Tema membumikan tasawuf ini dimaksudkan dalam menyamakan pandangan terhadap tasawuf dalam tiga sudut pandangan. Tasawuf satu di antara pilar utama ajaran Islam, (Iman, Islam dan Ihsan), kedua relasi tasawuf dan tarekat, tasawuf sebagai inti ajaran tarekat, dan tarekat sebagai metode atau organisasi kaum tarekat.
Bahagian terakhir yang tak kalah pentingnya adalah mengenalkan dengan mudah, simpel dan jelas esensi, atau hakikat tasawuf dan tarekat.
Realita yang sudah menguat di tengah masyarakat muslim, ilmu, praktik dan gaya hidup bertasawuf sepertinya tidak dapat dilakukan semua orang.
Terbaca dalam percakapan banyak ulama, ilmuwan dan praktisi tasawuf itu dipahami elitis, akademis, filosofis, bahkan ada yang menempatkan di antara paham dan praktik tasawuf menyimpang dari koridor syariat. Mestinya tasawuf dan tarekat itu di buat mudah dimengerti, menjadikan bahasan tasawuf konsumsi nalar dan dzauq untuk semua.
TASAWUF ITU IHSAN (MENJADI LEBIH BAIK)
Tasawuf yang akar, sumber dan inspirasi teologisnya dari hadist ihsan, ihsan artinya menjadikan hidup lebih baik. Ibadah dan semua pengabdian dilakukan sepenuhnya untuk memperoleh ridha ilahi, ilahi anta maqsudi, waridhaka mathlubi, cara bagaimana mencapai ridha ilahi dalam perkembangan mendapat pembahasan mendalam. Kajian ruhaniyah, dalam agama saja selalu tidak tunggal dan mendapat porsi kajian yang luas. Menghindari salah paham terhadap tasawuf, Ibrahim Al Basuni dalam kitabnya Nas’atut tasawuf, menempatkan tasawuf dalam tiga tahapan dan itu bisa dicapai siapapun.
(1). al-Bidayah, artinya tasawuf pada tahap permulaaan yakni adanya kesadaran terhadap fitrah diri yang terbatas dan kesadaran itu akhirnya membentuk kesadaran pada yang mutlak yang tak terbatas, buahnya menimbulkan kesadaran untuk mendekati yang tak terbatas itu (taqarrub ila Allah) yang berwujud dalam ibadah dan ketundukan pasa syariat. Tahapan ini dapat diartikan memaknai semua ibadah, dan syariat yang dilakukan dalam konteks ruhaniyah, bukan sebatas fiqih yang formalistik belaka.
(2). al-Mujahadah, bertasawuf maknanya ada usaha yang sungguh-sungguh membuka selubung diri dengan Allah swt, masuk ke dalam akhlak mulia, keluar dari akhlak tercela. Tingkatan ini tasawuf memasuki kesadaran batin untuk mereformasi diri dari prilaku tercela menuju prilaku terpuji, takhalli, tahalli dan tajalli, pada tahap ini tasawuf memasuki tahap-tahap latihan jiwa (maqamat) yang dapat dicapai melalui riyadhah ( latihan ruhani ) yang materinya sudah disusun oleh ulama tasawuf dalam bentuk tarekat berikut kaifiat dan persyaratannya.
(3). al-Mazaqah, artinya merasakan hubungan langsung dengan Allah, menyerahkan diri kepada Allah, apapun yang dikehendakinya.
Pada tahap ini kesadaran ruhaniyah tidak lagi berpijak pada pengalaman, dam rasio, tetapi melewati batas-batas yang sering kali menjadi perdebatan, pro dan kontra dari kalangan ulama fiqih, seperti konsep ittihad, (bersatu dengan khaliq), hulul (larut dalam sifat keilahian), dan wahdat al wujud (hanya ada yang satu, atau kesatuan wujud.
MurkilIm Munir menjelaskan bahwa perdebatan tentang tasawuf sejatinya ketika tasawuf sampai taraf ilmu, praktik dan gaya hidup pada awal abad ke pertama sampai abad ke tiga hijrah, yang di antaranya sulit dikonfirmasi dengan syariat atau ilmu fiqih. Praktik zuhud yang diperkenalkan pertama kali oleh Hasan al-Bisri (wafat 115 H), sebagai protes sosial terhadap prilaku khalifah Muawiyah bin Abi Syofyan yang menunjukkan anaknya Yazid bin Abu Syofyan sebagai pengantinya (mulainya Dinasti Bani Umayyah), dikritik ulama fiqih, ulama yang meninggalkan kekuasaan tidak baik, beresiko bagi Islam.
