![]() |
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang
Artikel ini membahas kesinambungan intelektual Islam Minangkabau melalui dua figur sentral: Syekh Burhanuddin Ulakan (abad ke-17) sebagai peletak fondasi Islam berbasis surau, dan Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang) (abad ke-20) sebagai penjaga kontinuitas tradisi tersebut di tengah modernisasi. Melalui pendekatan sejarah, sosiologi agama, dan antropologi, artikel ini menunjukkan bagaimana tradisi surau membentuk identitas keagamaan Minangkabau serta membedakan antara ajaran ashl (pokok) dan furū’ (cabang) dalam perkembangan pemikiran Islam lokal. Temuan menunjukkan bahwa keberlanjutan sanad keilmuan dan revitalisasi sejarah ulama surau penting untuk menjaga keutuhan epistemologi Islam Minangkabau di era kontemporer.
Islam di Minangkabau memiliki karakter khas yang terbentuk dalam interaksi antara doktrin Islam, adat lokal, dan institusi pendidikan tradisional berbasis surau. Sejak abad ke-17, surau telah berfungsi sebagai pusat pembelajaran, transmisi ulama, dan pembentukan moral masyarakat (Azra, 2004). Dua tokoh kunci yang merepresentasikan evolusi Islam Minangkabau adalah Syekh Burhanuddin Ulakan, murid Syekh Abdurrauf as-Singkili, dan Syekh Sulaiman Arrasuli, pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang.
Kajian akademik mengenai ulama Minangkabau sering menekankan pentingnya memahami kontinuitas dan perubahan dalam tradisi tersebut (Hadler, 2008). Artikel ini menyusun perspektif ilmiah dan sosiologis untuk memperjelas posisi ajaran yang ashl dan furū’ demi memperkuat literasi keagamaan generasi muda Minangkabau.
Pembahasan
1. Syekh Burhanuddin Ulakan: Fondasi Islam Minangkabau
Syekh Burhanuddin (1646–1704) merupakan aktor utama proses Islamisasi Minangkabau setelah kembali dari Aceh. Ia belajar pada Syekh Abdurrauf al-Singkili, tokoh Syattariyah terkemuka di Nusantara (Azra, 2004). Melalui pendekatan sufistik yang akomodatif terhadap adat, ia mengintegrasikan Islam dalam struktur sosial Minangkabau yang kemudian hari dirumuskan dalam adagium “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.
Dalam perspektif sosiologis, surau yang dibangun oleh murid-murid Burhanuddin menjadi moral community (Durkheim, 1995)—ruang sosialisasi nilai, asrama pendidikan, dan pusat perkembangan ulama. Surau Ulakan menjadi embrio jaringan surau yang menyebar ke berbagai wilayah pesisir dan darek.
2. Dinamika Ulama Surau pada Abad ke-18–19: Munculnya Keragaman Furū’
Setelah wafatnya Syekh Burhanuddin, jaringan ulama Minangkabau berkembang melalui mobilitas intelektual ke Aceh dan Haramain. Mereka membawa:
Penguatan Mazhab Syafi’i,
Tradisi tasawuf amali,
Keragaman tarekat (Syattariyah, Naqsyabandiyah),
Pembaruan metodologis fiqh.
Perkembangan ini menciptakan keragaman furū’—amaliah turunan yang berbeda di tiap surau sesuai murshid-nya. Hal ini selaras dengan pandangan Geertz (1960) bahwa komunitas keagamaan selalu mengalami diferensiasi internal sebagai hasil interaksi sosial dan mobilitas intelektual.
3. Syekh Sulaiman Arrasuli Candung: Penjaga Tradisi pada Era Modern
Syekh Sulaiman Arrasuli (1871–1973), atau Inyiak Canduang, muncul pada era kolonial dan modern. Ia memadukan tradisi surau dengan pendidikan madrasah melalui pendirian MTI Canduang (1908). Karya-karyanya seperti Pedoman Qadi dan Ahlussunnah wal Jamaah menegaskan komitmennya pada fiqh Syafi’i dan akidah Asy’ariyah (Arrasuli, 1939).
Hadler (2008) menyebut peran Arrasuli sebagai “penjaga ortodoksi lokal” (local guardian of orthodoxy) yang berupaya mengimbangi pengaruh pembaruan modernistik. Di bidang sosial-politik, keterlibatan Arrasuli dalam PERTI memperkuat identitas Islam tradisional Minangkabau.
4. Tradisi Surau sebagai Institusi Sosiologis dan Antropologis
4.1. Institusi Sosialisasi Moral
Surau membentuk habitus masyarakat Minangkabau melalui adab, musyawarah, dan kedisiplinan (Dobbin, 1983).
4.2. Pusat Reproduksi Ulama
Surau menghasilkan ulama yang memiliki legitimasi berdasarkan sanad ilmiah, bukan sekadar popularitas sosial.
4.3. Mediasi Konflik dan Penjaga Adat
Ulama surau memainkan peran penting dalam meredakan konflik adat, sebagaimana ditemukan oleh Manan (1985) dalam studi resolusi konflik nagari.
5. Ashl dan Furū’ dalam Epistemologi Islam Minangkabau
Pembedaan antara ashl dan furū’ penting untuk memahami dinamika keagamaan Minangkabau.
5.1. Ajaran Ashl (Pokok)
Meliputi:
Tarekat Syattariyah awal,
Mazhab Syafi’i,
Tasawuf akhlaki,
Adat–syarak integratif,
Sistem pendidikan berbasis sanad.
Ini merupakan warisan langsung dari Burhanuddin dan generasi awal ulama.
5.2. Ajaran Furū’ (Cabang)
Meliputi: arah pembaruan abad ke-19/20, perbedaan tarekat lanjutan, gerakan sosial-politik ulama.
Modifikasi kurikulum pendidikan modern.
Furū’ merupakan adaptasi kontekstual terhadap modernitas.
5.3. Pentingnya Sanad Keilmuan.
Sanad menjadi filter epistemik untuk menjaga:
otentisitas ajaran,
kesinambungan metodologi, kesahihan amaliah. Kealpaan pada sanad menimbulkan fragmentasi pemahaman di era digital.
Kesimpulan
Islam Minangkabau dibangun atas fondasi kuat yang diletakkan oleh Syekh Burhanuddin Ulakan, kemudian diwariskan, diperkaya, dan dijaga oleh tokoh-tokoh seperti Syekh Sulaiman Arrasuli. Tradisi surau terbukti menjadi institusi penting dalam membentuk identitas, moralitas, dan pemikiran keagamaan Minangkabau. Revitalisasi sejarah ulama surau menjadi keharusan agar generasi kini memahami perbedaan antara ajaran pokok dan cabang, sehingga tidak terombang-ambing oleh dinamika wacana keagamaan kontemporer.
DS.Monopolihotel261125.
Daftar Pustaka
Arrasuli, S. (1939). Pedoman Qadi. Bukittinggi: Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Azra, A. (2004). The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai‘i Press.
Dobbin, C. (1983). Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–1847. London: Curzon Press.
Durkheim, E. (1995). The Elementary Forms of Religious Life. New York: Free Press.
Geertz, C. (1960). The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press.
Hadler, J. (2008). Muslims and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia Through Jihad and Colonialism. Ithaca: Cornell University Press.
Manan, B. (1985). The Minangkabau Social Structure and Conflict Resolution. Jakarta: LP3ES.
Taufik Abdullah. (1970). Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project.
Yunus, M. (1996). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.

