang lebar dan mulus dengan dua jalur terpisah. Saya sedikit berdecak kagum, walaupun berada di daerah yang paling ujung dari ibukota Negara, jalan antar propinsi di Thailand Selatan ini dibangun dua jalur.
Penulis tiba-tiba ingat jalan-jalan propinsi di Sumatera yang masih satu jalur. Sepanjang perjalanan saya menyaksikan pemandangan perkampungan penduduk yang menyatu dengan perkebunan. Sesekali terlihat bentangan sawah, bangunan sekolah, warung/ toko, moshalla, dan masjid.
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang dua jam, van yang saya tumpangi mulai memasuki kota Pattani. Kebanyakan bangunan di kota ini adalah bangunan lama yang sederhana dan tidak banyak terlihat bangunan tinggi. Suasana kota Muslim langsung terasa. Terlihat para muslimah yang berjilbab. Banyaknya restoran dan kafe-kafe halal yang dimiliki oleh Muslim.
Jadi tidak ada masalah dalam mencari restoran halal di Pattani, seperti di Bangkok. Saya kembali merasa seperti berada di kota-kota di utara Malaysia. Dalam perjalanan menuju hotel saya sempat menyaksikan pemandangan sungai Pattani yang membelah pusat kota dengan perahu-perahu nelayan yang sedang bersauh. Sisi kiri dan kanan sungai dibangun dan dibenahi dengan indah.
Kota Pattani, ibukota wilayah Pattani terletak di daerah yang berdekatan dengan pantai. Secara kultural, seperti dua provinsi lainnya di selatan Thailand (Yala dan Narathiwat), penduduk asli Patttani adalah etnis Melayu yang beragama Islam.
Karena itu wajah mereka tidak berbeda dengan penduduk melayu Malaysia umumnya. Sedangkan bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Melayu (dengan dialek Kelantan) dan bahasa Thailand. Jadi secara kultural mereka lebih dekat dengan masyarakat Melayu Malaysia.
Pattani Kembali Memanas
Sewaktu masih di Bangkok, sahabat saya di Bangkok sudah menceritakan bahwa situasi di Pattani kembali memanas. Menurutnya, hal ini dipicu oleh terbunuhnya dua orang rahib dalam vihara mereka. Sesampai di Pattani, seorang sahabat yang berasal dari Hat Yai dan memiliki restoran di Jalan Universiti, berdekatan Prince Songkhla of University menceritakan lebih detail lagi.
Menurutnya, cerita berawal dari terbunuhnya seorang imam dalam perjalanan pulang ke rumahnya pada suatu malam. Pembunuhnya tidak diketahui. Setelah peristiwa tersebut beredar pesan di media sosial “line”, bahwa pembunuhan imam itu akan dibalas. Namun pengirim pesan tidak diketahui. Beberapa hari setelah itu, dua orang rahib terbunuh dalam vihara mereka. Pembunuh pun tidak diketahui dengan pasti.
Kasus ini membuat situasi di Pattani kembali memanas. Sejak itu pos-pos militer di dalam dan luar kota kembali melakukan pengawalan ketat. Berada di pattani serasa berada di kota yang sedang berkecamuk perang. Military check-point yang rapat di setiap ruas jalan kota dengan tentara yang bersenapan lengkap, membuat nyali sedikit ciut. Begitu juga pemandangan yang penulis saksikan dalam perjalanan Narathiwat-Pattani. Dalam jarak lima kilometer akan ditemui pos militer.
Sepertinya penduduk Pattani hidup dalam cengkeraman ketakutan. Mereka terlihat sangat berhati-hati dan waspada. Walaupun sepintas lalu, kehidupan berjalan normal. siswa tetap pergi ke sekolah, pegawai tetap pergi bekerja di kantor, dan pedagang tetap aktif membuka tokonya dan kaum Muslim tetap pergi shalat berjamaah di masjid.
Namun, bila malam menjelang, terutama setelah shalat isya’ kehidupan berubah drastis. Pattani berubah bagaikan kota mati yang mencekam. Sahabat saya mengajak keliling kota pattani setelah makan malam. Sang sahabat menunjukkan kepada saya jalanan yang lengang. Kedai-kedai yang sepi. Warga kota ketakutan keluar pada malam hari, terutama umat Budha yang merupakan minoritas di kota ini, jelasnya. Hanya satu jalan yang ramai pada malam hari, yaitu jalan yang mengarah ke pintu gerbang Prince Songkhla of Universiti yang dikenal dengan nama Lorong Universiti.
Konflik di Pattani khususnya, selatan Thailand umumnya berakar pada sejarah ditaklukkannya kesultanan Islam Pattani Darussalam, yang meliputi Yala dan Narathiwat oleh kerajaan Siam (Thailand) pada penghujung abad ke-18. Pada masa Kolonial Inggris, masuknya tiga wilayah mayoritas Muslim ini ke dalam kerajaan Siam (Thailand) dipertegas melalui perjanjian antara pihak kolonial British (Inggris) dengan kerajaan Thailand pada tahun 1909. Hal ini, nampaknya, menyisakan ketidakpuasan di hati sebagian masyarakat selatan Thailand sampai saat ini.
Konflik berskala meluas dan brutal berlangsung mulai tahun 2004. Pada April tahun itu, terjadi penyerbuan dan pengeboman ke masjid Kerisik (Krue Se) yang menewaskan 32 orang (diceritakan kepada saya oleh Baba Ismail Ishak Benjasmith, salah seorang ahli sejarah di Pattani).
Eskalasi konflik terus meningkat, hingga setengah tahun kemudian terjadi pembantaian Tak Bai di Narathiwat yang mengakibatkan banyak warga Muslim gugur. Sejak itu, pemerintah di bawah PM Thaksin Sinawatra (PM Thailand saat itu) menerapkan jam malam dan darurat militer lebih tegas. Konflik itu ibarat bara dalam sekam yang hingga saat ini terus berlangsung. Setelah ledakan yang menewaskan dua orang di hotel CS Pattani, pada ahad 16/3/2008, kekerasan militer semakin sering terjadi di wilayah selatan.
Menurut Ustadz Abdul Qadir, mudir madrasah bagian Tahfizh Pondok Tok Yung, berlarut-larutnya konflik di Pattani disebabkan masih adanya kelompok Muslim Pattani yang menginginkan kemerdekaan (kelompok separatis) dari kerajaan Thailand.
Namun, menurut ustadz yang mendapatkan pendidikan tahfisz di Pakistan ini, mayoritas ulama Pattani tidak setuju dengan kelompok tersebut. Bagi para ulama, umat Islam Selatan Thailand tidak perlu menuntut kemerdekaan politik dari kerajaan Thailand. Ini karena kerajaan sudah memberi kebebasan (kemerdekaan) beragama bagi semua pemeluk agama, termasuk umat Islam. Jadi hal itu sudah cukup. (Bersambung)
*Dosen Tetap Program Studi Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina, Jakarta