Sedangkan tasawuf pada tahap awalnya, ketika bermula sejarah Islam, adalah jalan hidup dan praktik baik yang ditunjukkan Nabi Muhammad saw dan sahabat utama (ahlusshufah, hidup bersama Nabi di serambi masjid nabawi) mereka semua mempraktikkan kehidupan sederhana, tidak gila dunia dan kuasa, meninggikan akhlak mulia, serta taat pada ajaran Islam sepenuh hatinya.
Akar dan sumber tasawuf dalam Islam bila dilacak ke dalam al-Qur’an tidak sedikit ayat yang memerintahkan hamba untuk mendalami dzauq (rasa) ketuhanan dalam semua sisi kehidupan.
Di antaranya ayat pertama turun surat al-Alaq 1-5 itu jelas sekali agar hamba mengenali Khaliq melalui jalan diri atau dengan mengenal diri. Surat al-Insan ayat pertama juga mengingatkan agar manusia mengingat asal kejadiannya agar dengan itu dapat mengingat dan mengerti penciptanya. Dalam surat at-Thariq, fal yandzuril insanu mimma khuliq, hendaklah manusia meneliti asal kejadiannya.
Dalam surat al-Sajadah dengan lugas disebut wa badaa khalaqal insana min thin (awal kejadian manusia itu dari tanah), dalam surat al-Tiin, innakhalaqal insana fi ahsanittqwin, bahwa manusia itu diciptakan sangat sempurna. Ayat-ayat tentang proses penciptaan manusia secara biologis, teologis dan sosiologis adalah akar paling jelas bahwa tasawuf itu bermula dari pengenalan diri, menuju pengenal khaliq. Begitu mashur dikalangan sufi, ungkapan bijak, man arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu (siapa yang mengenal dirinya dia mengenal rabbnya).
TASAWUF DAN TAREKAT
Dalam Syari'at Islam aslinya dikenal adanya cara penyembahan kepada Tuhan berupa ibadah salat, puasa, haji dan Iain-Iain. Namun, ada segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadah salat, puasa dan haji. Mereka ingin lebih dekat dengan Tuhan.
Jalan untuk itu yang diberikan oleh Tasawuf. Tasawuf adalah usaha seseorang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin, dengan melalui penyucian diri dan memperbanyak ibadah di bawah bimbingan guru/syekh. Sedangkan ajaran-ajaran tasawuf yang merupakan jalan yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Tuhan itulah yang dimaksud dengan tarekat. (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: Ul Press, 1978), hlm., 71).
Tarekat yang dimaksudkan dalam tasawuf adalah aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang syaikh, tarekat juga bermakna kelompok yang menjadi pengikut salah seorang syaikh, tarekat juga meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam agama Islam, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji yang semuanya itu merupakan jalan mendekatkan diri kepada Allah.
Tarekat juga berarti sistem dalam rangka mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan memperbanyak zikir dengan penuh ikhlas semata-mata untuk mengharapkan bertemu dengan dan bersatu secara ruhiah dengan Tuhan. Jalan dalam tarikat itu antara lain terus-menerus berada dalam zikir atau ingat terus kepada Tuhan, dan terus menerus menghindarkan diri dari sesuatu yang melupakan Tuhan.
Kata tarekat secara etimologis memiliki beberapa arti, yaitu (1). Jalan, cara (al-kaifiyyah); (2). Metode, sistem (al-Uslub); (3). Madzhab, aliran, haluan (al-madzhab); (4). Keadaan (al-hallah). (5). Pohon Kurma yang tinggi (an-nakhlal at-tawilah). (6). Tiang tempat berteduh), tongkat payung (’amud al-mizallah). (7). Yang mulia, terkemuka dari kaum (syarif al-qaum). (8). Goresan/ Garis pada sesuatu (al-khat fi al-asy-syay). (Ensiklopedi Islam . Jakarta: Ikhtiar Baru. hlm., 66).
Banyak difinisi tarekat, yang mudah dipahami tarekat berasal dari Thariqah, yaitu jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Tarekat kemudian mengandung arti organisasi (tarekat), dan tiap-tiap tarekat mempunyai syekh, upacara ritual, dan bentuk dzikir, dan wirid sendiri. Namun, dari sekian banyak ragam jenis wirid, nampaknya yang paling banyak digemari dan diamalkan tarekat, ada tiga macam lafadz wirid, yaitu: wirid istighfar, wirid shalawat, dan wirid dzikir.( Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986)., hlm., 89.
