Makam Tuanku Bagindo di Lubuak Pua, Nagari Balah Aie Utara. (ist) |
Padang Pariaman, Sigi24.com--Senin 8 Januari 2024 ini jemaah Majlis Zikir dan Sholawat Al-Wasilah Padang Pariaman melakukan rangkaian ritual ziarah.
Menggunakan dua bus pariwisata, rombongan dibawah pimpinan Amrizal Tuanku Sutan, Buya Bustanul Arifin Khatib Bandaro dan Nursyamsu alias Bujang ini memulai ritual ziarah di Lubuak Pua.
Menziarahi makam guru umat, ulama terkenal punya banyak jaringan dan jemaah.
Setidaknya, jemaah ini punya silsilah pengajian yang tersambung dengan Tuanku Bagindo Lubuak Pua, sehingga menjadi langkah pertama untuk langkah selanjutnya ke Aceh, dimulai di Lubuak Pua.
Muhammad Umar nama ulama itu. Bergelar Tuanku Bagindo. Gelar Tuanku Bagindo ini sepertinya mengalahkan namanya sendiri.
Lekat dan populer Tuanku Bagindo yang hidup dan mashur dari 1875 - 1955 M ini, menjadi panutan tersendiri di zamannya.
Tuanku Bagindo Lubuak Pua. Ini yang paling populer dan dianggap sakral. Banyak pengikut, menjadikan dia guru spiritual yang disegani dan dihormati.
Karya besar Tuanku Bagindo ini banyak tersebar di seputar Balah Aie dan dinikmati oleh masyarakat sampai hari ini.
Surau dan masjid yang terbengkalai di zaman dia, tak ada yang tidak selesai. Dia punya cara tersendiri untuk membuat bangunan surau itu selesai.
Cara yang dilakukan Tuanku Bagindo, adalah "menghidupkan" surau dan masjid itu. Menghidupkan yang diawali dengan dia sendiri yang memulai.
Beribadah di surau dan masjid serta menghidupkan dengan wirid pengajian, adalah bentuk kegiatan memakmurkan masjid sekaligus membangun fisiknya.
Hebat dan terasa luar biasa. Ketika masyarakat mendengar di sebuah surau atau masjid ada kegiatan pengajian bersama Tuanku Bagindo, lautan masyarakat tak terbendung untuk datang ke masjid itu.
Terasa hebatnya, ketika sudah pengajian, dana yang terkumpul tak diambil oleh Tuanku Bagindo. Meskipun pengurus masjid dan surau memberi dia, tapi Tuanku Bagindo lebih memilih untuk tidak mengambil.
Dana yang terkumpul harus digunakan untuk bangunan surau. Begitu kira-kira ungkapnya untuk lebih banyak tidak menerima. Dia lebih banyak memberi.
Adakah tuanku pendakwah zaman sekarang seperti Tuanku Bagindo? Tentu sulit mencari ulama yang sepadan dengan dia.
Tuanku Bagindo mengabdikan dirinya secara total kepada Allah SWT. Pergulatan amal shaleh yang didasari dengan ilmu yang dituntutnya di Padang Gantiang, Tanah Datar dengan Syekh Talawi dan di Koto Tujuah, Tanjung Ampalu, Sijunjung dengan Syekh Muhammad Yasin, setidaknya memberikan pengaruh yang amat luar biasa baginya di kemudian hari.
Masyarakat VII Koto lama yang telah berusia 60 tahun atau lebih, sangat mengetahui kisah dan cerita Tuanku Bagindo ini.
Begitu banyak surau dan masjid yang selesai bangunannya, hidup suasana dengan semarak ibadah dan wirid pengajian, menjadikan Tuanku Bagindo tak luput dari ingatan banyak orang.
Ikhlas beramal. Ini yang kita tangkap dari spritualitas Tuanku Bagindo. Pengajian yang disampaikan dalam wirid, adalah kewajiban ulama untuk menyampaikannya, sebagai suluah bendang di tengah masyarakat.
Dan yang terpenting, pengajian harus di surau di lakukan. Bila surau belum selesai bangunannya, harus diselesaikan secara bersama, dia yang memulai dulu.
Tuanku Bagindo tidak sekedar menyampaikan kaji, tapi mengamalkan kaji yang dia dapatkan terlebih dulu.
Lalu karya besar Tuanku Bagindo yang lama menetap di Surau Pekuburan ini, adalah pembuatan irigasi.
Tahun 1915, irigasi itu kemudian bernama Irigasi Ujung Gunung. Dari Ujung Gunung Sungai Sariak hingga ke hilirnya Limau Hantu di Balah Aie.
Ratusan hektar sawah yang dialirinya. Termasuk juga usaha perikanan masyarakat di sepanjang kampung itu, bergantung pada Irigasi Ujung Gunung.
Tuanku Bagindo Lubuak Pua tersebut sebagai ulama, niniak mamak dan tokoh masyarakat yang merintis pembuatan irigasi itu.
Dia yang menjembatani masyarakat banyak sekaligus pekerja, memberlakukan aturan gotong royong masyarakat secara bergantian di Nagari Sungai Sariak hingga Nagari Balah Aie dalam menuntaskan pekerjaan irigasi itu.
Setiap ulama punya zaman dan setiap zaman pun ada ulamanya. Setidaknya, Tuanku Bagindo punya zaman yang panjang, panjang sekali dan hingga kini nama Tuanku Bagindo, spritualitas pengajiannya masih melekat di masyarakat.
Surau Pekuburan di Lubuak Pua sampai tak cukup untuk menampung lautan masyarakat yang datang menjenguk kala Tuanku Bagindo berpulang.
Masyarakat seperti terhipnotis, mendengar kabar kepergian seorang ulama spritualitas, guru yang ikhlas mendidik dan mengajar, guru yang mengamalkan kaji sebelum diajarkan.
Ribuan masyarakat dan jemaah berebut untuk bisa ikut memandikan, menshalatkan serta mengantarkan ke peristirahatan terakhirnya, tahun 1955 itu.
Pandangan batin Tuanku Bagindo, menjadikan antara dia dengan Tuanku Shaliah Sungai Sariak saling menjaga adab.
Adab dan etika terjaga dengan baik, meskipun dari kasat mata orang banyak, kedua ulama ini saling berjauhan tempat.
Sungai Batang Mangoi yang mengalir deras di belakang Surau Pekuburan, setidaknya menjadi saksi dalam interaksi kedua ulama sufi ini.
Ketika Tuanku Bagindo sedang mandi di Lubuak Pua, Tuanku Shaliah Sungai Sariak tak mau mandi.
Kenapa! Tuanku Shaliah Sungai Sariak menetap di Sungai Sariak, bagian teratas dari Lubuak Pua. Tuanku Shaliah menjaga etika dan adabnya, mengingat seorang guru spritualitas sedang mandi di bagian bawah, Lubuak Pua. (ad/red)