Dari penjelasan tasawuf dan tarekat di atas dapat dimengerti bahwa membincang tasawuf dan tarekat dua hal yang menyatu, beririsan dan berhimpitan begitu kuat dan tebal. Walau dalam praktiknya tasawuf dapat diamalkan tanpa tarekat, namun tarekat adalah wadah, institusi, metode dan kaifiat untuk melakukan praktik hidup bertasawuf. Allah yang selalu membersamai hambanya dalam setiap nafas kehidupan adalah contoh pandangan sufistik yang akarnya dari pemikiran tasawuf dan praktik tarekat.
Menjadikan tasawuf dan tarekat terpelihara dari stigma, image negatif dan tuduhan sumber kejumudan dan keterbelakangan umat, maka perlu ditempatkan secara benar apa yang sudah menjadi wacana dikalangan sufi dan pengamal tarekat.
Pemahaman tentang tarekat Mu’tabaroh dan tarekat Ghoiru Mu’tabaroh perlu diperjelas agar tidak terjebak pada tarekat yang salah yang tidak nyambung pada Nabi Muhammad. Kembali ke titik awal bahwa Thariqah itu dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Semua Thariqah Mu’tabaroh itu, sanad (silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi. Kalau suatu tarekat sanad-nya (silsilah) tidak muttashil sampai kepada Nabi bisa disebut Thariqah tidak (ghoiru) Mu’tabaroh. Ke-mu’tabaroh-an suatu Thariqah yang sangat penting diperhatian adalah kesungguhan mereka dalam pelaksanaan syari’at. Thariqah Mu’tabaroh syariat dilaksanakan secara benar dan ketat.
TASAWUF PRAKSIS ILMU KEISLAMAN
Membumikan tasawuf yang ditujukan dalam bahasan ini adalah menegaskan bahwa sejatinya nilai, makna dan esensi tasawuf adalah etik, sikap jiwa dan praktek hidup generasi salaf. Tasawuf, pada dasarnya merupakan ilmu hakikat tentang tradisi dan akhlak kenabian, puncak rasionalitas kemanusiaan. Tasawuf senantiasa berdampingan, bahkan tidak bisa terpisahkan dari sistem dan fungsi pemandu spiritual kerohanian.
Tasawuf sebenarnya adalah salah satu wilayah praksis ilmu keislaman dalam kehidupan. Tasawuf sangat bergantung pada pengalaman spiritual pribadi. Kitab Tasawuf sebenarnya mencerminkan pengalaman mental para ulama karena ia merasa perlu dan bertanggung jawab untuk membuat umat Islam menikmati cita rasa ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari.
Hakikat tasawuf sebagai praksis ilmu keislaman, intinya pengendalian hati, maka segeralah beramal dengan hati berharap kepada Allah. Juga tinggalkan semua kekotoran, karena kamu takut padanya. Dengan begitu, harapannya hati menjadi hati yang tenang, ridha pada Allah dan diridhai Allah,“Wahai jiwa yang tenang!, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya, Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr 89: 27-30).
Dalam diskusi muncul pemikiran bahwa harusnya tidak patut lagi ada yang memperdebatkan keberadaan tasawuf, atau menyebut tasawuf merendahkan syariat. karena Imam Al Ghazali dengan karyanya Ihya ulumuddin, sudah menerangkan dengan amat luas tentang tautan tasawuf dan fiqh, yang oleh sejarawan disebut dengan ortodoksi Islam, artinya kembali ke Islam awal, yakni menerapkan hidup ihsan atau ilmu terapan Islam.
Kenyataan masih ada pihak yang memberikan palabelan tasawuf sebatas zuhud, anti dunia, hanya bisa diterima umat yang miskin, lemah, dan cendrung membawa kepasrahan, bagaimana menjelaskannya?.
Memang harus diingatkan bahwa awal lahirnya tasawuf sebagai protes sosial dan pemberontakan terhadap kezaliman Muawiyah bin Syufyan, yang memulai politik dinasti ada yang salah memahami sebagai menyerahnya atau kalahnya ulama dalam medan perjuangan mengembalikan Islam yang utuh. Konteks sosial yang menempatkan tasawuf pada ruang gelap, kumuh, tidak maju, pasrah harus segera dilakukan purifikasi, pencerahan dan pelurusan sejarah, dengan menunjukkan conten, sikap, prilaku dan gaya hidup kaum sufi yang justru jernih, berakhlak tinggi, dan kaya harta.
Aslinya tasawuf adalah menjalani kehidupan dengan berislaman yang di dasari keimanan, ketaatan dan berkarakter kuat, sehingga terwujud khaira umat, Islam rahmatan lil Islam, dan umatan wastahan. Persepsi keliru dan salah paham tentang tasawuf tidak tertutup kemungkinan berasal dari sumbangan ulama, Tuanku dan akademisi tasawuf yang salah mengajarkan dan mempraktik tasawuf tarekat. Bisa jadi juga ada pihak yang menyusupi tasawuf dan tarekat dengan mistik, kebatinan dan filsafat ketuhanan yang menyimpang.
Belum menguatnya hakikat atau esensi tasawuf bisa juga disebabkan pola pembelajaran dan dakwah Islam yang menempatkan Islam fiqih (legalistik) lebih mendominasi, sehingga Islam substantif (tasawuf dan tarekat) terabaikan. Pemahaman terhadap tasawuf dan tarekat yang belum terselesaikan dengan baik adalah agenda dakwah yang masih terbengkalai.
Adanya pendapat tasawuf dan tarekat itu ilmu tingkat tinggi, tak boleh diberikan kepada semua orang, hati-hati belajar tasawuf atau tarekat, ungkapan mencemaskan itu juga berdampak terkesampingannya tasawuf dan tarekat. Lebih dahsyat lagi serangan kaum modernis, wahabi dan salafi yang menghakimi tasawuf dan tarekat bid’ah, akibatnya menjadikan tasawuf dan tarekat tidak masuk dalam kajian yang mesti dipelajari atau dipopulerkan.
Untuk memberikan argumen, perlu diterangkan bahwa ada dua setting pemahaman terhadap tasawuf dan tarekat pertama, aspek historis. Tasawuf dan tarekat dari aspek sejarah harus cerdas menganalisis sejarahnya. Misalnya praktiknya zuhud itu tahap awal itu, memang zuhud negatif artinya zuhud, faqir atau bermiskin diri, itu bahagian dari maqamat itu menuju ma'rifah, yaitu muraqabah, artinya menghilangkan atribut kedirian, atau penyadaran diri. Selanjutnya maknannya naik ke zuhud positif yaitu menjadi diri kuat melalui proses latihan. Zuhud positif, adalah hakikatnya para sufi dan ulama taekat tampil menanggung beban masyarakat, dan fakta sejarah menunjukkan bahwa ulama tasawuf itu kaya, misalnya al-Rumi, dan lainnya.
Tasawuf sebagai praksis ilmu keislaman dapat dimengerti bahwa aslinya tasawuf itu adalah sarana untuk mengembalikan diri pada jati dirinya (primordial) untuk mendapatkan kesadaran diri yang utuh dan sempurna, ma'rifah. Tasawuf dan tarekat itu adalah media komunikasi makhluk dengan khaliqnya, melalui riyadhah. Tasawuf dan tarekat itu adalah puncak dari tahapan beragama, maka tasawuf dalam kehidupan kotemporer perlu diperkuat tahapan keislaman itu, iman, ihsan dan Islam.
Islam mengajarkan bahwa manusia perlu disadar bersosialisasi dan berinteraksi dengan semua makhluk yang dimulai dari kesadaran dirinya, man arafa, pengenalan diri. Pernyataan radina fillahi rabba, wa islami dina, maknanya adalah bahwa dalam beragama itu hamba diminta untuk tahu bertuhan baru berislam. Manusia ada tahu dengan belajar, allama bil qalam (belajar), dan ada yang ‘alamal insana man lamya’lam (Tuhan yang mengajarkan), itulah Nabi warasatul ambiya, auliya, sufi dan ulama.
Dalam perjalanan keberislaman itu ada yang masih nilai-nilai penyucian diri disebut tasawuf, yang terlembagakan dinamakan tarekat. Yang tak terlembagakan praksis ilmu keislaman ada pada majelis ilmu. Tasawuf dan tarekat adalah ajaran yang menghadirkan kehidupan flaksibel dan mudah adaptif dengan perubahan.
Patut diingatkan bahwa kritik terhadap tasawuf dan tarekat yang dimensinya seolah-olah berbeda syariat, dan adanya yang menempatkan kebenaran syariat, tarekat, hakikat, marifat secara berbeda adalah tugas pegiat tasawuf dan tarekat mengembalikan ke asalnya, Islam itu kaffah dan syumul. (***)